Sampai Fadli selesai memberi kata sambutan, jantungku terus bergemuruh. Bisa terkena serangan jantung kalau terus begini. Apalagi Fadli sering curi-curi pandang kepadaku. Bukannya aku terlalu percaya diri, Anita pun memberi kode bahwa pria yang kini berdiri di hadapan kami, terus melirik ke arahku.
"Duluan, Pus." Pria itu berkata sebelum turun dari panggung. "I-iya," aku sampai tergagap karena syok. Ternyata Fadli masih tidak berubah dia tetap santun seperti dulu, dan aku luluh pada dirinya.
"Dia masih ingat kamu, Pus." Anita sepertinya iri. "Tentu saja, siapa yang bisa lupa kecantikan Puspa Maharani?"
"Sombong!" balasnya. Kami pun cekikikan di atas panggung.
Saatnya kami harus beraksi. Anita tampil lebih dulu. Alunan musik dan merdunya suara kami membuat suhu terik siang ini tak terasa.
Aku mengeluarkan goyangan andalanku, membuat warga tergoda dan bergoyang. Bahagia rasanya bisa menghibur mereka.
Sesekali aku melirik ke arah Fadli yang duduk di antara para warga. Pemuda itu tersenyum saat beradu pandang denganku. Bak gayung bersambut, aku yakin cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
"Puspa ...!" Teriakkan itu mengalihkan perhatianku. "Pacarmu datang, Pus," Anita mengejek di tengah nyanyian kami. "Edan, ra Sudi aku pacaran sama modelan walang kadung kayak gitu!"
Tejo terus saja memanggilku, membuat harga diriku jatuh ke dasar bumi. "Aku padamu, Puspa ..." Teriaknya lagi. Ingin rasanya aku sumpal mulutnya dengan tisu. Kenapa sih, Tejo harus hadir? kenapa dia tidak sakit saja seperti Mala? Tanpa sadar aku sudah mendoakan kemalangan untuk orang lain.
Kebanyakan warga sudah pulang setelah jamuan makanan yang di sediakan oleh tuan rumah. Kami, rombongan organ, paling akhir karena harus belakangan karena harus membereskan dan lain-lain. Aku dan Anita sudah selesai makan dan lega karena perut kami sudah terisi. Aku bahkan lupa sarapan karena terlalu bersemangat.
"Kamu apa kabar, Pus?" Suara asing terdengar di telingaku, membuatku segera menoleh ke arah suara itu. Terkejut aku mendapati Fadli berdiri tepat di sampingku. Bagaimana aku bisa tidak menyadarinya?
"A-aku, baik," jawabku terbata-bata.
"Duduklah, Mas!" Anita bersuara. Aku bahkan lupa menyuruhnya duduk karena begitu gugup.
"Aku tinggal bentar ya, mau bicara sama Mas Agung," Anita berpamitan. Dia pengertian, tahu saja kalau aku mau berduaan dengan Fadli.
"Kamu nyanyinya bagus, Pus." Fadli membuka percakapan. "Enggak juga, Fad. Kamu lupa dulu sering memanggilku cempreng?" Aku dan Fadli bukanlah teman yang akur. Ketika SD sampai SMP, kami terus bertengkar dan saling mengejek.
Waktu kecil tubuh Fadli lumayan gemuk sehingga aku sering memanggilnya Endut, sementara Fadli sering memanggilku cempreng. Wajar sih, aku cerewet dan berbicara nyaring.
Siapa sangka, kini Fadli tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Tubuh atletisnya bisa menghipnotis mata para wanita.
"Iya, kamu kan memang cempreng kalau bicara, sampai sekarang masih cempreng, nggak?"
Tanpa sengaja, aku menatap kedua mata Fadli. Tatapannya sungguh menenangkan dan aku tenggelam. "Pus?" Suaranya membuatku tersadar. Kuatkan imanmu Puspa! Jangan sampai pertemuan ini menimbulkan kesan buruk pada Fadli. "Maaf, aku kurang konsen kalau di dekat pria ganteng," ucapku ngawur dan di sambut gelak tawa oleh Fadli.
Pemuda tampan di sampingku terlihat mengambil selembar tisu dan bolpen. "Ini simpan, ya! Aku harus pergi, hati-hati pulangnya!" Pria itu pun masuk ke dalam rumah. Apa yang dia suruh untuk aku simpan? Apa dia memberi uang sawer? Segera ku ambil tisu yang terlipat di atas meja, di sana tertulis nomor telepon Fadli. Dasar matre, cuma berpikir tentang uang saja.
Segera kucatat nomor itu di layar handphone. Bagaimana tidak kelepek-klepek kalau dapat perlakuan seperti ini? Pesannya pun begitu manis, semanis teh yang ada di gelasku. Segera ku habiskan teh yang tinggal separuh.
"Nit ... ayo pulang!" Dengan suara sedikit lantang, aku memanggil Nita. Aku tahu dia dari tadi memperhatikan, tapi pura-pura tidak tahu.
Setelah berpamitan dengan pak lurah dan istrinya, kami pun segera pulang. Kebetulan Nita membawa sepeda motor, jadi sekalian aku menumpang.
"Cieeh ... yang dapat nomor telepon, " Anita menggodaku di atas sepeda motor. "Opo to? Fokus! Entar masuk parit," ujarku sambil tersenyum malu.
"Lo Bu, kenapa?" Saat sampai di rumah, Ibu duduk di teras di samping Bulek Entin. "Ini to si Entin. Nggak becus bawa motornya," mendengar penuturan ibu, aku menjadi khawatir. Apakah mereka mengalami kecelakaan? Ibu tak henti-hentinya memijat kaki yang terlihat bengkak. "Ada apa to, Bulek?" Kali ini aku bertanya pada Bulek Entin.
"Tadi aku tidak fokus, Pus. Jadinya motor nabrak pohon pisang,"
"Ladalah ... kok iso to?"
"La Ibumu nyerocos ae ... Aku jadi nggak fokus," Bulek Ntin berusaha membela diri.
"Halah ... Dasarnya kamu nggak becus to, Entin!"
Kalau di biarkan, ini tidak akan ada habisnya. "Wes ... yang penting, Ibu nggak papa. Bulek pulang saja biar Puspa yang mengurus Ibu," Aku merasa iba pada Bulek Entin yang terlihat syok karena insiden itu.
"Yo wes, Bulek pulang ya, Pus,"
"Iyo, Bulek, hati-hati!"
Syukurlah, tidak ada luka yang parah. Mereka hanya menabrak pohon pisang tidak sampai terguling.
"Ibu ini Lo sudah di kasih tumpangan bukannya terimaksih makan ngomel ae,"
"Gimana nggak ngomel, ibu di susrukin ke pohon pisang kok,"
"Itu kan kecelakaan, Bu. Bulek Ntin pasti juga kesakitan itu, tapi di tahan."
Hingga menjelang malam, Ibu terus merintih dan mengeluhkan kakinya yang sedikit membengkak. Ibu memang seperti itu, sakit sedikit manjanya tidak ketulungan.
"Kita ke puskesmas ya Bu," usulku.
"Emmoh ... Nanti ibu di suntik," gusar Ibu.
"La terus piye, to?"
Lelah Karena manggung tadi siang begitu terasa. Aku ingin istirahat untuk meluruskan tulang punggung, tapi tidak bisa karena harus meladeni rengekan Ibu.
"Bentar, tak Beli paracetamol di warung Bulek Entin," kataku sambil mengambil kunci motor.
"Kok, paracetamol? Ibu Lo nggak panas, Pus," protes Ibu.
"Yo, wes lah, Bu. Pokok manut karo Puspa kalau mau sembuh." sahutku sambil segera berangkat ke warung.
Ibu begitu memaksakan keinginan ya, entah dari siapa dia menuruni sifat keras kepalanya itu.
"Bulek ...!" Panggilku sebanyak dua kali. Namun, Bulek Entin tidak merespon.
"Bulek Ntin!" Aku mengeluarkan suara lantangku, tak perduli para tetangga bakal terganggu, belum malam juga kan. Pikirku.
"Opo to, Pus?"
Wanita seumuran dengan Ibu itu keluar dari rumah sembari memegangi sebelah kakinya. Jalannya juga sedikit pincang. "Bulek, kenapa?"
"Keseleo kaki Bulek, Pus," jawabnya.
"Lah, kok iso to? Bukannya tadi sore Bulek baik-baik saja,"
"Iya, tadi belum terasa, pas sampai rumah kok bengkak kaki Bulek."
Mendengar penuturan Bulek Entin aku langsung memahami keadaan Bulek Entin, dia merasa sakit tapi tidak mengeluh karena menanggung omelan Ibu. bisa menyimpulkan. Kasihan sekali, apalagi dia tinggal sendirian karena anaknya pergi merantau ke luar kota.
"Kamu, mau beli apa?" tanya Bulek Entin.
"Oh iya, hampir lupa. Mau beli obat pereda nyeri untuk Ibu," jawabku sambil mengambil uang dari saku.
"Lho, ibumu belum baikkan? Coba di bawa ke Mbah Simpen untuk di urut. Aku tadi juga dari sana."
Mbah Simpen adalah tukang urut paling terkenal di desa kami.
"Seperti nggak tahu Ibu saja Bulek ini, tak bawa ke puskesmas saja nggak mau, apalagi urut?" keluhku.
Setelah mendapat obat anti nyeri, aku segera pulang. Rencana untuk mengirim pesan pada Fadli harus tertunda karena Ibu. Takutnya kalau Fadli sudah tidur.
Setelah Ibu minum obat yang ku beli, dia akhirnya bisa tidur. Syukurlah, aku juga merasa tidak tenang kalau Ibu terus merintih seperti tadi.
Sudah larut tapi aku belum bisa tidur. Aku ambil ponsel dalam tas. Mencari kontak Fadli di sana. Sudah jam dua belas malam. Apa Fadli sudah tidur?
Ting!
Tiba-tiba teleponku bergetar oleh pesan singkat dari Fadli. [Belum tidur, Pus?]
Darimana Fadli mengetahui nomer ponselku?
[Belum, aku nggak bisa tidur. Kamu juga belum tidur?] balasku.
[Belum ngantuk. Lagi mikirin apa kok nggak bisa tidur?] Balas Fadli.
Membaca pesannya sudah membaut jantungku berdetak lebih kencang lagi. Aku benar-benar jatuh cinta pada pemuda ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
ummi a-sya
semangat kaka 2 kuntum bunga meluncur ya..😊😊
2023-06-11
2
siti qolifah
mantuul
2023-05-31
1