Gibran mengerjap-ngerjapkan matanya setelah dering ponsel mengganggu tidurnya, dia baru sadar bahwa dia sudah tertidur dua jam setelah pertengkarannya dengan Delia tadi, mengingat gadis itu betapa Gibran sangat malas dan tak bergairah. Ia mengambil ponselnya dan melihat dilayar telphonenya dan melihat nama Ibu yang ternyata menelphonenya.
"Assalamualaikum sayang !"
Suara riang Ibu terdengar begitu nyaring ditelinga Gibran, mengapa akhir-akhir ini ketika Ibu terlihat bahagia, justru kebalikan yang Gibran rasakan.
"Walikum salam Ibu !"
Gibran menjawab biasa dan sedikit malas, efek bangun dari tidur yang terganggu.
"Istrimu mana ? Apa kalian sedang bersama saat ini ?"
"Oh, itu, dia-dia sedang... Di dapur sekarang !"
Gibran sedikit terbata-bata menjawab pertanyaan yang sangat sederhana itu. Seharusnya ia menjawab 'Aku tidak tau dan tidak mau tau' namun Gibran tak punya rasa nyali mengatakan hal itu pada ibunya.
"Ya sudah Gibran, Ibu hanya akan menyampaikan kepada kalian bahwa nanti malam Tante Riska, Tante Eli dan Om Farhan akan berkunjung kerumah bersama keluarga mereka, mereka ingin mengadakan makan malam dirumah sekalian ingin kenal sama istrimu, jadi nanti malam jam tujuh, kalian harus datang kesini, dan ingat jangan sampai terlambat !"
Bagai akan ada bencana besar yang dirasakan Gibran saat ini, sungguh dia merasa gelisah dan rasanya tak ingin datang. Tante Riska dan Om Farhan adalah saudara dari Ibu Gibran, sedangkan Tante Eli adalah saudara dari Ayah Gibran, jadi Gibran sudah bisa menduga, akan seperti apa nanti ketika dia dan Delia berada ditengah-tengah keluarga besarnya.
"Apa ? Kenapa harus ada acara-acara seperti itu sih, Gibran banyak kerjaan Bu, sepertinya kami tidak bisa hadir nanti malam."
Terdengar suara dengusan kesal dari balik telephon.
"Apa saat ini kau sedang mabuk, hingga tak akan hadir diacara keluarga besar ? Kami ingin berkumpul bersama kalian, pokoknya kalian harus hadir, titik."
Ini apa lagi, tadi ibu mertuanya, sekarang ibunya sendiri. Kenapa urusan anak muda kalian ikut-ikut sih ! Omel Gibran dalam hati.
"Terserah Ibu, yang jelas Gibran gak janji untuk datang." Gibran masih berusaha menolak untuk datang, dia benar-benar tak bisa jika harus bersandiwara lagi.
"Apa kau tega sama Tante-tante mu yang sudah rela menyisakan waktu hanya untuk datang kemari ingin bertemu dengan kalian ?"
Gibran menarik nafas berat.
"Aku tetap tidak bisa Bu, jika Ibu perlu Delia untuk hadir, Ibu bisa jemput Delia nanti malam."
Gibran tau, ibunya pasti tidak akan semudah itu membiarkan dirinya absen diacara keluarga mereka, suara seruan kesal dari Ibu mengisi pembicaraan telephon saat itu.
"Kalau kalian tidak bisa datang kemari, baiklah, kami yang akan mengunjungimu datang kerumahmu, titik."
Mendengar mereka akan mengunjunginya kemari terdengar lebih mengerikan ketimbang dia harus datang bersama Delia kerumah Ibunya. Sampai akhirnya saat keduanya sudah lelah berdebat, pemenangnya sudah bisa ditebak, yaitu Ibu Gibran. Gibran sudah tahu bagaimana ibunya memintanya melakukan sesuatu yang membuatnya enggan untuk melakukannya, ia memejamkan matanya beberapa kali , kebingungan memenuhi benaknya saat ini, bagaimanapun dia tak ingin hubungannya bersama Delia terungkap begitu saja.
Akhirnya Gibran memutuskan untuk menemui Delia saat ini yang sedang berada dikamarnya, dia berjalan sedikit ragu untuk melangkahkan kakinya kekamar gadis menyebalkan itu, dia berdiri cukup lama didepan pintu kamar Delia. Namun dia tetap harus mengetuk pintu kamar gadis itu.
Cukup lama Gibran mengetuk pintu itu, namun masih belum terbuka. Dan ketukan yang ke lima, akhirnya pintu itupun dibuka oleh seseorang yang sudah Gibran duga, dengan wajah malas dan sedikit memejamkan mata, nampaknya Delia baru saja terganggu tidurnya, dia hanya memasang tampang bertanya pada Gibran namun Gibran seakan bingung harus memulai darimana.
"Jika mau makan, aku sudah siapkan dimeja makan, jadi jangan ganggu aku, aku sungguh sangat lelah saat ini !"
Ucap Delia akhirnya, dia begitu tak bersemangat meladeni Gibran, diapun hendak beranjak dan akan menutup pintu kamarnya lagi, namun tangan Gibran buru-buru menahan pintu itu agar tak tertutup, membuat Delia benar-benar kaget, sebenarnya apa yang Gibran inginkan darinya.
"Apa lagi ?" nampak kesal raut wajah Delia.
"E.. Sebelumnya terimakasih sudah menyiapkan makanan untuk ku !"
Ucap Gibran nampak mencoba sabar menghadapi Delia, walau wajahnya masih tetap dingin.
"Ibu meminta kita untuk menghadiri acara keluarga besar malam ini dirumah !"
"Acara keluarga apa maksudnya ?"
"Acara makan malam keluarga, seluruh anggota keluargaku datang malam ini, mereka ingin mengenalmu !"
Terdengar sangat mengerikan bagi Delia, mendengar hal itu.
"Apa ? Kenapa kau tak menolaknya !"
Terdengar nada gusar dari Delia.
"Aku sudah menolaknya, tapi ibu memaksa."
Gibran tak kalah kesal, dia juga tidak mau menghadiri acara itu.
"Kurasa kau yang tak pandai untuk menolaknya, dan akhirnya kita berdua harus menghadiri acara itu !"
"Kau tau sendiri kan, bagaimana orang tua kita, kita tidak bisa memutuskan apa-apa, apa kau tak memikirkan hal itu ?"
Mendengar itu Delia menatap tajam kearah Gibran.
"Apa kau juga berpikir tentang hal itu ? Kau bukanlah orang yang cerdas untuk memikirkan hal itu, kau..." Delia menghentikan kata-katanya sejenak lalu menatap Gibran dengan tatapan sinis.
"Kau hanya PECUNDANG !"
Penekanan pada kata "Pecundang" membuat Gibran merasa "Tersanjung" karena baru kali ini ada wanita yang mengatainya dengan sebutan murahan itu.
Lantas Gibran pun menatapnya tajam dan menarik sebelah tangan Delia lalu mencengkramnya dengan kuat.
"Dengar ! Aku akan menantangmu, siapa yang sebenarnya pecundang, kau atau aku, aku akan buktikan bahwa kau akan jatuh pada laki-laki yang kau sebut PECUNDANG ini !" Gibran pun menghempaskan tangan Delia dengan kasar lalu pergi dari hadapan gadis itu.
Delia bisa merasakan tangannya nyeri akibat cengkraman itu, ia sempat meringis kesakitan, tapi Delia begitu memikirkan kata-kata Gibran barusan dan kata-kata terakhir yang melekat dibenaknya.
Delia merasa takut sendiri, dia tidak tau apakah perkataan Gibran itu serius atau tidak. Yang jelas dia tidak memikirkan sejauh itu, Delia nampak khawatir sekarang, bisa saja Gibran hanya main-main dengan perkataannya.
Delia pergi ke dapur dan mengambil air putih satu gelas, Delia meminum air itu dengan satu tegukan, ia menjatuhkan diri dikursi meja makan. Pikirannya kembali aneh, atau mungkin dia masih memikirkan perkataan Gibran. Delia menatap gelas kosong itu dengan tatapan kosong, meskipun ia tahu banyak sekali masalah yang harus ia keluarkan dipikirannya, ditambah lagi acara makan malam dengan keluarga besar Gibran, itu sungguh memusingkan bagi Delia. Kalaupun dia tak menemukan solusi yang baik setidaknya ia tidak menjadi orang linglung seperti ini.
Delia sadar kalau dia terus memikirkan semua perkataan Gibran, dia pasti akan diliputi kekhawatiran dan ia tak bisa menjalani kehidupan secara normal.
"Laki-laki itu hanya bercanda, Ya ! Mana mungkin dia akan serius dengan perkataannya. Ah ! Aku harus cepat-cepat enyahkan pikiran khawatir ini, aku tak mau kalimat Gibran tadi menjadi hantu dipikiran aku !"
Ujar Delia pada diri sendiri, lalu cepat-cepat dia berlalu kekamarnya, sebelum ia membuka pintu kamarnya, ia perhatikan pintu kamar Gibran yang nampak tertutup itu, dan seketika tubuh Delia menjadi merinding sendiri, cepat-cepat Delia masuk ke kamarnya lalu menutup pintu kamarnya dengan kasar.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
maklum lagi laper,
2024-02-01
1
dih, gak guna😲😮💨
2024-02-01
1
wa'alaikumsalam
2024-02-01
0