Part 2

Sekujur tubuh Khalifa bergetar, hatinya seperti tercubit sembilu. Sedangkan jantung wanita itu ibarat tertusuk belati nan tajam.

Namun, ia masih berusaha menenangkan diri. Sebab, yang baru saja terlontar dari bibir Abahnya hanyalah sebuah guyonan belaka. Dia tak mungkin akan menikah secepat itu. Pikirnya.

Akan tetapi, Khalifa melihat raut wajah Abahnya sungguh menyiratkan keseriusan yang mendalam. Apakah ia benar-benar akan dinikahkan? Tapi sama siapa? Kapan? Dan dimana?

Begitu banyak pertanyaan bermain dalam pikiran Khalifa. Perkataan Abah sungguh membuatnya terganggu. Lantas bagaimana dengan rencana melanjutkan pendidikan ke Mesir? Akankah pupus sebelum dimulai?

Tapi bukankah Abahnya telah menandatangani surat izin itu beberapa saat lalu? Lantas mengapa terjadi perubahan? Ataukah ini hanya mimpi belaka?

Lalu Khalifa mencoba untuk mencubit kulitnya. Ternyata terasa sakit, artinya ia tidak sedang berada dalam dunia mimpi. Ini benar-benar nyata.

"Iya, Nak. Kau akan segera menikah." Suara Ibrahim terdengar lemas. Tak kuasa menahan sesuatu yang bergejolak di dalam sana.

Sungguh, ia tak tega melukai perasaan Putrinya. Apa lagi menghalangi impiannya dengan mengatasnamakan pernikahan. Namun, sekali lagi ia tak berdaya.

Dua puluh dua tahun lalu ia telah  berjanji kepada sahabatnya untuk menikahkan Khalifa bersama Putranya. Dan sekarang masanya telah tiba. Ia harus segera menuntaskan janji itu, agar jiwanya tenang sebelum benar-benar meninggalkan dunia ini.

"Gak lucu ah. Abah jangan bergurau deh." Meski percaya Abahnya tak sedang bercanda, tetapi Khalifa masih berupaya untuk meyakinkan diri, bahwa perkataan Ibrahim hanyalah isapan jempol belaka.

"Bukan saatnya lagi Abah bercanda, Nak. Waktu Abah tidak banyak." Kali ini hati Khalifa benar-benar takut. Perkataan Ibrahim seperti menyiratkan seseorang yang akan segera meninggal dunia.

"Apa yang Abah katakan? Memangnya Abah mau pergi kemana?" Khalifa berlagak seperti Anak kecil yang tak mudah mengartikan perkataan. Sedangkan dalam hatinya semakin ketakutan.

Cara ini Khalifa tempuh agar ia tak menangis ketakutan di depan Ibrahim. Mereka hanya tinggal berdua. Sedangkan Asisten rumah tangganya tidak tinggal bersama mereka.

"Khalifa, apakah kau setuju dengan perjodohan yang baru saja Abah sampaikan?" tanya Ibrahim akhirnya setelah beberapa waktu lalu menyampaikan ihwal perjodohannya.

"Apakah tidak bisa ditunda? Maksud Khalifa, tidak bisakah sepulang dari Mesir pernikahan itu dilaksanakan? Aku janji akan menikahi pemuda itu, Bah," pinta Khalifa, bersimpuh di kaki Abahnya.

"KIta tidak bisa mencegah ajal, Nak. Sedangkan waktu Abah tak banyak. Abah ingin, sebelum meninggalkan dunia ini, Abah melihatmu menikah. Dengan begitu Abah baru akan tenang. Setidaknya ada yang menggantikan Abah untuk menjagamu."

Luruh sudah hati Khalifa tat kala Abahnya berujar mengenai ajal.

"Abah cakap apaan sih? Abah tidak akan pergi secepat itu. Abah akan melihatku menikah." Meski ketakutan, tetapi Khalifa tetap meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja.

"Tapi setelah pendidikanku selesai," imbuhnya.

Khalifa tidak mempersoalkan perjodohannya bersama Alvin Ilham. Jika pria itu merupakan pilihan Abahnya, maka bisa dipastikan, bahwa ia adalah Imam yang tepat untuknya.

Ibrahim tidak mungkin menjodohkan Putrinya dengan pemuda yang salah. Namun, bukan berarti pernikahan itu harus segera terlaksana. Masih banyak cita-cita Khalifa yang belum tercapai. Salah satunya membangun pesatren.

Tak lama Ibrahim terbatuk-batuk. Seraya memegang dadanya, ia pun berkata, "Namanya Alvin Ilham. Besok pagi mereka akan berkunjung ke rumah ini. Kau persiapkanlah dirimu."

Seolah mengabaikan impian Khalifa, Ibrahim beranjak pergi setelah membuat keputusan itu.

Hasilnya, Khalifa harus menelan pil kekecewaan. Ia pun menangis dalam diam.

Bukannya hendak menolak takdir, atau mendurhakai Abahnya. Ia hanya ingin melanjutkan pendidikan. Apakah permintaan sekecil itu tak bisa dikabulkan? Sekejam itukah takdir dari Tuhan?

Ibrahim berdiri di balik pintu sembari menangis sesegukan. Mulutnya ditutup telapak tangan agar tak terdengar oleh Sang Putri.

Sedangkan isakan Khalifa sangat kentara di indera pendengarannya. Tak ayal hati pria berusia empat puluh lima tahun itu semakin terluka.

Walau bagaimanapun juga ia adalah seorang Ayah yang mencintai Putrinya tanpa syarat. Keadaan lah yang membuatnya tampak jahat.

Penyakit yang Ibrahim idap telah menggerogoti sebagian tubuhnya. Sehingga untuk bercakap pun harus terbata-bata. Ia kerap menahan sakit yang luar biasa di dalam dada bila penyakit itu mulai datang menyapa.

Di usianya yang masih tergolong muda, Ibrahim harus menerima kenyataan, bahwa ia mengidap penyakit kangker stadium empat.

Ibrahim hendak berobat, tetapi ia tak cukup biaya. Penyakit itu telah lama ia derita tanpa sepengetahuan Khalifa.

Gadis malang itu hanya tahu, bahwa Abahnya sering sakit kepala biasa. Itulah sebabnya ia bertekad untuk meninggalkan tanah air ke Mesir demi menimba ilmu di sana tanpa merasa ragu.

Sementara itu, di rumah Alvin. Pria itu masih bertengkar dengan perasaannya yang tak kuasa menolak kehendak kedua orang tua.

Perjodohan itu tetap terlaksana, meski ia telah menolak. Besok pagi adalah waktu yang dipilih Ilham untuk menemui keluarga mempelai wanita.

Tak lama wajah Rukaya mendadak muncul di pelupuk mata, hingga Alvin menyungging senyuman getir.

Hatinya telah dipatahkan oleh kedua orang tuanya sendiri. Andaikan pria itu sedikit lebih cepat mengutarakan keinginannya untuk menikahi Rukaya, mungkin perjodohan itu tak akan pernah terjadi.

"Tidak ada orang tua yang  berusaha untuk mencelakai Putranya, Nak. Yang kami lakukan ini adalah untuk masa depanmu. Percayalah pada Umi." Sejak tadi Umi Huraira meyakinkan Alvin, bahwa pilihan mereka tak salah.

Hanya karena belum pernah berkenalan, lantas membuat Alvin menuding wanita yang hendak ia nikahi adalah tak baik ahlaknya. Tanpa Alvin ketahui, bahwa Khalifa juga sedang berperang melawan hatinya.

"Tapi Umi, aku tidak mengenal wanita itu. Terlebih lagi aku tidak mencintainya. Apakah kami sanggup menjalani pernikahan ini? Jika tidak, bukankah aku akan berdosa karena telah menyia-nyiakan seorang wanita? Aku tidak akan bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang suami, Umi," ungkap Alvin dengan wajah memelas.

"Bukankah nanti kalian akan mengenal satu sama lain? Dan berbicara mengenai cinta, bukankah akan tumbuh seiring berjalannya waktu? Kau pasti bisa menunaikan kewajibanmu sebagai seorang suami sekaligus imam baginya. Jadilah pria sejati, Nak. Mungkin saat ini kau menganggap perjodohan itu adalah sebuah kutukan. Namun, jika kau mengenalnya lebih jauh, kelak kau akan menyebutnya sebagai anugerah."

Bujukan Umi Huraira dianggapnya sebagai angin lalu. Alvin tetap tak setuju untuk menikahi Khalifa.

Sialnya, ia tak berani mengutarakan isi hati ihwal rencananya bersama Rukaya. Sebab, Alvin takut mengecewakan dua orang kesayangannya itu.

Alvin memang tak terima dijodohkan, tetapi ia tak tega menyakiti hati orang tuanya.

"Persiapkan dirimu, besok pagi kita akan menemui orang tua wanita itu." Ilham telah membuat keputusan mutlak tanpa menunggu jawaban Putranya.

Sedangkan Alvin sendiri hanya bisa pasrah menerima keadaan. Tentu ia percaya, bahwa kedua orang tuanya tak akan mungkin menjerumuskan dirinya bersama wanita tak baik. Namun, Alvin juga tak bisa mengelak hati nuraninya, bahwa ia hanya menginginkan Rukaya yang menjadi istrinya.

Wanita itu adalah cinta pertama sekaligus terakhir setelah mereka bertemu di pesantren tiga tahun lalu.

Terpopuler

Comments

Paulina Nurhadiati

Paulina Nurhadiati

tuh kan Alvin juga merasa gak enak mau gak mau terima juga ini wah jadi makin penasaran sama kisah lanjutannya

2023-06-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!