Seharian aku hanya menangis di kamar. Mata sembab, pipi bengkak serta hidung memerah. Entah berapa bungkus tisu yang sudah aku habiskan.
"Wes to, Pus! Nyari yang lain saja! Kamu itu cantik, banyak yang ngantri. Ibu saja sampai capek nolak mereka." Ibu terus menghiburku.
"Tapi aku cintanya cuma sama Fadli, Bu. Dia cinta pertamaku, hiks ... hiks ..." Tangisku semakin menjadi saat menyebut nama Fadli.
"Yo wes, nggak ada cara lain, ayo ikut Ibu!"
Ibu menarik tanganku, hingga aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana to, Bu? Wes malam iki," tanyaku heran.
"Kamu mau Fadli cinta sama kamu, to?"
"Iyo," jawabku sembari mengikuti langkah tergesa Ibu.
"Kalau begitu, nurut sama Ibu!" Ibu menarik tanganku sampai di sisi sepeda motor.
"Tunggu apa lagi? Ayo naik!" Titah ibu sambil melotot padaku.
"Iya, Bu." Aku menjawab pelan. Dalam hati aku bertanya, kemana ibu akan membawaku? Apa kerumah Fadli? Walah gawat ini.
Motor melaju di tengah gelapnya malam. Ibu mulai menambah kecepatan motor, membuatku cemas. Bukan takut kalau kami akan jatuh, tapi aku takut jika ibu benar membawaku ke rumah fadli.
"Berhenti ... Bu!" Aku menarik baju ibu dari belakang, sampai kancing baju itu terlepas. Sontak motor pun langsung berhenti. "Ada apa, to? Lihat ibu hampir telanjang gara-gara kamu," cerocos Ibu sembari memasang kembali kancing bajunya.
"Kita mau kemana to? Jangan bilang mau kerumah Fadli?"
tanyaku memastikan.
"Untuk apa kita kesana? Setelah ini Fadli yang akan mendatangimu ke rumah," Ibu berkata dengan begitu yakin. Entah apa yang di rencanakannya.
Tidak ada cara lain, aku akan nurut kali ini. Itung-itung manut sama orang tua. Siapa tahu yang di katakan Ibu jadi kenyataan, kan aku yang untung.
Di persimpangan jalan desa, motor yang kami kendarai berbelok ke arah kanan. Sebuah jalan yang jarang aku lalui. Setahuku tidak banyak warga yang tinggal di daerah tersebut.
Pintu rumah warga sudah tertutup, karena hari memang sudah malam. Sangat senyap dan gelap. Aku bahkan mulai merasa ngeri. Ibu mengendarai motor menuju rumah yang terletak jauh di ujung jalan.
Selama aku hidup dan tinggal di desa Sumbersari, ini pertama kalinya aku mendatangi rumah itu. "Ini rumah siapa, Bu?" tanyaku serius. Bukannya menjawab, Ibu malah menggeret lenganku hingga kami berjalan memasuki pekarangan.
Kami sengaja meninggalkan sepeda motor di tepi jalan. Banyak bongkahan batu besar yang tegeletak di sepanjang jalanan menuju rumah itu. Ibu tidak berani menerjang, karena lebam bekas jatuh tempo hari masih belum sembuh total. Bagiamana kalau jatuh lagi? pasti akan jadi semakin parah nanti.
"Assalamu'alaikum ... Mbah!"
Dari cara ibu memanggil sang pemilik rumah, dapat di pastikan jika sebelumnya mereka sudah saling mengenal.
Dua kali panggilan, dan pintu kayu itu terbuka.
"Wa'alaikumsalam," terdengar sahutan dari dalam. Seorang pria berusia senja membuka pintu sembari tersenyum penuh misteri.
"Mari, masuk!" Ajak si Kakek.Tanpa ragu Ibu langsung masuk mengikuti jejak kaki pria berbaju hitam tersebut. Tidak ada pilihan lain, aku pun mengikuti langkah mereka.
Rumah dalam keadaan sepi. Apa pria tua ini tinggal sendiri?
Jika benar, berani sekali dua perempuan seperti kami masuk ke rumah pria di saat malam sudah mulai larut seperti ini.
Aku memperhatikan tubuh renta di hadapan kami. Seketika aku berpikir, apa yang Aku takutkan dari pria renta sepeti dia? Sekali dorong, si Kakek tua ini pasti jatuh tersungkur. Tanpa sadar aku menertawakan khayalan dalam pikiranku.
"Kamu kenapa, Pus? Apa yang lucu?" Mata ibu melotot sempurna. Membuatku segera mengakhiri tawa dan menutup mulut serapat mungkin.
"Kalian, bawa fotonya?" tanya si Kakek sembari memandangiku dengan tidak wajar. Membuatku risih.
"Ada nggak, Pus?" Ibu bertanya sembari menyenggol pundakku.
"Opone to, Bu?" tanyaku tak mengerti.
"Fotonya Fadli, Pus," balas Ibu.
Fotonya Fadli? Kenapa butuh foto dia? Untuk apa? Kupandangi wajah dua manusia di hadapanku secara bergantian. Mereka malah balik menatap penuh arti.
"Untuk apa, Bu?" tanyaku lagi.
"Kamu ini gimana, to? Kamu mau kan Fadli jatuh cinta padamu?"
Apa hubungan antara Foto dan jatuh cinta? Aku mencoba mencerna. Apa mungkin ini soal ilmu guna-guna? Jadi, si Kakek ini dukun. Pantas dari awal masuk rumah, hidungku sudah mencium aroma kemenyan.
Kenapa Ibu membawaku ke dukun? Apa Ibu seputus asa itu? Jika dipikir, yang di lakukan ibu ada benarnya juga. Mana mungkin Fadli akan berpaling padaku, sementara pacarnya saja secantik itu.
Baiklah, tidak ada cara lain selain manut sama Ibu.
"Ini, Mbah!" Aku menyodorkan ponsel pada si Mbah dukun. Katanya tidak masalah foto dari layar ponsel. Yang penting si Mbah bisa tahu seperti apa wajah pria yang akan di jampi-jampi.
"Maaf, Mbah. Kalau boleh tahu, nama Mbah siapa?" Aku hanya ingin tahu nama si Mbah calon dewa cintaku ini, biar mudah menyebutnya.
"Slamet," jawabnya singkat.
"Oh, Slamet ... Slamet ..." ucapku seolah mengejek nama itu.
"Hush ...!" Ibu menoyor kepalaku sampai aku sedikit oleng.
"Jangan kepala to, Bu! Di sini banyak hapalan lagu dangdut, nanti kalau hilang bisa nggak laku lagi anakmu ini," gerutuku sembari mengelus kepala yang sedikit sakit.
"Jadi, Mbak Puspa minta di persatukan dengan Fadli? tanya Mbah Slamet.
"Lo ... Mbah kok tahu namaku?" tanyaku heran. Apa dia sesakti itu? Seingatku ibu bahkan tidak menyebut nama lengkapku sama sekali.
"Siapa to ... yang nggak kenal Puspa Maharani?" Dia berujar sembari menatap genit ke arahku.
Ada rasa bangga di hati, tenyata aku terkenal bukan hanya di kalangan pemuda saja. Mbah Slamet buktinya.
"Musti seneng dangdutan, Mbah iki. Yo to, Mbah ?"
Aku malah tertarik menggoda pria tua ini. Sepertinya putus cinta membuat otakku sedikit gesrek, sehingga pria tua pun aku goda.
"Sesekali menghibur diri nggak papa, to?" balasnya.
"Nanti kalau Puspa manggung, jangan lupa di sawer yo, Mbah!"
"Lo ... wes musti kui..." balasnya terkekeh.
Ternyata Mbah Slamet lucu juga, nyambung di ajak ngobrol.
"Wes, ojo bahas dangdutan! Iki piye lo, Mbah. Ajiane?" Ibu telihat kesal, aku yang mau di kasih ajian kok malah dia yang tidak sabar.
"Ini, sudah siap! Tanam itu di depan rumah Fadli!" Mbah Slamet berujar sembari memberikan sebuah bungkusan kecil.
"Opo Iki, Mbah?" Aku berusaha membuka bungkusan itu karena penasaran.
"Hush, jangan di buka, nanti ilang khasiatnya!" Mbah Slamet menepuk punggung tanganku dengan tiba-tiba, membuatku terkejut. Apa separah itu akibatnya? sampai dia terlihat gugup.
"Kamu itu Lo, Pus. Tinggal manut opo susahe to?" Ibu menggerutu. Mau bagaimana lagi bungkusan kecil itu membuatku penasaran. apa mungkin isinya paku? atau silet? Tapi ini kan pelet bukan san**t.
***
Sampai pagi menjelang, aku masih bingung dengan bungkusan itu. Bagaimana caraku menanamnya di halaman rumah fadli?
Rumah itu tidak pernah dalam keadaan sepi. Maklum yang punya rumah kan pak lurah, sudah pasti setiap hari akan banyak orang yang berkunjung kesana.
Aku harus beraksi di malam hari agar tidak ketahuan. Kalau sampai ada yang lihat bisa gawat. Bukan cinta Fadli yang aku dapat, yang ada aku malah di arak keliling kampung oleh warga.
"Pus, kamu ngapain bengong di situ?" Suara Anita menyadarkanku dari lamunan.
"Kamu ngapain pagi-pagi kesini?" aku balik bertanya dengan nada ketus.
"Kenapa kamu sewot, datang bulan?"
Anita langsung duduk di sebelahku.
Aku sengaja tidak menceritakan tentang wanita kota itu pada Anita. Dia tidak bisa menjaga rahasia, bicara dengannya sama dengan bicara pada warga satu kampung.
"Aku kesini di suruh, Mas Agung. Katanya kita dapat job manggung di luar daerah, kamu harus ikut!"
Anita bicara panjang lebar tentang job yang jarang kami dapat. ini peluang yang sangat bagus. Siapa tahu ada produser yang melihat bakatku, kan lumayan kalau aku di kontrak.
"Tentu saja aku ikut. Kapan?"
"Satu minggu dari sekarang,"
"Baiklah," jawabku singkat. Aku sedang malas bicara sekarang. pikiranku hanya tertuju pada bungkusan dari Mbah Slamet.
"Sana, Pulang!" Dengan terpaksa aku mengusir Anita. Kalau tidak, dia akan berlama-lama di rumah. Sudah menjadi kebiasaan lama, gadis itu tidak akan pulang kalau belum makan nasi pecel buatan Ibu.
"Tapi, Pus." ucapnya sembari menatap ke dalam rumah.
"Nggak ada tapi, aku mau pergi keluar sama Ibu," aku berbohong sekenanya.
"Tega banget, padahal aku belum makan lo, Pus," ucapnya memelas, tapi aku tidak termakan rayuannya itu. "Ini, belilah nasi pecel di warung lain!"
Aku memberikan selembar uang sepuluh ribu padanya.
"Tega kamu, Pus!" Dia akhirnya pergi sembari terus menggerutu.
Malam pun tiba. Aku berjalan mengenadap-endap menuju pekarangan rumah Pak Lurah. Dengan membawa sebilah pisau di tangan, aku terus memperhatikan keadaan sekitar. Karena bungkusan itu harus di kubur aku harus membawa senjata untuk menggali, tidak mungkin kan kalau membawa cangkul?
Apa yang kulakukan kali ini benar-benar tindakan nekad dan berbahaya. Mau bagaiman lagi, semua demi mendapatkan cinta Fadli.
Dia harus meninggalkan wanita kota itu dan menjadi milikku. Apa aku sudah menjadi pelakor? Sepertinya iya. Pelakor jalur mistis lebih tepatnya. Mau bagaimana lagi, aku tidak punya cukup modal untuk merebutnya secara langsung.
Setelah memastikan keadaan aman, dengan cepat kugali tanah di bawah pohon bunga yang lumayan rindang. Sesuai arahan dari Mbah Slamet. Dengan begitu tidak akan ada yang curiga.
Tidak butuh waktu lama untuk mengubur benda sebesar bungkus permen itu. Setelah selesai, aku segera berlalu meninggalkan rumah Pak Lurah. Anehnya, dalam kegelapan malam aku sama sekali tidak merasa takut. Apa karena aku sudah berkomplot dengan jin sehingga mereka menjadi temanku sekarang?
Aku kembali mengendap menuju motor yang sengaja kuparkir agak jauh dari rumah Fadli, untuk meminimalisir resiko ketahuan.
sesampainya di rumah, aku langsung laporan pada Ibu.
"Bu, aku sudah menanam bungkusan itu di halaman rumah Fadli, apa yang akan terjadi selanjutnya?"
"Sabarlah, Puspa! Kita tunggu sampai besok pagi," balasnya dengan nada santai.
Entah apa yang sudah kami lakukan? Apa ini merupakan persekutuan dengan makhluk halus? Dari penjelasan Mbah Slamet, tidak akan ada dampak buruk dari ritual ini, selain Fadli yang akan terus menempel padaku.
Semoga saja yang di katakannya itu benar. Bagaimanapun, aku tidak mau jika sampai ada yang terluka.
"Darimana Ibu tahu tentang Mbah Slamet?" Sejak semalam aku penasaran, tapi pagi ini baru bisa aku tanyakan langsung pada Ibu.
"Ibu sudah lama mengenalnya, warga desa juga banyak yang datang kesana setiap ada masalah," Ibu berujar sembari menggoreng ikan.
Kring!
Kring!
Terdengar suara dering telpon dari dalam kamar, aku bergegas mengambilnya.
"Fadli?" Lirihku. Ternyata Fadli yang menelepon. Apa pelet Mbah Slamet se-ampuh itu?
"Assalamualaikum, Fadli. Ada apa?"
Aku berusaha bicara senormal mungkin, agar dia tidak menyadari kalau aku mengharapkannya.
"Wa'alaikumsalam, kamu sedang apa, Pus? Apa aku mengganggu?"
"Aku lagi bantu Ibu masak, Fad. Ada apa ya?"
"Apa, kita bisa bertemu?"
Sebuah kalimat yang sudah sangat aku nanti akhirnya keluar dari mulut Fadli. "Bisa," jawabku datar. Sengaja agar tidak terdengar murahan.
"Nanti sore, aku jemput, ya?"
"Baiklah."
Dengan hati berbunga, kututup sambungan telpon. Aku melonjak kegirangan, refleks aku pun bergoyang sembari bersenandung ria. Terimakasih Mbah Slamet, ajian peletmu sungguh manjur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
siti qolifah
👍👍👍
2023-05-31
2
Bocahcilik
nggak kebayang kalau ada yang lihat pasti di sangka mau ngerampok
2023-05-28
2