Selama lebih dari dua jam aku menghias diri. Di pertemuan kali ini, aku harus terlihat lebih cantik dan mempesona. Pulang dari jalan-jalan Fadli harus sudah menjadi kekasihku.
Aku bahkan sudah siap, seandainya Fadli mengajakku menikah. Walaupun menurutku usiaku saat ini masih terlalu muda untuk menjalani biduk rumah tangga, tapi asalkan itu dengan Fadli aku akan menjalaninya dengan bahagia.
Di desa, gadis yang seumuran denganku sudah banyak yang menikah. Tidak sedikit dari mereka yang sudah menggendong anak. Hanya tinggal aku dan beberapa gadis saja yang masih melajang, termasuk Anita.
Aku tidak mengerti dengan cara pikir orang-orang desa. Mereka menganggap usia 20 tahun sebagai batas akhir seorang gadis untuk menikah. Di atas usia itu mereka akan di sebut dengan perawan tua. Dan aku termasuk di dalamnya.
Jika gadis lain memilih kabur dengan merantau ke kota, maka aku memilih mengabaikan perkataan mereka. Apa peduliku? yang penting aku tidak minta makan pada mereka.
"Pus, walaupun Ibu mendukung hubunganmu dengan Fadli, bukan berarti kamu boleh sembrono. Kamu harus tetap jaga kehormatan diri!" Ibu mewanti-wanti sebelum aku pergi.
"Iya, Bu. Puspa ngerti, ojo khawatir ?" aku mencoba untuk menenangkan hati Ibu. Setelah itu aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Kalian mau kemana, to?"
"Puspa, juga belum tahu, Bu."
Fadli akan membawaku jalan-jalan hari ini, tapi dia tidak mengatakan kami akan pergi kemana.
Membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdebar. Gadis mana yang tidak deg-degan saat akan pergi berdua dengan pria pujaan hati? Telapak tanganku saja sampai berkeringat karena gugup.
Sembari menunggu kedatangan Fadli, aku duduk di teras. Pikiranku jauh melayang, mengingat kesaktian Mbah Slamet. Ilmu apa yang dianut pria tua itu, sehingga dengan begitu mudah menaklukan Fadli untukku.
Ibu juga sudah siap dengan dagangan nasi pecelnya. Seperti biasa, para warga berebut membeli nasi pecel itu sebagai menu sarapan. siang sedikit saja, semua dagangan ibu sudah ludes terjual.
Tenang saja, Bu. kalau Aku sudah jadi istrinya Fadli, ibu tidak perlu lagi berjualan seperti ini. gumamku dalam hati.
"Puspa ... pagi-pagi sudah cantik. Mau kemana?" Entah itu pertanyaan yang ke berapa kali yang aku terima selama aku duduk di sana.
Warga desa memang begitu, senang sekali mengurus urusan orang lain. Aku berencana untuk pindah ke kota saat sudah menikah nanti. Dengan begitu tidak akan ada mulut-mulut jahil yang mengganggu.
"Mau jalan-jalan, Bu." jawabku sembari tersenyum. Kalau tidak begitu pasti mereka akan bergunjing kalau aku ini sombong.
Tin!
Tin!
Suara klakson mobil membuat kami yang hadir di tempat itu segera menoleh ke arah suara. Fadli sedikit membuka kaca jendela mobil, menampakkan wajah tampannya dari dalam sana.
"Lo ... Itu kan anaknya pak lurah to, Yu?" Para Ibu seketika menjadi riuh karena kehadiran Fadli. Apa jadinya kalau mereka tahu pemuda itu datang untuk menjemputku? Aku jadi tidak sabar melihat ekspresi mereka.
"Iyo, itu Mas Fadli, opo mau beli nasi pecel? Tapi kok yo bawa mobil, wong deket," sahut wanita lainnya.
Aku segera menghampiri Ibu untuk berpamitan. "Puspa, pergi dulu ya, Bu,"
"Hati-hati, Pus. Ingat pesen Ibu tadi!" Bisiknya tepat di telingaku.
"Iyo, Bu!"
Aku bergegas, kasihan Fadli sudah menunggu. "Duluan, Ibu-Ibu," ucapku pada para wanita yang menatap heran padaku.
Aku segera masuk kedalam mobil Fadli, dan duduk di kursi depan berdampingan dengannya. Dari dalam mobil kulambaikan tangan pada Ibu. Sangat jelas terlihat, kalau para wanita itu merasa cemburu.
Setahuku mereka juga punya anak perempuan, pasti mereka iri melihatku bersama Fadli.
Mobil melaju kencang menelusuri jalanan desa. "Kita mau kemana, Fad?" Menyadari ini arah keluar kampung, aku pun bertanya padanya.
"Kita akan ke kota," jawab Fadli sembari tersenyum tipis. Ke kota? Kenapa sejauh itu? Aku kan tidak membawa apapun tadi, hanya tas kecil berisi beberapa lembar uang kertas dan telepon genggam saja.
"Apa, nggak kejauhan? Kenapa kita nggak jalan-jalan ke sekitaran kantor bupati saja?" usulku.
"Kan kamu sudah sering ke sana, Pus. Jadi sekarang aku ngajak kamu keluar kota. Sesekali kamu juga harus melihat keramaian di luar sana."
ucapan Fadli ada benarnya, selama ini aku jarang sekali keluar dari desa, hanya nguprek di dalam sana.
"Apa tidak papa pergi berdua seperti ini?" Yang aku maksud adalah Yasmin, apa Fadli tidak takut jika perempuan kota itu cemburu dan marah?
"Aku sih tidak masalah, Pus. Kalau kamu gimana? Kalau keberatan kita akan putar arah," balasnya sembari menatap penuh arti.
"Tidak, aku malah senang. Kapan lagi aku bisa jalan-jalan geratis?"
Fadli tersenyum mendengar jawabanku. Tentu saja aku tidak keberatan, ini momen yang sudah lama aku tunggu.
Banyak tempat yang kami kunjungi saat di kota. Fadli memang pria romantis. perlakuannya padaku semakin menambah rasa cinta di hati ini.
Kami mampir di sebuah taman bermain dan mencoba bermacam wahana. Aku mengambil foto di setiap momen. Pasti akan banyak yang iri saat melihat akun sosial mediaku nanti.
Untuk sementara ini, aku memasangnya sebagai story' di aplikasi chat. Fotoku sembari menggandeng tangan Fadli, hanya tangannya saja yang aku foto sengaja biar mereka yang melihat menjadi penasaran.
Benar saja, belum sampai lima menit sudah banyak pesan chat yang masuk. Aku tidak langsung membuka pesan-pesan itu karena sedang bersama Fadli.
Sampailah kami di sebuah rumah makan sederhana. Sebenarnya Fadli ingin mengajakku makan di restoran, tapi aku menolaknya. Dengan alasan di rumah makan akan lebih seru.
Untunglah Fadli setuju. Bukannya aku belum pernah ke restoran ya, dulu aku pernah kok makan di tempat orang kaya itu, saat kami manggung di sekitaran kantor bupati. sebuah restoran sederhana sih, tidak sama seperti yang ada di kota.
Dari pengalamanku itu, aku lebih senang makan di rumah makan sederhana di pinggiran jalan dari pada di restoran.
"Kamu pesanlah, Pus! Aku angkat telpon sebentar," Fadli berujar sembari berjalan sedikit menjauh dari tempatku duduk.
Sebenarnya aku juga tahu, jika sedari tadi ponsel Fadli terus bergetar, tapi dia terus mematikannya. Seolah dia enggan menerima panggilan itu. Mungkin, karena terus berbunyi akhirnya dia mengangkatnya.
"Dua porsi ya, mbak!" Pintaku pada penjaga warung. Panas-panas begini akan lebih segar jika makan yang berkuah, jadi aku memesan nasi rawon.
Tak berapa lama, Fadli pun kembali. Ada yang berubah pada raut wajahnya, dia terlihat kesal. "Kamu nggak papa, Fad?" tanyaku sembari menatap tajam padanya.
"Nggak papa, Pus. Ada sedikit Masalah di tempatku bekerja," jawabnya santai.
Benar juga, aku belum tahu tentang pekerjaan Fadli. Dari kabar yang kudengar, setelah lulus kuliyah, Fadli membangun usaha di kota. Usaha itu sangat maju walaupun dia belum lama membukanya. Namun, itu bukan ranaku, akan tidak pantas jika aku menanyakan itu kepadanya.
"Makan dulu, keburu dingin," Aku menggeser mangkuk kuah rawon ke hadapan Fadli. Ada banyak kursi di hadapanku, entah kenapa pria ini memilih duduk di sampingku. Membuat jantungku berdebar-debar.
Sedari tadi aku terus memperhatikan Fadli yang tengah asik makan. Dia berbeda dari banyak pemuda yang aku kenal. Aroma tubuhnya wangi, dandanannya juga rapi. Membuat hatiku bergetar setiap kali memandangnya.
Sangat berbeda dengan kebanyakan pemuda di desa. Tubuh mereka bau asap rokok dan minyak nyong-nyong yang melebur menjadi satu. Membuatku merasa mual dan sakit kepala.
Seketika nafsu makanku jadi hilang.
Kenapa juga aku mengingat hal-hal yang tidak perlu.
"Kamu, nggak makan, Pus? Apa mau aku suapin?" ucap Fadli sembari memberi tatapan yang menggoda.
Ladalah ... dia malah merayu di saat seperti ini, membuatku semakin terpesona. Andai saja Fadli tulus mencintaiku, bukan karena ajian pelet dari Mbah Slamet. Apa semua itu mungkin? Rasanya tidak, dia kan sudah punya calon istri.
Menjelang sore, kami putuskan untuk pulang. Ibu pasti sudah keluar masuk rumah karena khawatir. Tubuhku terasa lelah dan betisku terasa kaku. Semoga cepat sampai rumah biar bisa minta pijit sama Ibu.
Keadaan lelah, di tambah perut yang kenyang membuatku mengantuk. Tanpa sadar aku tertidur di dalam mobil. Semoga Fadli memaklumi.
Suara tetes hujan di kaca depan mobil membangunkanku. "Hujan, Fad?" tanyaku sembari memicingkan mata. "Iya, Pus. Tidurlah lagi!" Fadli berkata sembari tersenyum manis. Bisa-bisa aku terkena diabetes setelah ini.
"Hati-hati, nyetirnya, Fad. Jalannya licin!" Rasa kantuk membuatku ngelantur dalam bicara. Tanpa sadar aku memerintah Fadli, seolah dia suamiku.
"Oke," jawab Fadli manut.
Suasana yang begitu mendukung, membuatku tertidur sangat lelap. Tidak perduli dengan Fadli yang harus tetap terjaga demi keselamatan kami.
"Puspa ... !" Lamat aku mendengar Fadli memanggil namaku. Dengan berat aku pun membuka mata. "Sudah sampai ya?" tanyaku sembari membenahi posisi duduk.
"Belum. Maaf ya, kita harus turun. Mobilku mogok," ucap Fadli. "Apa? Mogok? Kok bisa?" Aku tak habis pikir, mobil sebagus ini kenapa bisa mogok?
"Entahlah, kita turun dulu ya," ajaknya. Aku berusaha memahami situasi. Karena bangun tidur pikiranku masih sedikit linglung.
"Kita dimana?" Aku bertanya setelah melihat ke sekeliling. Sebuah tempat yang sama sekali tidak aku kenal. Sepertinya ini masih jauh dari desa.
"Kita masih di pinggiran kota, Pus," Fadli lebih dulu keluar dan mengambil payung yang ada di bagasi. "Aku menatap tajam ke arahnya, kemana dia akan mengajakku setelah ini?
Aku ikut keluar dari mobil, dan berjalan berhimpitan dengan Fadli, karena harus berbagai payung yang sama.
"Bagaimana sekarang, Fad?" tanyaku setelah kami sampai di emperan sebuah toko. Kebetulan toko sembako itu masih buka. Fadli berjalan masuk untuk bertanya pada sang pemilik toko.
Tak berapa lama dia pun keluar. "Gimana?" tanyaku tidak sabar. "Katanya ada sebuah penginapan di dekat sini, Pus," ucap Fadli. Apa? penginapan? Maksudnya kami akan menginap dan tidak pulang.
"Jadi kita tidak bisa pulang, Fad?"
"Maaf, Pus. Karena hujan jalanan jadi sepi. Aku tidak bisa meninggalkan mobilku begitu saja. mencari bengkel juga tidak bisa. Kita menginap dulu ya dan cari solusinya besok pagi." Ajaknya.
"Tapi ..." ucapku ragu.
"Jangan khawatir, kita akan memesan dua kamar, oke!"
"Bukan begitu, aku hanya kepikiran Ibu, dia pasti khawatir,"
"Kamu telpon saja, Pus!" Fadli memberi saran.
"Tidak bisa, Fad. Ponsel Ibu ada di konter karena harus di perbaiki,"
Fadli terlihat berpikir. "Apa tidak ada nomer lain? Misal tetangga dekat gitu."
Apa yang di katakan Fadli benar, aku bisa menghubungi orang lain dan Anita lah yang ada di pikiranku saat itu.
"Apa? Kamu sama Fadli? Kok bisa?" Anita nyerocos dalam sambungan telpon.
Syukurlah dia mengerti, setelah aku menjelaskan keadaan kami.
"Jangan khawatir, aku akan memberitahu Bulek Ningrum. Kamu hati-hati, jaga diri!" Seperti Ibu, dia juga terus mengingatkan aku. Mereka kira aku akan melakukan hal bodoh, tentu saja aku bisa menjaga diri, seperti yang selama ini aku lakukan.
"Sudah?" Tanya Fadli setelah aku mematikan telpon. "Sudah," jawabku pelan.
Kami pun berjalan menuju penginapan yang di maksud, syukurlah tempatnya tidak jauh hanya di seberang jalan.
"Maaf, Mas. Hanya tersisa satu kamar," ucap wanita penjaga penginapan itu.
Waduh satu kamar? Bagiamana ini? Belum masuk kesana saja tanganku sudah berkeringat karena gugup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Sang
rumah makan sederhana, selalu membutuhkan tanda petik pada kata sederhana nya, mengingat harganya yg tidak sederhana 🤔🤔
2023-06-18
3
siti qolifah
semangat upnya
2023-05-31
2