PELET SANG BIDUAN
"Bu, aku sudah menanam bungkusan itu di halaman rumah Fadli. Apa yang akan terjadi selanjutnya?" Seorang gadis berucap pada ibunya di tengah gelapnya malam.
"Sabarlah, Puspa! Kita tunggu sampai besok pagi!" Sang Ibu menjawab penuh keyakinan.
***
Aku jatuh cinta pada Fadli anak kepala desa. Pemuda itu sangat tampan. Dia punya postur tubuh yang tinggi dan sedikit berotot, idaman para wanita. Bentuk hidung, mata, dan bibir semua sempurna. Aku tidak mau tahu, bagaimanapun caranya aku harus memilikinya.
Seminggu yang lalu, Fadli baru kembali dari kota. Dengan kekayaan yang di miliki oleh orang tuanya, Fadli bisa melanjutkan kuliah di luar daerah. Hal yang tidak bisa di lakukan oleh kebanyakan pemuda di desa kami.
Aku Puspa, sekarang usiaku menginjak 22 tahun. Sejak kecil aku sudah memiliki paras yang cantik di banding dengan teman-teman perempuanku yang lain. Aku mengenal Fadli sejak kecil, kami bahkan duduk dalam satu bangku saat SD.
Fadli adalah anak dari orang yang paling di kagumi di desa kami. Dia adalah Pak Lukman, satu-satunya orang yang menjadi kepala desa selama belasan tahun lamanya. Bukan karena beliau tidak mau di ganti, tapi memang tidak ada yang bersedia menggantikan posisinya itu.
Kinerja Pak Lukman sangat berkesan di hati kami. Dia kepala desa yang adil dan tidak pilih-pilih dalam memberi bantuan, membuat kami enggan memilih orang lain sebagai pengganti.
Siang itu, aku pergi ke warung dengan berjalan kaki. Ibu kehabisan garam dan dia menyuruhku untuk membelinya.
Saat sampai di warung aku mendengar para Ibu sedang bergosip. sudah menjadi kebiasaan bagi mereka, katanya kalau tidak bergosip saat berkumpul ibarat sayur tanpa garam, hambar.
Aku mencebik, merasa tidak senang saat mendengar mereka membicarakan Fadli.
"Mbak yu, sudah tahu belum kalau si Fadli anaknya pak lurah sudah pulang dari kota?" Bulek Entin, sang pemilik warung berkata dengan mimik wajah mengesalakan.
"Iya, aku malah sudah ketemu, Entin," balas Bude Lilik, wanita berpostur tubuh gembul yang tinggal di sebelah rumah Bulek Ntin.
"Opo Iyo? piye ganteng apa Ndak?"
"Wuih ... gantenge pol tenan, Entin. Kalau saja aku masih muda, sudah tak gaet tu anak Pak lurah."
Kedua wanita yang berusia tidak lagi muda itu dengan tidak tahu malu tengah membicarakan seorang pemuda yang sepantaran dengan anak mereka.
"Ee ... Puspa. Mau beli apa?" Bulek Entin akhirnya menyadari kehadiranku setelah dari tadi aku di abaikan. "Garam, Bulek." jawabku datar.
"Puspa, sudah ketemu Fadli belum?" Bude Lilik mulai membawaku dalam bahasan gosip mereka. "Belum, Bude." jawabku malas. Rasanya pengen cepat pulang sebelum mereka mengatakan yang bukan-bukan.
"Kamu pasti kepincut kalau bertemu dia, Puspa." Bude Lilik tertawa lebar entah apa yang dia bayangkan. Sementara itu aku hanya tersenyum kecut.
"Kamu itu ngomong apa to, Yu? Si Fadli pasti sudah punya pacar di kota, wong ganteng pasti banyak yang ngantri," Bulek Entin terus saja bicara membuatku semakin tidak nyaman.
"Ini, Pus. Garamnya! Sama apa lagi?" Aku segera meraih plastik berisi garam dari tangan wanita itu. "Sudah Bulek ini saja," aku berujar sembari memberikan uang dua ribu padanya.
Belum jauh aku melangkah, mereka langsung menggosipkanku.
"Puspa itu ayu lo, Yu. Cocok kalau sama anak Pak lurah," ucapan bulek Entin membuatku tersipu.
Walaupun bulek Entin memujiku, tapi sikap genit mereka membuatku merasa geram. Apa tidak cukup sainganku di desa ini sehingga para wanita sepantaran Ibu juga mau ikut-ikutan?
"Dasar emak-emak genit!" Sampai di rumah pun aku masih menggerutu.
"Ada apa to, Pus? Pulang dari warung kok ngedumel," Ibu yang tengah memasak mulai terganggu. "Itu Lo Bu. Bulek Entin sama bude Lilik pada genit ngomongin Fadli," sahutku dengan nada kesal.
"Fadli, anaknya Pak lurah?"
"Iyo, Bu."
"Fadli sudah pulang?" Ibu mulai penasaran.
"Katanya sih begitu, Bu. Aku juga belum lihat."
"Kamu kesana aja, Pus. Temui dia!"
"Yo malu to, Bu."
"Kenapa malu, dia temanmu to?"
Yang di katakan Ibu memang benar bahwa aku dan Fadli dulu berteman akrab, tetapi kami sudah lama tidak bertemu tentu saja ada rasa malu.
"Puspa ...!" Terdengar panggilan dari luar. Suara yang sudah asing lagi di telingaku "Sopo, Pus?" tanya Ibu.
"Siapa lagi to, Bu. Kalau bukan Tejo."
Aku merasa geram setiap kali pria cungkring itu datang ke rumah. Dasar tidak tahu diri. Sudah dekil, cungkring. Terus saja menggodaku.
"Opo?" Aku berdiri di teras sembari memasang wajah jutek. "Ojo galak-galak to, Pus. Entar cantiknya hilang lo!" Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku emosi.
"Ora usah kokehen lambe! (Tidak usah banyak bicara) Ada perlu apa? Aku sibuk."
Bukannya mundur mendapatkan penolakan dariku, si Tejo malah semakin gencar menyambangiku ke rumah. "Jalan-jalan yok! tak teraktir."
"Emoh, mending jangan ke sini lagi deh Tejo! Pacarku sudah datang dari kota aku nggak mau dia cemburu."
Mendengar ucapan terakhirku Tejo langsung turun dari motor bututnya.
"Siapa maksudmu, Dek?" dia bertanya dengan raut wajah menyebalkan.
"Anaknya Pak lurah. Kamu nggak tahu kalau dia itu pacarku?" Aku sengaja mengakui Fadli sebagai kekasih dengan begitu Tejo akan merasa segan, karena Fadli anaknya Pak lurah.
"Ra percoyo aku, Dek," ucapnya sembari tertawa.
"Ra percoyo Yo wes, karepmu!" Aku bergegas masuk ke rumah pemuda itu akan besar kepala kalau terus ku ladeni.
"Kemana Tejo, Pus?" Ibu keluar dari dapur sembari membawa secangkir kopi susu.
"Untuk siapa kopi itu, Bu?"
"Untuk Tejo, to,"
"Ibu Iki piye to? Kok malah di bikinin
kopi, makin besar kepala dia, Bu." Aku mengambil cangkir kopi dari tangan ibu dan menenggaknya sampai tetes terakhir. "Emang Ibu mau punya mantu cungkring, buluk dan miskin seperti dia?" Bukannya aku menghina, hanya saja sikap Tejo membuatku tidak suka.
"Yo ra sudi," Ibu bergidik ngeri membayangkan memiliki mantu pengangguran seperti Tejo.
"Makanya jangan di kasih perhatian, Bu!" aku nyelonong masuk ke kamar.
Di kamar aku mulai membayangkan Fadli. Bagaimana ya wajah pemuda itu sekarang? Dulu saja ganteng pasti sekarang tambah ganteng. Kuremas bantal dengan kuat karena gemas. "Besok aku akan cari cara untuk menemuinya" gumamku pelan.
***
Semenjak lulus Sekolah Menengah Pertama, aku hanya berdiam diri di rumah. Ingin kuliah, tapi apa daya aku yang hanya anak seorang janda tidak punya biaya untuk sekolah tinggi.
Dua bulan terakhir aku ikut rombongan organ di desa. Bermodal wajah cantik dan body yang aduhai aku langsung menjadi primadona. Kata orang suaraku juga lumayan merdu.
"Pus, kamu sudah di beritahu Mas Agung belum kalau lusa kita manggung?" Anita yang adalah teman satu grup mengabariku lewat panggilan telpon. "Belum, Nit. Manggung dimana?" Aku sangat bersemangat mendengar informasi dari Anita. Sudah hampir satu bulan kami tidak dapat job. Lipstik sama bedak sudah menipis. Mau beli pakai uang tabungan tidak cukup.
Minta sama Ibu juga tidak tega. Ibu hanya berjualan Nasi pecel di depan rumah, itu pun tidak terlalu ramai pasti uangnya juga tidak banyak.
"Pak lurah mengadakan acara syukuran untuk anaknya yang lulus sarjana. Kita di undang untuk nyanyi di sana," ucap Anita.
Bak ketiban durian runtuh. Kabar dari Anita membuatku bahagia. Sambil menyelam minum air. Sudah dapat bayaran dapat juga kesempatan untuk tebar pesona pada Fadli, asyik. "Yang benar Nit? Wah dapat durian runtuh ni,"
"Maksud kamu apa, Pus?" Nita tidak mengerti yang aku maksud.
"Kalau pak lurah yang ngundang, pasti ongkosnya lumayan kan, Nit?" aku memang jagonya berkilah.
"Bener juga, kamu! Ha ha ha."
Nita tertawa bahagia, tetapi disini akulah yang paling bahagia.
"Mala, gimana?" aku teringat dengan sainganku yang satu itu. Mala tidak seperti Nita, dia punya sifat yang buruk. Setiap aku mendapat banyak saweran dia akan langsung mencak-mencak bak cacing kepanasan.
"Nggak tahu aku, Pus. Coba tanyakan ke Mas Agung!"
"Baiklah, aku akan bertanya padanya nanti."
***
Masih ada satu hari sebelum acara itu. Aku berniat membeli gaun baru untuk tampil, tapi uangku tidak cukup. Apa aku harus meminjam sama mas Agung? Baiklah aku akan mencobanya.
Sekali terhubung, Mas Agung langsung menjawab telpon dariku. "Ada apa, Sayang?" Pria itu selalu genit padaku. Tidak kapok saat sang istri menjewer telinganya.
"Mas, untuk acara lusa aku tidak punya gaun yang pas gimana?" Aku sengaja bermanja-manja padanya sekedar untuk merayu.
"Gaun yang biasanya kamu pakai kan ada," jawabnya santai.
"Yang mana, Mas? Semuanya sudah kubas. Acaranya di desa kita sendiri Lo Mas. Harus pakai yang cetar dong!" Aku terus merengek pantang mundur sampai tujuanku tercapai.
"Terus gimana dong, Sayang?"
"Belikan dulu ya, Mas. Nanti kalau sudah dapat honor langsung aku bayar, ya?"
Mas Agung tidak langsung menjawab, sepertinya dia berpikir dulu. Maklum pria beristri, pasti uang di pegang istrinya.
"Baiklah, karena kamu biduanku yang paling mempesona aku kasih pinjam, tapi langsung lunas ya bayarnya jangan di cicil! Nanti Mbak Rum ngamuk."
Mbak Rum adalah istrinya Mas Agung, wanita itu terkenal galak. Mas Agung yang berambut gondrong seperti preman saja tunduk padanya.
"Siap, Mas. Muach!" Aku memberi cium jauh untuknya karena saking bahagianya. "Coba sekali-kali aku ini di servis, Pus. Pasti semuanya akan ku berikan untukmu,"
"Hussh! Mulai ngawur to, Mas," balasku kesal.
"Opo kui, Mas. Seng di servis? Hii ...hh!" Terdengar suara Mbak Rumi dalam sambungan telpon. Dari suaranya bisa di pastikan kalau Mas Agung kena jewer. "Guyon Lo, Dek. Ampun!"
Aku tertawa lepas mendengar perkelahian kedua orang itu dalam sambungan telpon.
Bukan hanya Mas Agung yang sering menggodaku begitu. Tak jarang pemilik hajat menawariku jutaan rupiah asal aku mau bermalam dengan mereka. Namun, dengan tegas aku menolaknya. Tidak semua penyanyi dangdut saweran itu bisa di beli. Termasuk aku.
Suara dan goyangan bisa aku jual untuk di nikmati banyak orang, tetapi tubuhku hanya untuk orang yang aku cintai saja. Siapa lagi kalau bukan Mas Fadli. Membayangkannya saja membuatku tersipu malu.
***
Aku pergi ke pasar ditemani Anita. Toko baju langganan kami menjual aneka gaun bermacam model. Pilihanku jatuh pada gaun bermanik warna biru malam dengan panjang selutut dan bagian dada yang tertutup.
"Tumben, kamu pilih yang modelan begini?" celetuk Nita.
Gaun itu memang berbeda dengan gaun yang biasa aku pakai. Biasanya aku suka mengenakan gaun minim yang memiliki belahan dada lumayan terbuka. Resiko jadi biduan kampung harus bisa sedikit berani. Kalau tidak seperti itu ya nggak bakal laku.
"Apa sih, Nit? Di depan Pak lurah kita harus sopan, Nita! Jangan sampai kita di cekal nanti," aku berujar sembari tertawa geli.
Aku harus memberi kesan positif pada Fadli. Jangan sampai dia jijik melihatku berpakaian seksi di atas panggung. Bisa jatuh harga diriku.
***
"Kamu ngutang ke Agung, Pus?"
Ibu teekejut saat tahu aku berhutang lagi. Ini memang bukan pertama kali aku berhutang pada Mas Agung. Tapi hutangku yang dulu sudah lunas, jadi nggak masalah jika berhutang lagi. "iya, Bu. Habisnya uangku nggak cukup untuk beli gaun," jawabku.
"Hati-hati, Pus. Ibu kok takut kalau Agung naksir kamu!"
"Ibu iki opo to? Jangan mikir ngawur, Mas agung itu sudah punya istri, Bu. Istrinya juga cantik, lebih cantik dariku."
"Jaman sekarang, selingkuhan nggak lebih cantik dari istri pertama lo, Pus. Yang penting mereka tidak tahu diri aja,"
"Walah ... Ibu kebanyakan nonton gosip Iki, wes lah aku ngantuk, Bu." Aku pun segera masuk kamar.
Keesokan harinya aku sudah bersiap dengan riasan tipis tapi tetep cantik. "Pus, kamu berangkat naik apa?" Ibu pun sudah berdandan tak kalah heboh dariku.
Acara yang di selenggarakan di halaman rumah Pak Lurah terbuka untuk umum. Seluruh warga desa boleh menghadirinya. "Nanti Ardi menjemputku, Bu."
Ardi adalah asisten salah satu anggota grup organ tunggal kami, dia bertugas mengurus sound sistem sekaligus tukang antar jemput para biduan untuk menghemat biaya taransportasi.
"Ya udah, Ibu berangkat dulu ya,"
Ibu berdandan bak ibu pejabat. Aku sampai malu dibuatnya. Tapi mau bagaimana lagi, Ibu adalah salah satu anggota dari ibu-ibu PKK di desa kami.
"Ibu, sama siapa?" tanyaku sebelum wanita yang sudah melahirkanku itu benar-benar keluar rumah. "Sama, Bulek Entin." jawab Ibu.
Aku sampai lupa, mereka kan sahabat karib yang tak terpisahkan kemanapun pasti berdua. Maklum lah sama-sama janda.
***
Halaman rumah Pak Lurah sudah ramai di penuhi warga. Ada banyak makanan geratis hari ini, sudah tentu mereka tidak akan melewatkannya begitu saja. Aku mengambil bagianku berjalan menuju panggung yang berada tepat berhadapan dengan rumah sang empunya hajat.
Mataku terus mengedar ke seluruh penjuru untuk mencari sosok yang dari kemarin sudah menggangguku di alam mimpi. Namun, aku tidak menemukannya.
MC sudah membuka acara dengan doa. Pak lurah juga sudah menyampaikan kata sambutan. Kini giliran Fadli sang bintang utama memberikan kata-kata mutiara.
Aku sudah tidak sabar, kakiku bahkan tidak berhenti bergoyang karena gugup. "Kamu kenapa, Pus. Kebelet?" Anita bertanya sembari menatap heran. "Aku gugup, Nit."
"Lah ... Kayak penyanyi baru aja pakai gugup segala," Nita berucap dengan entengnya. Dia tidak tahu saja bagaimana irama jantungku yang sedari tadi berdisko ria. Syukurlah hari ini hanya aku dan Anita yang hadir. Mala sakit jadi dia tidak ikut. Paling tidak gadis itu tidak akan merusak suasana hatiku.
"Kita sambut anak Pak Lurah kita yang paling ganteng se-antero negeri ... Fadli ...!" Mas Agung dengan lantang memanggil nama Fadli.
Hanya ada satu panggung, jadi Fadli akan berpidato di atas panggung itu bersama kami.
Benar yang di bicarakan banyak orang, Fadli sekarang semakin ganteng. Hatiku bergetar saat melihatnya keluar dari rumah. "Kok ada manusia sesempurna itu? Gantenge ...!" tanpa sadar aku bergumam, membuat Anita berdecak heran dengan tingkahku. "Ck ... ck ... Sadar woi!" Anita menepuk kasar pundakku rasanya sakit sekali. Dia itu terlihat lembut tapi tepukan tangannya seperti tangan kuli.
"Sakit to, Nit!" Aku protes, tapi dia tidak menghiraukan aku sama sekali.
"Permisi ..." Fadli melewati kami dengan sedikit membungkuk. Jangan di tanya bagaimana irama jantungku saat itu, kalau di pasang mikrofon di sana, pasti seluruh dunia bisa mendengarnya. Jedugh! Jedugh! Jedugh!
Sudah ganteng, rapi, wangi lagi. Aku sampai lupa menutup mulut karena terpesona. "Mingkem, Pus!" Anita kembali menepuk pundakku. Seketika aku menutup mulut sembari berdehem untuk menetralisir rasa gugup di dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Lika Wibowo
untung aja lalat gk masuk ke mulut pus 😂
2023-06-20
1
Sang
kalo makan ditempat ya jarang yang langsung mau, coba bawa ke bali atau lombok, 99 % bakal mau deh 😁😁😁😁
2023-06-18
2
Tetik Saputri
semangat kak
2023-06-18
1