Seluruh sendi dalam tubuhku serasa mati rasa, aku harus tetap berjuang membawa anakku lahir kedunia ini! Di sukai ataupun tidak di sukai oleh keluarga suamiku.
Suara tangis anakku memberikan kekuatan tersendiri bagiku," selamat ibu! Anak ibu sehat dengan jenis kela min perempuan, cantik seperti ibu, bayi sudah siap di bacakan adzan ibu!"
"Apakah suami ibu sudah datang?" Kembali pertanyaan yang sangat menyakitkan bagi ku.
"Suami saya tugas keluar kota suster, apakah saya bisa mengadzani putri saya?" Tanya ku mantap, mungkin ini awal aku harus menjadi ibu dan aku harus kuat.
"Selamat Bu Lintang! putri anda lahir dengan sehat dan cantik sekali," Dokter Dian yang mengikuti suster yang mengendong putri kecilku, memberikan salam untukku dengan senyumnya yang khas.
"Suster, Biar saya yang membacakan adzan untuknya, saya rasa Bu Lintang lebih baik istirahat." Dokter Dian meraih putri ku, lalu mendekapnya dan membisikkan laflladllz adzan di telinga sebelah kanan putriku.
Rasa syukur dan lega mengitari perasaanku dan pincang oleh keadaan ini, dokter Dian yang selalu ada di saat-saat tertentu dikala aku membutuhkan, pertolongan maupun dorongan semangat selalu ia berikan padaku.
Dua hari pasca persalinan, dokter dan perawat mengizinkan aku pulang, ku berjalan sendiri melalui lorong rumah sakit dengan menggendong putriku, dan satu sisi tangan menenteng tas tempat kebutuhan yang kemaren aku bawa.
"Loh keluarga ibu tidak ada yang menjemput?" Dokter Dian Satyanagara tertera name tag di dadanya, menyapa ku dengan sedikit menyelidik bawaan ku.
"Sini Bu, saya bantu! Ibu masih harus banyak beristirahat, ini terlalu berat untuk ibu!" Dokter muda dan cakep itu meraih tas yang ku bawa dan membawaku duduk di sofa lobby rumah sakit.
"Ibu tidak ada yang menjemput? Dari kemaren saya perhatikan ibu sendirian di rumah sakit bahkan saat ibu melahirkan juga sendiri," lembut suara itu menyapaku, sedikit canggung juga aku menjawab pertanyaannya.
"Suami saya sedang tugas keluar kota dok, dan mungkin ibu mertua saya juga sedang sibuk, tidak apa saya bisa kok!" Jawabku berusaha menyakinkan.
"Kebetulan saya akan pulang Bu, saya bisa memberikan tumpangan pada Bu Lintang, mari saya bantu!" Dokter Dian sepertinya tidak mau aku bantah, sedangkan sejujurnya saja, aku memang membutuhkan bantuan.
"Tapi dok, biar saya memesan taxi saja!" aku berusaha menolak, agar tidak terulang kembali kejadian seperti sebelumnya, mas Iwan yang selalu menaruh kecurigaan terhadap dokter Dian yang pertama menangani kandungan ku yang dari awal bermasalah, dengan kesehatanku.
"saya akan membawa seorang perawat, yang juga kebetulan satu arah dengan saya, untuk membantu Bu Lintang," dokter Dian tetap kukuh mengantarku pulang.
akhirnya seorang perawat menemani ku dengan ijin dokter Dian selaku penanggung jawab padaku.
Traffic light di jalan protokol itu, membuat mataku terbelalak, ketika kulihat mobil tepat di depan mobil yang aku tumpangi adalah mobil mas Iwan, dengan seorang wanita yang bergelayut manja duduk di sampingnya, ku coba tetap kuat menghadapi semua yang aku lihat. Aku tetap berbesar hati, bahwa mungkin itu hanya ketidaksengajaan saja.
Dengan alamat yang ku berikan kepada dokter Dian, mobil yang membawaku pulang ke rumah mertua itu, berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah besar itu.
"Terima kasih Dok, maaf saya tidak bisa mengajak dokter mampir, sekali lagi terima kasih atas bantuannya." Ucapku sambil tersenyum.
Mata Dokter Dian menyorot tajam menatapku, ku tepis jauh-jauh rasa malu dan canggung ku padanya.
Dokter yang selalu memberikan perhatian pada kandungan ku dari awal hingga terjadi perselisihan dengan mas Iwan. kini, seolah-olah sedikit demi sedikit mulai bisa membaca kehidupan ku.
"Tidak perlu berterima kasih, saya akan langsung pulang! Jangan lupa untuk kontrol dan nomor telpon saya ada pada buku kontrol yang sudah di berikan suster tadi, Bu Lintang," Dokter Dian berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri di depan. Senyum yang selalu manis ku lihat pada setiap akhir ucapannya, setidaknya bisa menyakinkan diriku, bahwa masih ada orang yang menghargai diriku.
Baru saja aku menginjakkan kaki ku di lantai depan rumah, sudah ku dengar lagi kata umpatan pedas dari ibu mertua ku, " wah .. baru kempes itu perut, nifas juga baru di mulai udah ganjen saja sama pria lain, kamu itu memang wanita tidak tau malu!"
"Astaghfirullah, Ibu! Beliau dokter Dian yang selama ini menangani kandungan saya, bahkan mas Iwan juga mengenalinya dengan baik, ibu," ku pikir dengan kehadiran putriku, ibu mertua akan berubah, setidaknya mau menerima cucu dari anaknya mas Iwan, walaupun beliau membenciku setengah mati.
"oh... dokter yang sok baik, itu ya! betul kata Iwan kalian punya affair dibalik pernikahan kalian, atau jangan-jangan bayi itu bukan darah daging Iwan,"
"Ibu...! saya tidak sehina itu Bu!" ingin rasanya ku membantah lebih banyak kata lagi, namun apa daya kondisiku tidak mungkin.
"ah.... sudah-sudah, bawa masuk anak haram itu! dan ingat tidur di kamar belakang ya! sebab aku tidak mau bau anyir sama tangis bayi itu menganggu pendengaran ku!" bentakan Yessi tidak kalah menyakitkan di telinga ku.
🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️
Hampir memasuki tahun ketiga pernikahanku benar-benar totally membuahkan kepahitan bagiku, namun aku harus tetap berjuang, itu adalah tekadku demi putriku aku harus kuat.
Untuk menutupi kebutuhanku sendiri aku harus kerja, Shasy terpaksa aku titipkan ke yayasan child day care, karena di rumah dengan mereka itu tidak mungkin.
Aku bekerja di sebuah supermarket untuk menutupi kebutuhanku sendiri dengan putriku, sebab bila aku hanya berdiam diri di rumah hanya mengandalkan uang belanja yang tidak pernah aku dapat dari mas iwan, jelas ini akan menambah ketertindasan diriku didalam rumah tanggaku yang selalu dikendalikan oleh mertuaku.
Cinta mas Iwan yang pernah aku rasakan dari awal bertemu, lalu menikah dan hidup satu atap dengan mertua dan adik ipar, perlahan sirna seiring perkembangan putriku.
Jangankan untuk sekedar bercanda atau bicara serius dengan ku, bahkan untuk menimang putrinya sendiri pun aku bisa menghitung dengan jariku.
Didalam rumah besar ini aku hanya seorang pembantu tanpa gaji dan masih juga terbebani untuk biaya listrik dengan alasan karena aku juga memakai air untuk mandi dan penerangan dimalam hari.
Entah apa yang berada didalam pikiran mereka, sehingga hati ibu mertuaku dan adik ipar ku begitu benci padaku. Apalagi mas Iwan tidak pernah menghiraukan keberadaan diriku didalam rumah itu.
Sering ku dapati bau parfum atau noda lipstik di bajunya, saat aku mencuci bajunya.
"Mas, kenapa di baju mas Iwan ada noda lipstik?" Tanyaku suatu ketika namun yang ku dapat bukannya penjelasan namun cacian yang menyakitkan sebagai seorang istri yang terlalu terabaikan.
"Tidak usah kamu menanyakan tentang itu, Lintang! Kamu di luar sana bertemu dengan laki laki lain pun aku juga tidak mempermasalahkan, kenapa hanya sebuah noda di baju saja kamu sibuk menyatakan? Tugasmu di dalam rumah ini adalah sebagai istri, bila ada yang kotor ya bersihkan!" Ketus dan menyakitkan, Kecurigaan tanpa alasan selalu ia gunakan untuk mencari kesalahan demi kesalahan ku.
"Aku istrimu mas! Aku berhak untuk menanyakan tentang semua ini, mas!"
"Aahh... tau apa kamu tentang semua, aku melihat dirimu lama-lama muak! Sudah sana bereskan semua pekerjaan mu, buang-buang waktuku saja!" Air mataku lolos begitu saja, sakit sangat sakit.
Aku selalu berusaha dan menjadi kuat demi putriku dan masa depannya kelak, tidak pernah terfikir olehku untuk pergi ataupun memberontak tentang keadilan dari mereka atau bahkan berpikir untuk cerai, semua ku tepis jauh-jauh mungkin ini hanya sementara waktu saja dan akan membaik setelah ini.
POV Lintang end.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
ㅤKᵝ⃟ᴸRaisya𝐙⃝🦜
amit amittttttt
2023-09-26
0
𝕸y💞Terlupakan ŔẰ᭄👏
keluarga yang rumit mertua nya lintang
2023-07-05
1
𝕸y💞Terlupakan ŔẰ᭄👏
astaghfirullah itu mulutnya pingin banget tak cubit
2023-07-05
2