Hari-hari terus berlalu dan tak terasa sudah setahun berlalu dan semuanya berjalan dengan lancar. Kakak laki-lakiku sudah bekerja kembali beberapa bulan ini, terima kasih pada pemilik pabrik karena masih mempekerjakannya. Kakakku yang hanya tamatan SMP memang sangat sulit mencari pekerjaan selain buruh kasar.
Adikku Ryan, setelah tamat SMA, bekerja di tempat bimbingan belajar sebagai office boy. Meski hanya office boy, Ryan bercita-cita menjadi guru dan bekerja di sana untuk belajar dan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aku dan orang tuaku mendukungnya, meski tetap diingatkan bahwa kami keluarga miskin dan tidak selalu mampu membiayai kuliahnya.
Awalnya adikku sedih, tapi kakakku Rein memberi dukungan padanya. "Abang masih muda, masih kuat bekerja di pabrik untuk puluhan tahun lagi, kamu hanya perlu mendoakan abang supaya selalu sehat, selama abang sehat, cita-citamu akan abang wujudkan. Jadi kalau kamu ingin menjadi guru, abang dukung dan belajarlah!" Itu nasihat kakakku Rein dan itu membakar semangat adikku Ryan. Dan sekarang dia sedang berjuang untuk merebut satu kursi di universitas ternama di kota.
Sementara itu, aku sedang duduk di mejaku dengan komputer di depanku. Aku memikirkan masa depanku, apakah aku akan bekerja seperti ini setelah lulus nanti? Mudah-mudahan ya. Saat ini aku sedang menjalani PKL beruntung karena punya pria dengan koneksi banyak. Aku akan bekerja sambil belajar di tempat ini, di kantor teman Leo, selama dua bulan aku akan belajar bagaimana menjadi seorang pekerja kantoran dengan sepatu high heels dan riasan yang cantik - meski aku merasa seperti ondel-ondel dengan merah di pipiku ini - duduk di depan komputer dengan udara yang sejuk karena AC, aku merasa di surga pekerja kantoran. Semoga aku bisa semakin pintar dan sukses, dan semoga keberuntungan selalu bersamaku.
Hubunganku dengan Leo juga baik-baik saja, dia sangat mendukungku dan selalu siap membantuku dalam segala hal yang aku butuhkan. Aku sangat mencintainya.
Namun, suatu saat...
"Saya tidak suka basa-basi. Saya juga tidak akan memberimu nasehat atau apapun mengenai hubunganmu dengan anakku, Leo. Dan saya juga tidak akan memberimu uang. Jangan sekali-kali membayangkan hal itu!" kata sang ibu dengan tenang. Hari ini ibunya Leo mengajakku bertemu. Dan kini kami berada di sebuah kedai kopi yang lumayan ramai. Wanita paruh baya yang sangat cantik dan tetap terlihat muda ini memang wanita yang elegan dan berwibawa. Tetapi di balik semua itu, mulutnya selalu mengeluarkan kata-kata pedas.
Sementara aku menunduk dan siap mendengar apa yang akan dikatakannya, sang ibu berkata lagi. "Putuslah dengan putraku. Kami sudah menemukan jodohnya. Sejak awal kami mengetahui hubungan kalian, kami tidak setuju. Beberapa alasan termasuk bibit, bebet, dan bobot. Suamiku akan sangat malu jika kamu menjadi menantuku dan hal itu akan mempersulit kehidupan Leo di tempat kerjanya jika terhambat olehmu."
Sangat tenang seperti lautan, tapi kata-katanya sangat menyakitkanku. Apa yang salah dengan keluargaku? Apa yang salah dengan kampung tempatku tinggal? Bukankah kita tinggal di daerah yang sama? Apa yang salah dengan ibuku yang berpenampilan sederhana?
Ayahnya Leo memang memiliki jabatan yang lumayan tinggi di salah satu instansi pemerintahan. Kalau tidak salah, menjabat sebagai kepala dinas pendidikan di kabupaten. Sudah jelas punya relasi para pejabat, mungkin ini maksud ibunya, mereka akan malu jika relasinya bertanya mengenai keluargaku seandainya aku menjadi menantunya nanti.
Mengenai menghambat pekerjaan Leo, apa hubungannya? Memangnya aku kriminal? Jodoh seorang PNS kayak Leo nggak di tentuin oleh atasannya atau pemerintah, kan?
Saat aku masih memikirkan kata-katanya beliau dan jawaban yang pas untuk menyanggah, aku mendengar beliau berbicara lagi, "Harusnya kamu sadari itu dari awal," lanjutnya tanpa memikirkan perasaan cintaku dan cinta anaknya. Aku merasa sedih. Berarti, memang harus berakhir, batinku.
"Nara, seharusnya, berterimakasihlah padaku. Jika saja dulu saya langsung menemui kamu dan meminta kamu putus dari Leo, mungkin sekolah kamu ini akan terputus di tengah jalan. Saya dan ayahnya Leo memang tidak tau pasti, tapi kami bisa menduganya, bahwa kamu di bantu oleh Leo, kan?"
Mendengar itu, aku merasa semakin sedih. Serendah itukah aku dan keluargaku di pandang oleh orang berada ini? Benar, beberapa kali Leo memberiku uang. Tapi itu bukan uang kuliahku. Aku bahkan sudah menolaknya, karena aku tidak mau suatu saat jika ini sampai ke telinga orang tuanya, maka aku akan di kira sedang memanfaatkan anaknya. Ternyata, apa yang kutakutkan dulu, kini terbukti.
"Ini bukan uang kuliah, jangan salah paham. Abang tahu, kamu dan keluargamu masih sanggup bayar uang kuliahmu. Ini uang jajanmu atau jadikan tabungan. Suatu saat kalau ada yang urgent, pakai ini!" ucap Leo kala itu ketika dia memberiku uang yang mau tidak mau jadinya ku terima dan ku simpan seperti ucapannya. Di pakai jika ada yang urgent.
"Sudah saya duga dan ternyata benar," kata ibu Leo dengan nada kesal dan juga sedikit dengusan mengejekku.
Beliau menyimpulkan sendiri karena aku tidak menjawab dan tidak menyangkal kata-katanya.
"Nara, tinggalkanlah Leo. Jangan keras kepala. Kali ini, saya berharap, kamulah yang harus mengalah. Tidak peduli sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah cocok dengannya. Seharusnya kamu sadari itu."
Suaranya sangat datar tapi penuh makna, makna penolakan yang sangat keras terhadapku. Sepertinya, penghalang untuk cinta kami lebih kuat dari pada rasa cinta di antara kami. Aku mulai goyah saat bertemu dan mendengar langsung penolakan itu dari orang tua Leo. Aku takut mati muda karena tertekan jika ini di lanjutkan.
"Maaf, Nyonya. Apa saya bisa menjawab sekarang?" tanyaku pelan. Sebenarnya, aku ingin sekali memotong ucapannya sedari tadi. Tapi aku masih ingat siapa beliau. Aku harus sopan demi nama baikku juga. Apa yang kulakukan atau ku katakan padanya bisa beredar di warga setempat ratusan kali lipat dan seratus kali lebih cepat.
"Saya akan menyelesaikannya dengan Leo, Nyonya. Dan saya tegaskan, biaya kuliah saya murni dari keluarga dan hasil kerja saya. Nyonya tahu dan pernah melihat sendiri bahwa saya masih bekerja walau hanya sebagai tukang cuci baju. Jadi, semua biaya saya berasal dari saya dan orang tua saya. Tidak dari orang lain," ucapku tegas dan aku tidak menyinggung perkara uang yang pernah aku terima.
Inhale exhale. Aku lakukan berulang-ulang setelah memberikan kalimat sanggahan.
"Baiklah, anggap saja saya percaya. Dan bagus jika itu kebenarannya. Artinya, anakku masih waras," ucapnya dengan sangat tidak iklas.
"Ingat apa yang kamu katakan barusan, jangan ingkar!" Beliau berdiri dengan dengan elegannya dan meraih tas yang selama ini diletakkan di atas meja lalu pergi.
Pertemuan yang tidak pernah ku duga, karena selama ini, walau aku berpapasan dengan beliau atau aku lewat dari depan rumahnya, beliau tidak pernah mengatakan apapun padaku. Beliau lebih senang mengatakannya pada orang lain dan itu membuatku menjadi topik utama bagi para ibu-ibu yang sedang menggosip.
Me:
"Bisa nelpon? Ada waktu gak?"
Bg Leo:
"Bentar, aku yang akan melakukan panggilan."
Me:
"Oke."
God, should I give up?
Aku memandang ponselku dan memikirkan apa yang harus aku katakan pada pria tampanku nanti.
'Abang, sepertinya kita memang harus mengakhirinya sampai disini!'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Dewi Payang
sikapmu udah bener Nara
2023-06-23
1
Sri. Rejeki
selalu ada jarak ya antara si kaya dan si miskin.. aduuhh kasihan..
2023-06-22
2
Mila Nuur
lanjut
2023-06-22
1