Khitbah

Khalifa masih menundukan pandangan, menjaga mata serta kehormatan sebagai wanita beriman.

Ia tak ingin melakukan zina mata dengan melihat calon suaminya. Beberapa menit yang lalu, Umi Kalsum mendepskripsikan ciri fisik Alvin kepadanya. Sontak hal itu membuat Khalifa sedikit tak suka. Sebab, dalam hati terjadi pergejolakan batin. Antara ingin melihat Sang calon suami, tetapi bertentangan dengan akidah, atau justru tetap menundukan pandangan, tetapi merasa penasaran.

Endingnya, Khalifa mengucap istigfar ratusan kali. Memohon pengampunan kepada Allah, karena sejenak mengotori hati dengan membayangkan wajah lelaki.

Kemudian imajinasinya berpusat pada pendidikan yang harus ia tinggalkan. Lalu imajinasi itu beralih pada negara yang dikenal sebagai negerinya Firaun tersebut.

Andaikan ia tak dijodohkan oleh Abahnya, tiga hari lagi Khalifa akan menapakan kaki di sana.

Sayangnya demi bakti, ia pun harus merelekan cita-cita. Kata Abah, Alvin akan membantu mewujudkan impiannya. Mereka akan mengelola pesantren keluarga pria tersebut secara bersama-sama.

"Apa kau tidak penasaran dengan wajah calon suamimu? Angkatlah sejenak kepalamu, pandangi dia." Sekali lagi Umi Kalsum membisik Khalifa.

Akan tetapi, alih-alih tertarik. Khalifa justru semakin tak berminat sama sekali untuk memandangi Alvin.

"Nanti setelah sah saja, Umi," sahut Khalifa cukup pelan serta sopan.

Hati wanita itu masih tertutup, meski setuju untuk menikah. Demi Abah ia rela berkorban. Di sisi lain, Khalifa merasa, bahwa keluarga Alvin sangat baik padanya. Terbukti dari cara bertutur kata, serta berinteraksi bersama Abah dan seluruh keluarganya.

Namun, satu yang ganjal. Mengapa sejak tadi Alvin tak bersuara? Apa lagi menyapanya. Bahkan untuk sekedar menyebut nama, Ilham lah yang memperkenalkan. Sungguh aneh, pikir Khalifa saat itu.

Setelah beberapa jam bersua serta menyusun rencana khitbah, akhirnya keluarga Alvin pamit pulang.

Khalifa menyalami kedua calon mertuanya. Sedangkan bersama Alvin lagi-lagi ia menundukan kepala.

Namun, sebelum beranjak pergi. Umi Huraira membisikan sesuatu kepada Khalifa. Entah apa itu, hanya Tuhan serta keduanya yang tahu.

"Wanita ini telah merebut hati Umi dan Abah. Dia benar-benar cerdik. Kita lihat saja nanti, dia secerdik apa. Pasti tak akan melebihi kecerdikan Rukaya." Alvin membatin, meremehkan intelektual calon istrinya.

Terlalu cepat Alvin menilai, sebelum menjalani, ia pun memutuskan memilih Rukaya sebagai ratu di hatinya.

"Kami pamit, Tua. Assalamualaikum." Dan akhirnya keluarga Alvin benar-benar meninggalkan kediaman Khalifa.

"Sikap macam apa tadi itu, Alvin? Kau nyaris membuat Abah dan Umimu malu. Untung Ibrahim tidak mendengar omong kosong yang kau ucapkan!" Setibanya di rumah, Ilham menghardik Alvin. Mengungkapkan kekecewaan yang sengaja ia pendam ketika masih berada di rumah Khalifa.

"Abah, sudahlah. Biarkan dia istirahat. Kita baru saja sampai. Toh dia sudah setuju untuk menikahi Khalifa." Umi Huraira menenangkan hati Sang suami.

Sehingga Ilham tak mengatakan sepata kata lagi. Pria dengan baju koko putih itu pun meninggalkan Alvin yang tampak murung sejak tadi.

"Sudahlah, jangan dipikirkan perkataan Abah. Sekarang kau istirahat lah. Bukankah nanti malam kau harus mengunjungi pesantren?" Lantas Umi beralih kepadaAlvin.

"Iya, assalamualaikum." Kemudian Alvin masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar itu ia memikirkan Rukaya. Entah apa yang akan dikatakan gadis tersebut bila mengetahui ihwal perjodohannya. Sudah pasti ia akan kecewa terhadap dirinya serta keluarga.

Sialnya, Alvin tak pernah diberitahu, bahwa ia telah dijodohkan sejak kecil bersama Khalifa.

"Maafkan aku, Rukaya. Aku tidak bermaksud mengacaukan rencana kita," lirih Alvin.

***

Dua hari sebelum khitbah, Alvin menemui Rukaya di pesantren tempatnya mengajar. Di sana juga Rukaya menjadi salah satu tenada pendidik.

Rencananya, pesantren tersebut akan mereka kelola bersama pasca resmi menyandang status sebagai suami istri.

Ironisnya, dalam pertemuan tersebut Alvin masih menyembunyikan ihwal khitbah yang akan digelar dua hari lagi.

Bukannya sengaja tanpa alasan, melainkan Alvin masih mencari cara agar pernikahannya bersama Khalifa tak pernah terjadi. Masih tersisa dua hari lagi, sekiranya waktu itu cukup untuk digunakan.

"Mas, kok beberapa hari ini Ade lihat Mas Alvin murung terus. Ada apa? Cerita dong sama Ade. Siapa tahu Ade bisa bantu memecahkan masalah, Mas." Saat ini Alvin dan Rukaya tengah berada di depan mushala. Keduanya baru saja menunaikan ibadah sholat dzuhur.

"Aku baik-baik saja, Dek. Hanya sakit kepala sedikit, bentar lagi juga sembuh." Seperti seorang pengecut, lagi-lagi Alvin masih tak berkata jujur.

"Maafkan aku, Dek. Aku terpaksa berbohong, aku tidak ingin membuatmu sedih dan kecewa padaku. Aku janji, besok aku akan menemukan cara untuk membatalkan pernikahan. Setelah itu aku akan memperkenalkan dirimu pada Umi dan Abah," lirih Alvin di dalam hati.

Sungguh sangat disayangkan, Alvin tak memanfaatkan kesempatan untuk memberitahu Rukaya tentang Khalifa. Mungkin saja mereka bisa mencari solusi secara bersama-sama untuk memecahkan masalah.

"Alhamdulillah. Kalau begitu aku duluan ya, Mas. hari ini Ade masih ada kelas. Sepertinya sampai sore." Rukaya tenang setelah tahu pria yang dicintainya itu baik-baik saja. Setidaknya tak terjadi sesuatu yang serius. Tanpa ia ketahui, bahwa Alvin telah berbohong padanya.

"Iye, Dek. Semangat, ya." Dan Alvin hanya menyemangati Rukaya tanpa mengungkap fakta yang sebenarnya.

Kasihan gadis itu, ia tidak tahu menahu perihal pria yang dicintainya. Sedangkan kedua orang tuanya telah mengetahui hubungan mereka.

Dua minggu lalu, Rukaya memberitahu Abah serta Uminya terkait niat baiknya bersama Alvin.

Ironisnya, kedua orang tua gadis berhijab tersebut menyambut baik hubungan mereka. Bahkan mereka juga berharap agar Alvin segera menggelar khitbah. Sungguh sangat disayangkan.

***

Dua hari telah berlalu, waktu yang ditentukan pun telah tiba. Sedangkan Alvin masih juga belum menemukan cara agar kedua orang tuanya menghentikan perjodohan tersebut. Sepertinya ia benar-benar gagal. Jodohnya adalah Khalifa.

Sedangkan kabar perjodohan tersebut masih belum diketahui oleh siapapun. Termasuk dalam lingkungan pesantren.

"Apa kau sudah siap, Nak?" Umi Huraira menemui Alvin di dalam kamar.

Pria itu sudah rapi dengan kemeja putih, lengkap bersama jas hitamnya.

"Sudah, Umi." Alvin memaksakan senyuman, seolah ia bahagia menjalani semuanya.

"Kalau begitu waktunya berangkat. Sejak tadi Abah menunggumu. Seluruh keluarga juga sudah pada siap," ujar Umi Huraira.

"Iya." Alvin masih menggunakan kata singkat untuk menyahut perkataan Uminya.

Di sisi lain, ia benar-benar tidak siap untuk menikahi Khalifa. Sungguh, bukan ini yang Alvin inginkan.

Sayangnya takdir telah membawa dirinya ke persimpangan jalan. Alvin tak dapat memilih Antara orang tua atau Rukaya. Keduanya sangat berharga dalam hidup pria berhidung mancung tersebut.

"Abah, apakah Abah sudah menggelar khitbah untuk Alvin?" Sebelum berangkat, Algazali menghubungi Ilham lewat panggilan video. Mempertanyakan perjodohan Adiknya itu.

"Ini baru mau jalan, kamu apa kabar, Nak?" sahut Ilham.

"Alhamdulillah baik, Bah. Oh iya, Alvin mana? Aku ingin lihat," kata Algazali.

"Assalamualaikum, Adiku. Gimana? Sehat?" Ilham mengalihkan ponsel miliknya kepada Alvin.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik," jawab Alvin dengan nada ketus.

"Judes amat tuh wajah? Senyum dong. Kok calon manten murung sih? Bentar lagi kan kau akan segera berumah tangga, biasakan menyebar senyuman. Bukankah senyum itu ibadah?" Sengaja Al menggoda adiknya. Sebab, ia tahu, bahwa Alvin juga tidak menginginkan perjodohan tersebut. Ia hanya terpaksa melakukannya tanpa melakukan perlawanan.

Berbeda dengan dirinya yang cukup keras, lumayan susah ditentang.

Mendengar itu, hati Alvin pun kian panas. Andaikan Algazali berada di antara mereka, mungkin saja Alvin akan melayangkan pukulan keras ke wajahnya.

Sebab, perjodohan ini semula ditujukan untuk Sang kakak, bukan untuknya.

"Hehe, puas?!" Alvin menunjukan jejeran giginya yang rapi kepada Al dengan terpaksa.

"Nah, gitu dong. Itu baru Adiknya Abang," ucap Al.

"Sudah-sudah, nanti dilanjutkan lagi percakapannya. Kita harus segera berangkat. Barangkali pihak sana sudah siap." Kemudian Ilham mengambil alih, menyudahi percakapan kedua Putranya itu.

"Baiklah, jangan lupa kirim gambar calon Adik iparku, ya." Lagi-lagi Al menggoda Alvin. Tak pelak hati Alvin pun kian memanas. Namun, apa lah daya. Ia tak cukup kuasa menolak kehendak kedua orang tuanya.

Terpopuler

Comments

Paulina Nurhadiati

Paulina Nurhadiati

dasar Alvin bibir aja berucap ya menerima tapi hati big no ada tertanam nama rukaya ini

2023-06-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!