Malam semakin larut. Namun, Aku belum bisa memejamkan mata. Bayangan wajah tampan Fadli menghantui pikiranku.
Apa, jatuh cinta memang seperti ini? Sungguh menyiksa. Ingin segera bersua dan memadu kasih dengannya, tapi aku perempuan. Pantang bagiku untuk mengatakan cinta lebih dulu.
Drett!
Drett!
Suara getar ponsel dari panggilan masuk, membuat jantungku berdebar. Segera kuraih handphone yang baru saja kuletakkan di atas meja.
Aku langsung menekan tombol hijau dalam layar, tanpa melihat nama yang tertera di sana.
"Halo ... kamu juga belum tidur?" aku menyapa dengan nada lembut.
"Belum dong, Dek. Mas Tejo mu ini sangat merindukanmu," Terdengar suara seseorang dari ujung telepon. Suara yang berbeda dengan suara Fadli.
Aku pun segera memeriksa layar ponsel, dan benar saja, bukan Fadli yang menelpon melainkan Tejo.
"Ngapain to nelpon malam begini?" ucapku kesal. Andaikan itu Fadli, akan beda lagi ceritanya.
"Aku mau minta maaf, karena tadi sore nggak bisa antar kamu pulang, aku sakit perut, Dek. Jadi pulang lebih dulu." ucap Tejo panjang lebar.
Dari caranya bicara, seolah dia adalah kelasihku. Sungguh menggelikan.
"La kamu siapa? pakai mau antar Aku pulang? Aku bisa pulang sendiri. Sudah ya, Tejo. jangan meneleponku di malam hari, Ganggu!" jawabku, tak kalah panjang lebar dari Tejo.
"Berarti kalau siang boleh, Dek?" Tenjo mencari celah pada ucapanku.
"Nggak boleh!"
Aku segera mematikan sambungan telepon. Kalau tidak, lelaki itu akan semakin besar kepala karena sudah kuladeni bicara.
Fadli pasti sudah tidur, karena pesan yang aku kirim padanya masih bercentang satu. Baiklah aku akan menghubunginya lagi nanti. Bagaimanapun aku harus menjaga harga diri. Masa, baru bertemu sudah terus menghubunginya. seolah aku sudah ngebet sama dia. Aku juga tidak mau membuat Fadli berpikiran buruk tentangku.
Hingga menjelang siang, aku belum bangun. Keadaan semalam membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak, sehingga mataku terasa berat untuk terbuka di pagi hari.
"Puspa! bangun to sudah pagi. Anak gadis kok molor ki piye to?" terdengar sayup suara ibu memanggilku dari arah dapur. Namun, aku tidak menghiraukannya.
Kutarik kembali selimut yang hampir terjatuh dari ranjang. Udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Aku pun kembali memakai selimut itu menutupi seluruh tubuh hingga kepala. Kembali tidur untuk meneruskan mimpi yang lagi indah-indahnya.
Akun memicingkan mata saat cahaya matahari tepat mengenai seluruh wajah. Cahaya itu meninggalkan rasa panas yang membakar. Apa ini sudah tengah hari? segera kuraih handphone yang tergeletak di atas meja. Dan benar, terlihat angka 12:12 berjejer sempurna.
Huaaaaahhhh!
Aku menggeliat panjang, untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku.Rasanya nyaman sekali setelah mendapat istirahat yang cukup, lebih malah.
"Puspa ... Bangun!" Dua kali ibu memanggil dengan kalimat yang sama. "Iya ... Bu. Puspa sudah bangun kok," jawabku dengan suara serak.
Saat keluar kamar, aku mendapati ibu sudah rapih, sepertinya lebam di kakinya juga sudah membaik, syukurlah. "Ibu, mau kemana?" tanyaku heran. Satu set rantang sudah ada di tangannya. "Ibu mau mengantar ini ke rumah pak lurah," Ibu menjawab sembari menunjukkan rantang berwarna merah jambu padaku.
"Itu apa, Bu?"
"Ini? Rantang to!" sifat lemotnya Ibu kambuh lagi.
"Isinya ... Bu Ningrum!" Ningrum adalah nama ibu. Kuhela nafas panjang merasa jengah dengan sifat ibu yang satu itu.
"Oh isinya ... opor ayam, sambal goreng tempe sama telur balado," Akhirnya dia faham dengan maksudku.
"Tumben, ada acara apa di rumah?"
"Tidak ada acara, Ibu ingin saja," jawabnya santai.
Ternyata pikiran Ibu lebih maju dariku. Dia pasti sengaja melakukan semua itu demi menarik perhatian pak lurah dan keluargannya. "Nggak papa to, Bu. Seperti itu?" tanyaku ragu.
"Yo nggak papa to, kan kita niatnya baik, Pus. Silaturrahmi," jawab ibu.
"Tunggu, Bu!" panggilku dengan suara lantang.
"Apa lagi?" Ibu mengehentikan langkah kakinya. Tepat di ambang pintu. Aku pun segera menghampirinya. "Kalau manggil itu mbok jangan teriak gitu to, Pus. Sudah kayak Tarzan kamu." Berulang kali Ibu menasehati, agar aku bicara lebih lembut dan pelan. Mau bagiamana lagi, suara nyaringku ini kan turunan dari dia. Sudah bawaan dari lahir.
"Itu sudah paling pelan Lo, Bu." jawabku cekikikan.
"Kamu itu, kalau di bilangi ngeyel."
"Biar, Puspa aja yang antar makanannya, Bu!" Tanpa menunggu jawaban dari Ibu, aku berlari ke kamar mandi. Tidak mungkin berkunjung ke rumah Fadli dalam keadaan belum mandi.
Setelah selesai berdandan, aku segera menyahut rantang yang di letakkan ibu di atas meja.
"Hati-hati, Pus! Jangan sampai tumpah!" Ibu mewanti-wanti.
"Siap, Bu!" Aku menjawab sembari menyalakan mesin motor.
Syukurlah, aku punya ibu yang pengertian seperti dia. Tanpa aku memintanya, Ibu sudah tahu apa yang aku mau. Doa kan anakmu, Bu! Semoga berhasil menggaet hati pria ganteng itu. Gumamku dalam hati.
Tak berapa lama aku pun sampai di rumah calon mertua. Enak sekali jadi orang kaya, mobil saja bisa gonta ganti sesuka hati. Setahuku mobil Pak lurah berwarna hitam, sekarang sudah berubah jadi merah.
Semoga usahaku mendekati Fadli berhasil, biar bisa naik mobil mewah itu setiap hari.
Dengan tidak sabar, aku mengetuk pintu rumah Fadli. Berharap bisa bertemu dengannya hari ini.
"Assalamualaikum," ucapku lantang.
"Wa'alaikumsalam, " terdengar sahutan dari dalam.
"Ee ... Puspa. Ayo masuk!"
Bu lurah sendiri yang menyambut kedatanganku. Sepertinya ini memang hari keberuntunganku, karen semuanya berjalan dengan sempurna.
Aku masuk ke rumah besar itu mengikuti langkah kaki Bu Lurah. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Nampak Fadli tengah duduk santai di sofa ruang tamu. Akhirnya usahaku tidak sia-sia. Kupasang wajah termanis saat menyapanya.
"Puspa?" Pria itu berdiri dan menghampiri. Membuat irama jantungku yang awalnya baik-baik saja, langsung bergemuruh bak genderang perang tengah di tabuh.
"Oh iya, ini ada sedikit makanan dari Ibu," aku berkata sambil menyerahkan rantang yang kubawa pada ibunya Fadli. Karena terpesona, aku sampai lupa masih menenteng rantang itu di tangan.
"Walah ... kok repot-repot to ibumu. Makasih yo," Bu lurah membawa rantang beserta isinya masuk ke dapur. Aku membatin, sudah pasti lah mau repot wong ada maunya.
Fadli mengajakku duduk di sofa. Dengan malu-malu aku pun menurut.
"Rumah kamu nyaman banget Lo, Sayang,"
Belum sampai bokongku menempel dengan sempurna di atas sofa, terdengar suara lembut dari arah dalam. Seorang gadis cantik keluar sembari membenahi pakaiannya, sepertinya dia dari kamar mandi.
Refleks aku pun segera bangkit dari duduk.
"Eh, ada tamu?" ucapnya kaget.
"Kenalkan dia Puspa, teman sekolahku dulu," Fadli memperkenalkan diriku padanya.
"Hai, Puspa. Aku Yasmin pacarnya Fadli," perempuan itu berucap sembari mengulurkan tangan padaku.
Degh!
Pacar? Jadi Fadli punya pacar? Secantik ini? Seketika tubuhku terasa menciut, dia begitu cantik. Kulitnya putih bersih dan mulus. Seketika ku pandangi sisa-sisa gigitan nyamuk di lengan dan betisku, jelas aku kalah jauh dari wanita ini.
Bagaimana aku bisa lupa? sudah pasti banyak makhluk cantik dan mulus seperti dia di kota. Apa yang aku harapkan? Fadli menaruh hati pada gadis desa sepertiku? Penyanyi hajatan pula. Sudah pasti tidak mungkin.
"Pu-Puspa," aku menyambut uluran tangannya dan mengenalkan diri dengan tergagap.
Ya Tuhan, kulit tanganya saja sangat halus. Aku jadi tidak percaya diri saat menyentuhnya.
"Senang bertemu denganmu, Puspa," balasnya.
Dari nama kami saja sudah terbentang berbadan yang sangat jauh. Puspa dan Yasmin.
"Ayo, Sayang! Aku harus segera pulang, besok ada meeting di kanto," Perempuan itu berkata sembari menggandeng tangan Fadli. Sementara itu, aku hanya plonga-plongo menyaksikan kemesraan mereka.
"Sebentar ya, Pus. Aku antar Yasmin keluar," Fadli berpamitan padaku.
"Tunggu! Aku juga sudah mau pulang. Aku pamit ya Fad," enak saja mereka mau meninggalkan aku begitu saja. Aku akan pergi lebih dulu setidaknya itu terlihat lebih baik.
"Nggak nunggu Ibu, Pus? Rantangnya gimana?" Fadli malah memikirkan soal rantang.
Aku tidak lagi memikirkan rantang merah jambu milik ibu, karena menyelamatkan muka lebih penting.
"Nggak papa, Fad. Besok-besok masih bisa di ambil, atau untuk Bu Lurah saja rantangnya. Geratis," Entah apa yang aku ucapkan, yang penting aku bisa segera kabur dari sana.
"Aku duluan ya, ada urusan penting soalnya. Assalamualaikum,"
Segera ku putar sepeda motor yang terparkir di halaman rumah.
nggreng!
Aku melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku tidak perduli mereka mau berpikir apa tentangku, satu hal yang pasti aku sakit hati. Rasanya ada yang terluka dalam diriku, tapi tidak berdarah.
Di sepanjang jalan aku menangis. Dasar gadis kampung tidak tahu diri! Tak hentinya aku merutuki kebodohanku.
Dadaku terasa begitu sesak, apa begini rasanya patah hati? Apa ini karma karena aku sering menolak Tejo? Lah, kenapa juga aku malah teringat Tejo di saat-saat seperti ini? Membuat dadaku semakin sesak saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
siti qolifah
lanjuut
2023-05-31
2
Bocahcilik
itu harus! jadi wanita harus punya harga diri
2023-05-28
2