4. Kemarahan Hendra

Hendra masih diam menatap kosong ke depannya. Ponselnya telah mati kembali menunjukkan bahwa ia telah mengabaikan perangkat tersebut dalam waktu yang cukup lama. Pikirannya melayang jauh, meninggalkan raganya yang terlihat seperti patung hidup.

Rinjani yang hadir di depannya merasa heran dengan perubahan sikap kekasihnya. Ia terus bertanya-tanya mengenai isi pesan yang baru saja diterima Hendra dan membuatnya terlihat melamun seperti itu.

“Kamu tidak apa-apa, Ndra?” tanya Rinjani mencoba mengembalikan kesadaran Hendra. Meski demikian, suaranya terdengar lirih sehingga tidak terlalu terdengar oleh kekasihnya.

“Halo! Ndra, kok melamun sih. Kamu kenapa?” ulangnya sambil sengaja menggoyangkan tangan di depan wajah Hendra. Hal tersebut berhasil membuat Hendra menyadari keberadaannya.

“Ehh! Ke-kenapa, Sayang? Ka-kamu manggil aku?” Hendra tampaknya pertama kali tersadar dari lamunannya dan merasa salah tingkah di hadapan Rinjani.

“Kamu kenapa sih, Ndra? Tiba-tiba melamun begitu. Ngelamunin apa sih, aku panggil panggil dari tadi nggak denger denger?” Rinjani protes agak kesal.

“Nggak apa-apa, Sayang. Sudahlah, sekarang kamu lanjutkan makanmu.” Hendra mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Nggak apa-apa gimana, dari tadi aku melihat kamu melamun karena pesan masuk. Dapat pesan dari siapa sih?” Rinjani bertanya dengan sedikit rasa penasaran.

Tampaknya Rinjani mulai curiga dan memperhatikan dengan seksama respon Hendra. Tatapannya semakin tajam dan membuat Hendra semakin gelisah. Seperti seseorang yang baru saja ketahuan melakukan kesalahan.

“Ayo ngaku! Dapat pesan dari siapa?” tanya Rinjani dengan nada sedikit curiga.

“Bu-bukan dari siapa-siapa, Sayang. Percaya deh sama aku,” Hendra menjawab coba-coba untuk menjelaskan situasi padahal sebenarnya masih merahasiakan sesuatu dari Rinjani.

“Kamu tidak lagi menyembunyikan sesuatu dariku kan? Atau jangan-jangan kamu ada perempuan lain di belakangku ya?” Tiba-tiba Rinjani mulai curiga dan menegaskan dugaannya.

Hendra tampaknya kaget dan gelisah mendengar dugaan kekasihnya. Ia merasa sedang dituduh tidak adil.

“Oke, begini Sayang. Aku jamin, aku tidak memiliki perempuan lain selain kamu. Bahkan selingkuh dengan orang lain pun belum pernah menjadi pikiranku. Sekarang, kamu buang pikiran buruk itu. Setelah ini kita bisa pergi ke makam Om dan Tante. Kita mau mengunjungi mereka kan?” Hendra mencoba mengalihkan perhatian Rinjani dari topik yang menegangkan.

“Tapi benar kan kamu tidak berbohong, Ndra?” Rinjani masih memiliki keraguan dalam hatinya dan merasa keanehan masih terasa pada sikap Hendra. Meski begitu, ia berusaha untuk mempercayainya.

“Kamu tahu, Ndra. Kamu saja satu-satunya orang yang saya miliki. Saya tidak ingin kehilanganmu. Saya harap kamu tidak akan pernah meninggalkan saya.” Rinjani merasa sedih karena kini dirinya hanya tinggal sebatang kara. Tidak ada yang dimilikinya selain Hendra, kekasihnya.

“Aku menjanjikan padamu, Sayang. Apapun yang terjadi, hatiku akan selalu dimilikimu. Tidak akan ada orang lain yang bisa menggantikan tempatmu di hatiku,” Hendra dengan cepat memeluk Rinjani sambil berharap kekasihnya luluh dan percaya kepadanya.

“Jangan meninggalkanku, Ndra,” ucap Rinjani dengan nada lembut dan penuh harapan.

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Sayang.” Meskipun Hendra menjawab dengan percaya diri, ia tidak yakin dengan keputusannya. Di dalam dirinya terdapat dilema yang belum teratasi. Namun ia berjanji untuk mencari cara agar mereka tetap bisa bersama.

 

Hari telah berganti siang. Matahari telah bersinar dengan teriknya menunjukkan kekuatan dan sinarnya yang hangat. Menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk yang hidup di bumi. Cahayanya terlihat terang benderang, seolah-olah menunjukkan keberadaannya yang tegas dan kokoh meskipun ia sendirian di hamparan langit biru yang begitu luas dan bersemi kesepian.

Rinjani merasa tertantang untuk meniru kekuatan matahari dalam menghadapi hidup yang baru tanpa orang tuanya. Selanjutnya, ia bercita-cita untuk mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri, walau harus meninggalkan kuliahnya yang sudah diterima. Rinjani merasa harus belajar mandiri dan tidak boleh selamanya merepotkan Hendra.

“Besok, aku akan mencari pekerjaan, Ndra.” ujar Rinjani ketika sedang bersama dengan Hendra.

“Tapi bagaimana dengan kuliahmu, Sayang?” tanya Hendra.

“Untuk saat ini, aku akan berhenti kuliah dulu. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini kan. Sekarang, aku harus berusaha sendiri untuk menjamin biaya hidupku. Berat sih kelihatannya, tapi aku harus berjuang,” Rinjani mencoba menunjukkan semangatnya dalam menghadapi hidup yang baru, tanpa kehadiran orang tuanya.

“Kamu benar, Sayang. Kamu harus bangkit kembali. Saya yakin, kamu akan menjadi orang yang hebat. Semangat!” Hendra mencoba memberikan semangat agar Rinjani bisa bangkit dari keterpurukan yang dialaminya.

"Maaf, Sayang... aku tidak bisa menemanimu mencari pekerjaan. Tapi jangan khawatir, aku akan mencoba untuk menanyakan teman-temanku, mungkin mereka punya informasi pekerjaan." kata Hendra dengan lembut.

"Terima kasih banyak, Ndra. Kamu selalu ada untukku." kata Rinjani dengan sedih. Ia merasa sangat bersyukur memiliki pacar yang perhatian seperti Hendra yang selalu ada untuknya.

"Jangan sedih lagi, ya. Senyum dong..." Hendra memegang pipi Rinjani dan mencubitnya dengan lembut. Walaupun sakit, Rinjani merasa senang mendapat perlakuan manis dari Hendra.

"Bagus... kamu cantik kalau tersenyum."

 

Setelah mengantarkan Rinjani pulang, Hendra kembali ke rumahnya. Ia bertingkah sangat kasar dan tidak bersahabat. Wajahnya memerah dan kedua tangannya terlihat menggenggam. Ia kemudian membanting pintu dengan keras, membuat orang dalam kamar terkejut.

"Hentikan semuanya, Ma! Saya tidak akan pernah menuruti keinginan konyol ibu." teriak Hendra dengan emosi. Ia masih berdiri dengan wajah yang sudah merah padam. Di depannya, ibunya sedang terkejut mendengar perkataannya.

"Begitu cara bicara kepada ibu?" kata ibunya dengan suara sedih.

"Mohon hentikan rencana ibu. Saya tidak akan pernah meninggalkan Rinjani sendirian, ma. Ibu tahu sendiri kan? Rinjani baru saja kehilangan orangtuanya. Jadi mohon maaf, saya tidak bisa sekeras itu terhadap Rinjani." Hendra berbicara sambil bersungut-sungut. Ia sangat marah dengan ibunya. Setelah selesai bicara, Hendra pergi dan meninggalkan ibunya yang sedih dan menyesal.

Ibu Hendra hanya bisa melihat putranya yang semakin menjauh dari dirinya dengan sedih. Air matanya mulai menetes dan ia berkata, "Kamu tahu kan Sayang? Sudah sangat lama ibu menunggu ini. Kami rela melakukan banyak hal agar kamu bisa mendapatkan ini. Kamu tahu nak, ini adalah yang terbaik untukmu." Katanya dengan terbata-bata. Meskipun sudah lama ia menantikan impian tersebut, namun ketika semuanya ada di depan matanya, ia malah diminta untuk mengakhirinya.

"Rinjani..."

Terpopuler

Comments

Nona Bucin 18294

Nona Bucin 18294

humm... jangan ngelamun nanti bisa kerasukan kera sakti hhee,,,, 😅 semangat kak

2023-06-09

0

lovelly

lovelly

kenapa bnyak cowok suka nyubit pipi ceweknya yaa

2023-05-30

1

sitiaisyah

sitiaisyah

apa lgi ini, knp hendra marah2 sma mamanya apa mamanya udah punya pilihan sndiri buat hendra
klo bner begitu ksian sih rinjani

2023-05-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!