Suasana di sebuah masjid di dekat kampus itu nampak ramai, jam menunjukkan waktu dhuhur, seorang pria baru saja keluar dari masjid itu setelah sholat berjamaah bersama disana.
Ia baru saja selesai mengurus data mahasiswa yang harus ia lengkapi untuk program studi magisternya, dia nampak termenung sambil duduk di teras masjid sambil menyandarkan tubuhnya di sebuah tiang masjid. Dia nampak tak semangat, persoalan klasik yang selama seminggu ini berada dalam lingkup hidupnya, dia kadang begitu sebal dan sering menyalahkan dirinya sendiri dan bahkan dia ingin dirinya bisa lenyap seketika di dunia ini. Tapi dia harus bertahan sampai akhirnya ia takkan bisa lagi bergelut dalam dunianya sekarang. Ia tak menyangka bahwa dia akan menjalani cerita hidup yang rumit yang bahkan ia pikir hanya ada dalam cerita novel belaka.
Kini Gibran memilikinya sebagai cerita mustahil yang sangat miris ini dan tak kunjung ia percayai. Namun dia tetap percaya Tuhan Maha Tahu segalanya, dan dia memiliki rencana yang sangat baik dibalik kisah yang dia miliki saat ini.
Beberapa menit kemudian, Gibran hampir saja terlelap sambil menyandar ditiang masjid, suasana masjid yang sejuk nampaknya membuat Gibran ingin menutup mata barang sejenak, namun ponselnya tiba-tiba berdering beberapa kali, ia pun mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum memungut ponselnya yang ada dalam saku bajunya.
Terlihat dalam layar hanphonenya, nama seseorang yang membuat dia langsung tak bergairah untuk mengangkatnya, dia begitu malas untuk menjawab panggilan dari seseorang itu dan dia pun mengabaikannya.
Gibran kembali mengistirahatkan kepalanya di tiang masjid itu dan tak berjarak lama ada dering pesan masuk di ponselnya, ia merogoh lagi saku bajunya dan mengambil ponsel itu. Membuka pesan dari seseorang yang tak ia harapkan pengirimnya. Benar saja, itu dari Delia, wanita yang baru beberapa hari ini ia nikahi. Pesannya cukup mengejutkan dan ia harus menuruti isi pesan itu saat ini. Akhirnya dia pun mengangkat panggilan Delia yang kedua.
Suara Delia masih sama seperti biasa, canggung dan malas, mereka berdua malas untuk bertutur kata seperti ini bahkan bisa dibilang mereka tak mengenal satu sama lain.
Gibran tak punya pilihan untuk menolak permintaan Ibu mertuanya untuk pulang cepat hari ini, dia tak mungkin setega itu untuk menolak permintaan orang tua Delia itu, atau sebut juga Mertuanya.
Sebenarnya Gibran tak ingin melihat siapapun dirumahnya kecuali Delia dan dirinya. Karena dengan begitu mereka bisa saling mengatur dan mengendalikan diri mereka masing-masing tanpa harus bersandiwara didepan semua orang, karena dia tak mau seorang pun yang tau tentang hubungan rumah tangganya dengan Delia. Namun ia kini memilih untuk pulang cepat dan menemui Ibu mertuanya. Karena dia tak senang melihat orang tua manapun yang sedih hanya gara-gara dirinya. Dan Gibran pun beranjak dari duduknya, ia mengambil tas lalu menggendongnya dibelakang, diapun kini menjalankan mobilnya kearah pulang, dia akan pulang hanya karena ingin menemui Ibu mertuanya, bukan karena yang lain
Sesuatu hal sebenarnya selalu saja terjadi saat ia menemuai orang-orang yang tidak tahu-menahu dengan kondisi keluarga kecilnya. Mungkin mereka tau dari luar bahwa Gibran dan Delia adalah sepasang suami istri. Tapi hatinya sendiri menolak hal itu. Entahlah, disebut apa semua ini, sebuah lakon sandiwara. Hanya waktu yang dapat menentukan akan perjalanan rumah tangganya bersama Delia, ia tak banyak berharap, mungkin saja rumah tangganya hanya akan bertahan hingga hari keenam, ketujuh, delapan ? Entahlah.
Ditengah perjalanan, Gibran menemukan bungkusan sebuah souvenir berisi gelas cangkir di hiasi pita kecil di pegangannya.
Gelas itu yang nantinya akan menjadi souvenir untuk pesta resepsi pernikahannya dengan Delia yang sudah Ibu mereka siapkan.
Gibran mendesah pelan sambil melirik pada Gelas kecil itu, seharusnya tak begini nasib gelas kecil yang malang itu.
Pikirannya kini melayang jauh entah kemana, tahu-tahu dia kini sudah memarkirkan mobilnya di garasi rumah pemberian orang tua Gibran, walaupun mereka sebenarnya tak menginginkan rumah ini.
Memasuki rumahnya yang tampak sepi Gibran berjalan pelan, samar-samar dia mendengar suara-suara kecil yang berasal dari dapur. Gibran sudah mengira pasti mertuanya berada disana.
Melihat kedatangan Gibran, Ibu terlihat tersenyum karena senang. Gibran pun menyalami mertuanya itu dengan penuh hormat.
"Delia ada dikamarnya sekarang !"
Ucap mertuanya itu, itu bukan sebuah jawaban yang seharusnya, karena Gibran sama sekali tak menanyakan dimana Delia berada, dia sungguh tak mau tau dimana keberadaan gadis itu.
"Oh, Iya Bu !"
Gibran menjawab seolah-olah dia mencari Delia berada. Mungkin Ibu berpikir seorang suami yang meninggalkan istrinya sedetik saja pasti akan merindu.
Gibran pun melangkah meninggalkan dapur, namun nampaknya dia melihat Delia baru saja keluar dari kamarnya dan menatap dirinya dengan tatapan sinis, Gibran tak memperdulikan tatapnnya itu dia nampak acuh tak acuh.
"Kita harus beraikap sebagaimana mestinya jika didepan Ibu !"
Ucap Delia tanpa menoleh sedikitpun kepada Gibran, lalu diapun berjalan mendahului suaminya itu, sedangkan Gibran hanya bisa terpaku dan tak lama kemudian diapun berjalan mengekor pada gadis membosankan itu.
Di meja makan, sang ibu mertua pun langsung menyuguhkan kue lapis yang dia bikin tadi bersama Delia. Gibran hanya menatap piring dengan kue lapis diatasnya, dia menatap dengan perasaan bersalah yang bercampur aduk dengan rasa sesal. Perasaan bersalah seringkali menjadi penyakitnya saat ini, ia tidak ingin membuat orang lain merasa sedih, namun dia terus saja melakukannya.
"Makanlah, itu buatan Delia loh, khusus buat kamu, kau pasti suka !"
Delia langsung menegang mendengar perkataan ibu, namun dia tak bisa protes sedikit pun karena dia tahu bagaimana dia harus bersikap jika didepan ibu.
Dengan ragu Gibran menyomot satu kue yang tersusun rapi diatas piring itu dan memakannya, dia berharap apapun yang ia makan saat ini tak akan mendatangkan rasa kagum atau pujian, tapi nyatanya lidahnya melakukan kesalahan.
"Enak, lumayan untuk cemilan !"
Gibran berkata dengan seulas senyum, dia tak tau apakah dengan memakan semua kue yang ada di piring itu bisa membuat Ibu percaya bahwa hubungannya dengan Delia baik-baik saja.
"Wah, pastinya dong, Delia memang dari dulu dia itu hobi banget masak, masakan apa saja, pasti Delia bisa, dan rasanya pasti enak, kamu beruntung menjadi suaminya !"
Sungguh rasanya kue lapis itu tiba-tiba menjadi duri yang menusuk ditenggorokan Gibran, mendengar pernyataan ibu, sedangkan Delia langsung menarik tangannya dari atas meja dan memebenamkannya dipangkuannya, nampak Delia khawatir bahwa sandiwara ini akan terus berlangsung dan dia tak tau bagaimana cara untuk menghentikannya.
"Oh iya, sepertinya ibu harus pulang, Ayahmu pasti sudah menunggu !"
Kata ibu penuh semangat, mereka begitu nampak serasi dimata Delia, membuat dia iri karena kisah percintaannya kini penuh dengan sandiwara.
"Bagaimana jika Gibran yang mengantar ibu pulang ?"
Ujar Gibran dengan tulus.
"Tidak usah sayang, temani saja istrimu dirumah, dia pasti sudah merindukanmu !"
Lagi-lagi ibu melontarkan kata-kata yang membuat Delia menegang. Akhirnya ibu pun pulang menaiki sebuah taxy online yang ia pesan tadi dan kelegaan pun kini dirasakan oleh Delia maupun Gibran, karena dengan tidak ada siapapun dirumah kecuali mereka, mereka kini tak perlu bersandiwara lagi, sungguh sandiwara yang melelahkan.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
𝓐𝔂⃝❥🍁●⑅⃝ᷟ◌ͩṠᷦụᷴfᷞi ⍣⃝కꫝ🎸❣️
lama2 begini ngak akan ada kemajuan delia gibran, komunikasi nya ngak bagus banget, sandiwara juga kaku 😅 apa ngak berusaha berteman dulu apa, ngak mungkin tiap hari cemberut gitu 🤦🏻♀️
2024-02-22
1
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ🦂⃟ᴘɪᷤᴘᷤɪᷫᴛR⃟️𝕸y💞hiat
meski mungkin dijodohkan kenapa tidak memulai dari awal palingbtidak mengenal satu sama lain dulu, berteman palimg tidak suasananya cair
2024-01-30
2
𝐀⃝🥀 uchie
tak habis pikir ckckkck
2024-01-29
1