Suara bedug subuh nyaring terdengar, serta dilanjutkan dengan suara adzan berkumandang.
Setengah jam kemudian langit pun berganti warna, dari yang gelap gulita perlahan bercahaya.
Embun pagi mulai menyapa rerumputan depan rumah. Sedangkan angin bertiup cukup kencang.
Terdengar suara siulan burung di atas pohon, seolah menari girang kala menyaksikan calon pengantin pria memasuki area pekarangan rumah. Dia baru saja kembali dari surau untuk menunaikan ibadah.
Alvin Ilham, pemuda tinggi nan gagah perkasa. Perawakannya yang sederhana, meski berasal dari keluarga berada, tak membuatnya besar kepala. Itulah sebabnya banyak satri yang tergila-gila padanya.
Namun, cinta pria berusia dua puluh enam tahun tersebut hanya untuk Rukaya. Gadis berhijab yang selama tiga tahun terakhir menghiasi hari-harinya.
Di dapur, terdengar suara air mengalir dari keran wastafel. Umi Huraira baru saja membersihkan piring kotor.
Hari ini dia yang bertugas menunaikan kewajiban di dalam rumah setelah asisten rumah tangganya pulang kampung karena adiknya mendadak masuk rumah sakit.
"Assalamualaikum," ucap Alvin, berdiri di belakang pundak Umi.
"Waalaikumussalam. Kamu sudah kembali dari masjid? Abah, mana?" sahut Umi Huraira.
"Ada di luar, mungkin lagi ngasih makan burung," jawab Alvin sedikit bermalas-malasan.
Hari ini adalah waktu yang ditentukan Ilham untuk berkunjung ke rumah Ibrahim, sahabat lamanya.
Rencananya mereka hendak memperkenalkan Alvin dan Khalifa sebelum menggelar khitbah atau peminangan. Dengan kata lain, Alvin dan Khalifa tengah menjalani proses ta'aruf.
Sebagai insan yang paham tentang agama, Ilham dan Ibrahim tidak menginginkan Putra-Putri mereka berpacaran. Sebab, islam tidak mengenal demikian.
"Kok cemberut sih calon manten?" goda Umi Huraira.
Umi paham betul perangai Putra bungsunya itu. Meski tak setuju, ia tetap akan menunaikan perkataan kedua orang tuanya. Tentu saja karena bakti yang dijunjung tinggi.
Bagi Alvin, surga terletak pada kedua orang tua. Maka tak ayal ia menuruti semua perkataan mereka, meski dalam hati terluka.
"Cepetan mandi sana, bentar lagi Abah selesai," imbuh wanita berusia empat puluh satu tahun tersebut.
"Umi, apakah proses ta'aruf ini tidak bisa ditunda dulu sampai bulan depan? Entah apa yang ada dalam pikiran Alvin, hingga ia hendak menunda proses ta'aruf tersebut. Sedangkan Ilham telah memutuskan segalanya semalam.
Tampaknya Alvin hendak mempersiapkan diri untuk memperkenalkan Rukaya kepada kedua orang tuanya.
"Kata Rosulullah, perempuan yang terbaik adalah bila engkau melihatnya menyenangkanmu, bila engkau perintah mematuhimu, bila engkau beri janji mengiyakanmu, bila engkau pergi ia menjaga dirinya dan hartamu dengan baik. Maka jangan sia-siakan wanita seperti itu, Nak," papar Umi penuh maksud.
"Apakah menurut Umi, gadis yang akan menjadi calon istriku persis seperti yang dikatakan Rosulullah? Hatiku akan senang bila melihatnya, serta menepati janji, dan menjaga diri serta hartaku bila kelak aku pergi ke suatu tempat untuk berdakwah? Tidakah Umi terlalu percaya diri untuk hal ini?" Tampaknya Alvin meragukan kepribadian Khalifa.
Memang wajar, karena insan itu tinggal berjauhan, meski pernah satu pesantren. Namun, baik Alvin maupun Khalifa, keduanya sama-sama tak saling mengenal.
"Percaya deh sama Umi, kau tidak akan menyesal ta'aruf dengannya."
"Seminggu lagi kita akan melakukan khitbah." Ilham datang dengan sejadah di pundak kanan. Baru saja ia memberi makan burung peliharaannya pasca kembali dari surau untuk menunaikan sholat subuh.
"Mengapa tidak sekalian langsung duduk ke pelaminan saja? Bahkan kami belum bertemu. Kok Abah sudah memutuskan untuk khitbah?" protes Alvin.
"Oh, jadi kamu mau langsung menikah? Boleh, Abah justru lebih setuju bila kita langsung khitbah dan menikah. Dengan begitu dia akan menjadi menantu Umi dan Abah secepatnya," kata Kiayai kondang tersebut.
"Abah." Alvin pun mulai merengek manja selayaknya anak kecil yang meminta permen kepada orang tuanya.
"Ketahuilah, Nak. Apapun yang dilakukan Abah dan Umi adalah untuk kebaikanmu. Tak ada orang tua yang berniat menghancurkan masa depan anak-anaknya." Ilham memegang pundak Alvin seraya menatap penuh kasih.
"Bukannya untuk kebaikan Umi dan Abah?"
"Alvin!" Kali ini Ilham meninggikan suara, membentak Sang Putra yang terkesan membangkang padanya.
Ini adalah kali pertama Alvin bersikap tak wajar terhadap Abah dan Uminya.
"Bukankah semalam kita sudah sepakat, bahwa hari ini kita akan berkunjung ke rumah calon mempelai wanita? Lalu mengapa sekarang kau masih memprotes keputusan Abah?" Detik-detik menjelang kepergian mereka, Ilham dan alvin berselisih paham.
Alvin yang ternyata berubah pikiran, sedangkan Ilham tetap kekeh pada keputusannya.
"Pokoknya Abah tidak mau mendengar alasan apapun lagi darimu. Sekarang persiapkan diri, kita akan berangkat sekarang juga!" Lemas sudah lutut Alvin tatkala Ilham mengultimatum dirinya.
Keputusan pria empat puluh tujuh tahun tersebut sudah bulat. Tekadnya begitu kuat, meski Alvin bersujud memohon padanya.
Kemudian Ilham masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. "Apa Umi bilang, jangan membantah keputusan Abah. Lihat hasilnya, kau jadi sakit hati, kan?" Umi menghampiri Putra bungsunya itu. Dengan suara lemah lembut, ia menasehati Alvin yang hendak meneteskan air mata.
Kini ia tak berdaya, Abah telah memutuskan masa depannya bersama gadis yang belum pernah ia kenal.
Sementara itu, di rumah Khalifa. Tampak Ibrahim dan Bi Atun beserta beberapa kerabat mereka sibuk mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk menyambut kedatangan keluarga calon mempelai pria.
Ada yang menyiapkan cemilan, minuman, serta merapikan ruang tengah yang nantinya akan dijadikan tempat pertemuan Khalifa dan Alvin.
Sedangkan Khalifa sendiri tengah meratapi nasib di dalam kamar. Di sana ia menangis tersedu-sedu.
Bukan karena tak ingin dijodohkan, melainkan karena impian yang terpaksa harus pupus.
Dia adalah Anak yang berbakti. Tidak masalah bila Abah menjodohkan dirinya dengan pria asing. Sebab, pilihan Abah adalah sudah tentu yang terbaik. Namun, pendidikan tetap diutamakan.
Akan tetapi, sayangnya impian untuk menimba ilmu di negara Mesir harus terkubur dalam-dalam bersama hadirnya Alvin dalam hidup wanita cantik tersebut.
"Umi." Dan Khalifa hanya bisa pasrah sembari menyebut nama mendiang Uminya.
Satu jam kemudian, Keluarga Alvin pun tiba di rumah Khalifa. "Assalamualaikum," ucap Ilham begitu berdiri di depan pintu kayu rumah Ibrahim.
"Waalaikumussalam warohmatullahi wabatokatu," sahut Ibrahim, menyambut kehadiran sahabat lamanya itu.
Keduanya pun berjabat tangan sebelum akhirnya salingberpelukan, seolah hendak melepas rindu.
Sedangkan bersama Umi Huraira, Ibrahim mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Sementara dengan Alvin ia melempar senyuman sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk berjabatan.
Sebagai insan yang taat dan paham agama, Alvin pun mengalami calon mertuanya itu dengan penuh kesopanan.
"Apa kabarmu, Tua?" tanya Ilham, menyebut nama panggilan kesayanganya kepada Ibrahim.
"Alhamdulillah aku baik, Tik," sahut Ibrahim, membalas menyebut nama panggilan Sang sahabat lama.
"Ayo masuk, jangan hanya berdiri saja di depan pintu." Setelah itu Ibrahim mempersilahkan Ilham beserta keluarganya untuk masuk ke dalam rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Paulina Nurhadiati
akhirnya pertemuan dia keluarga terjadi, memang sih yg namanya orang tua ingin yg terbaik buat anaknya. tapi apa keputusan ini sudah baik buat Khalifah dan Alvin ya duh semoga deh
2023-06-04
1