Malam sebelum berangkat, aku membantu membereskan beberapa barang keperluan suamiku untuk persiapan keberangkatannya besok.
Rencananya ia akan mengantarkanku ke rumah orang tuaku dan berangkat dari sana. Kebetulan kampungku masih searah dengan tujuannya.
"Ada lagi yang mau dibawa mas? Coba diinget-inget, barang kali ada yang ketinggalan." Untuk urusan seperti ini aku memang termasuk perempuan yang sangat detail.
Mas Arya mengecek barang bawaannya untuk memastikan.
"Masih ada yang ketinggalan, Dek." ia menatapku dengan kening yang berkerut.
"Apa? Perasaan aku sudah memasukkan semua keperluanmu." jawabku yakin.
"Hatiku.Tetap tertinggal disini."
Lagi-lagi gombalannya sukses membuat pipiku merah merona. Sebegitu manis suamiku, rasanya sulit dipercaya jika mas Arya mengkhianatiku.
Namun, tekadku sudah bulat. Aku tetap akan memata-matainya besok. Bukan apa-apa, aku hanya ingin memantapkan hati untuk menghilangkan keraguan. Aku berharap aku salah dan setelah ini akan belajar untuk lebih mempercayai suamiku.
Kamipun memutuskan untuk beristirahat setelahnya. Mas Arya merengkuh tubuhku sambil mengecup tengkuk leherku hingga membuat bulu tubuh ini meremang karenanya. Ia membalik tubuhku hingga kamipun saling berhadapan.
Mas Arya mengikis jarak diantara kami, memagut bibirku dengan lembut hingga membuat tubuh ini berdesir karenanya. Akupun membalas ciuman itu hingga terjadilah pergumulan penuh gairah diantara kami.
Tangannya bergerak menjelajahi tubuh ini, tapi segera kuhentikan saat suamiku hendak membuka bawahanku. Ia menatap penuh tanya, aku bisa melihat kabut gairah yang terpancar dari sorot matanya.
"Maaf,mas. Aku sedang datang bulan."
Aku gemas sekaligus kasihan melihat reaksinya yang langsung merengut mendengar ucapanku. Ya Alloh, maaf mungkin aku berdosa. Tapi aku puas sebab bisa membuatnya ikut merasakan bagaimana membendung gairah. Satu sama...
***
Seusai sholat subuh kami memutuskan langsung berangkat agar terhindar dari kemacetan. Kampungku bisa dibilang berada ditengah-tengah antara tempat tinggal kami dengan Puncak. Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai kesana.
Mobil kami berhenti tepat di pekarangan rumah bercat putih gading yang nampak asri lantaran banyak sekali bunga dan tanaman yang menghiasi. Aku sungguh rindu dengan suasana seperti ini, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Rumah inipun baru beberapa bulan lalu direnovasi, siapa lagi kalau bukan suamiku yang memperbaikinya. Bapakku begitu mengelu-elukan Mas Arya karena begitu perhatian terhadap keluarga kami.
Kebetulan Bapak dan Ibu masih dirumah, mereka langsung menyambut kami begitu tahu kami datang. Mas Arya hanya berbasa basi sebentar sebelum akhirnya berpamitan pergi.
"Kok buru-buru Nak Arya? Apa tidak sebaiknya sarapan dulu disini?" Ibu mencoba menahan suamiku.
"Maaf, Bu. Sebenarnya pengen, tapi takut Bos sudah sampai duluan. Kami janjian disana. Nitip Aira ya Bu, Pak." ucapnya sebelum pergi. Aku mencium takdzim jemarinya sembari mengantarnya hingga depan rumah.
Ketika mobil mas Arya menghilang, aku segera menghubungi Lani, dia sahabatku sejak SMP dan kebetulan aku sering curhat padanya. Lani selalu bisa diandalkan sejak dulu, kami memang terbiasa saling membantu jika ada salah satu mengalami kesulitan.
Kuceritakan masalah chat yang aku temukan diponsel mas Arya kemarin padanya. Diluar dugaan, sahabatku itu justru mengatakan jika sebenarnya ia pernah bertemu suamiku bersama dengan seorang wanita. Usia wanita itu sepertinya diatas suamiku, tetapi dandanannya yang modis dan berkelas membuat wanita itu tetap saja mempesona menurutnya.
Aku berdalih mungkin itu atasan suamiku, meski aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun, Lani bilang hubungan mereka sepertinya sangat dekat sebab ia melihat wanita itu bergelayut manja dilengan suamiku ketika akan masuk mobil.
Lani enggan menceritakan semua ini sebab ia takut penglihatannya itu salah. Akan tetapi, setelah aku bercerita masalahku, barulah iapun mengungkit masalah itu.
Sebelumnya aku telah menitipkan kunci gerbang rumahku padanya. Setelah Mas Arya pergi, aku memintanya untuk membawa mobilku dan menyusul ke kampung halamanku.
Tentu saja dia sangat hafal rumahku karena kampung kami bersebelahan. Kami sama-sama ke kota, hanya saja dia merantau untuk bekerja sedangkan aku pindah mengikuti Mas Arya. Dia masih lajang sampai sekarang.
Bapak dan Ibu cukup kaget melihat Lani datang ke rumah kami. Aku berdalih bahwa kami sengaja janjian karena ada acara reuni bersama sahabat-sahabat kami waktu SMP.
Untung Bapak dan ibu tidak banyak bertanya. Aku dan Lani harus segera menyusul Mas Arya sebelum tertinggal terlalu jauh.
Lani gadis pintar dan lebih berwawasan dibandingkan diriku. Tentu saja, dia lulusan sarjana sedangkan aku hanya tamat SMA. Dia juga yang memberitahuku untuk melacak keberadaan suamiku lewat GPS.
"Makasih banget ya Lan. Gue jadi ngrepotin elo kaya gini." aku sungguh tak enak hati padanya.
"Lo kaya sama siapa aja, Ra. Tenang, gue pasti bakal bantu elo. Gimanapun juga gue nggak mau sahabat gue disakitin. Lo yang sabar ya?" ia mencoba menguatkanku.
Aku mengangguk pasrah, meski sebenarnya hatiku mulai tak menentu saat ini. Ini kali pertama aku meragukan mas Arya selama tujuh tahun kami bersama. Dan aku berharap segala prasangka burukku itu tidaklah benar.
***
Selama dua jam perjalanan akhirnya kamipun menemukan keberadaan Mas Arya. Kami berhenti tepat di depan sebuah hotel berbintang lima yang kemungkinan menjadi tempat menginap suamiku selama disini.
"Ayo, Ra. Kita turun dan mastiin apa yang dilakuin suami elo disana."
Lani bergegas keluar dari mobil, tapi aku justru menahan lengannya untuk tetap tinggal. Tanpa terasa bulir bening lolos tanpa permisi membasahi kedua pipiku.
"Kenapa lagi, Ra?"
"Lan, gue belum siap. Gue, gue takut kalau sampai apa yang gue pikirin beneran terjadi. Gue nggak sanggup Lan, rasanya pasti sakit banget. Gue terlalu percaya sama Mas Arya." ungkapku disela-sela tangisku.
Lani membuang kasar nafasnya dan kembali duduk dibangku kemudinya. Sepertinya ia cukup kesal karena aku terkesan lemah kali ini.
"Ra, justru sekarang lo harus buktiin. Siapa tahu aja pikiran lo itu nggak bener. Jikapun itu bener, lebih baik lo sakit hati sekarang daripada nanti lo bakal lebih sakit dari ini." bujuknya padaku.
Aku mulai menimbang ucapan Lani, jika dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dia katakan. Lebih baik sakit saat ini daripada aku terus dibohongi dan perasaanku terlanjur semakin dalam. Aku mencoba menguatkan tekad dan hatiku, akhirnya akupun memilih mengikuti perkataan Lani.
Kami segera turun dan masuk ke dalam hotel. Sial sekali. Saat kami bertanya nomor kamar suamiku pada resepsionis, perempuan itu enggan menunjukkan nomor kamar mas Arya dengan dalih menjaga privasi custumer.
Ahh, ternyata tak semudah yang aku bayangkan untuk menjadi seorang penguntit. Aku dan Lani berusaha menyogok, tapi resepsionis itu tetap saja teguh pendirian.
Saat aku tengah berputus asa, tiba-tiba pandanganku menangkap seseorang yang tengah ku ikuti saat ini.
" Mas-Arya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Om Rudi
wadduh, jangan jngan
2023-06-13
0
Aerik_chan
Aira masih aja positive thingking...
By your Side, hadir
2023-05-29
0
Ni Nyoman Rinti
aira kau harus cerai dr suami tukang selingkuh...
2023-05-28
1