Sebulan setelah pernikahan , kami menempati rumah kami yang masih sederhana, berpagar bambu, dan belakang rumah juga belum dibangun. Kami tidur di lantai beralasan kasur. Untuk ruang tamu kami masih menggunakan karpet, belum memiliki sofa.
Di rumah sederhana ini kami merasa bahagia saja, tempat untuk memasak saja suamiku membuat meja sederhana dari sisa potongan kayu. Jauh jarak rumah kami dari keluarga besar, kami tinggal di luar Jakarta yaitu di Citayam.
Siang itu terasa terik sekali matahari, hawa terasa panas. Aku pulang pkl. 13.00 dari tempatku mengajar, aku turun di depan kecamatan dan menunggu angkot datang menuju arah rumahku.
Sambil melamun aku merasa beratnya kehidupan ini, jauh dari orang tua, dibiasakan dimanjakan, tidak mempunyai pembantu, semua harus mandiri.
Disaat asyik melamun, angkot sudah ada di depanku, segera aku naik. Jalanan yang berkelok-kelok, karena perutku kosong membuat rasa mual dan sedikit pusing. Turun dari angkot, aku berjalan lagi agak jauh ke rumah melewati kampung sebelum sampai ke perumahanku.
Aku berjalan kaki dan tidak naik ojek, dalam pikiran aku untuk menghemat dengan gaji kami yang masih kecil, dan untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Kami tidak pernah mengeluh dan meminta bantuan baik ke orang tua ataupun kakak - kakak kami.
Sore itu mbak Atiek datang ke rumah, sepulang kerja langsung jalan ke Citayam. Mbakku merasa kakak tertua bertanggung jawab terhadap adiknya, apalagi di perantauan.
Mbak Atik,
" Wulan, kamu kalau mencuci baju di kamar mandi, airnya jangan di buang di lubang kloset, nanti wc bau"
Wulan : " ya mbak, cuci bajunya diluar di tempat cuci baju yang ada krannya" , sambil menunjuk tempatnya yg dekat karena rumahnya hanya seluas 72 meter persegi.
Mbak Atiek :
" Jangan terlalu capek, kalau capek ya istirahat saja "
Begitulah bentuk perhatian kakakku, karena saat muda aku tidak banyak belajar rumah tangga. Aku kakak bungsu, yang lebih dimanjakan dibandingkan yang bungsu.
Sebelum menikah, di saat masih sekolah ikut orang tua, ibuku selalu menasehati. Ibu:
" Sukma, kamu sebagai wanita harus bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah, saat menikah jangan mempermalukan ibumu".
Sukma:
" Ibu, nanti saat menikah pasti bisa bu, kalau masak seperti praktikum khan bu, yang penting tahu bumbu- bumbunya".
Suatu saat ibu mengetes aku untuk memasak kacang panjang dan tahu putih di beri santan. Dalam pikiran aku sangat gampang masaknya, sering lihat kakakku masak. Bumbu sudah kusiapkan yaitu bawang merah, bawang putih cabe dan daun salam lengkuas. Semua bumbu ku iris dan ditumis, selanjutnya santan di tuangkan panci, lalu di tambahkan sayurannya. Setelah diberi gula, garam dan sedikit micin, mendidih, dan dicicipi rasanya enak atau tidak, barulah dimatikan. Ibu pulang dari pasar melihat sayuranku lalu berkomentar,
" Sukma, masak itu yang menarik, bumbu di uleg dengan cabe merah dan tomat sehingga santan terlihat merah kuahnya dan menarik".
Aku mendengarkan dengan seksama, ternyata orang tua itu benar nasehatnya. Suatu saat lagi, aku disuruh ibu mengulek bumbu, tanganku terasa kaku tidak luwes, sambil mengatakan,
" Sukma kalau mengulek tangannya yang luwes, telunjuk di tekuk jangan lurus, gak luwes".
Aku menjawab, " Inggih bu".Aku dilahirkan dalam keluarga Jawa yang masih mengagungkan tata krama. Saat itu kakak-kakakku kuliah di luar kota, yaitu di Jogja. Terpaksa aku dan adikku harus bisa menyelesaikan pekerjaan rumah. Semua nasehat ibuku baru terasa pentingnya saat aku menikah.
Setelah menikah satu bulan aku tidak mengalami menstruasi, aku begitu penasaran dan pergi ke dokter untuk periksa. Dokter memeriksa dan bertanya,
" Kapan aku mens terakhir".
Aku mengatakan sebelum menikah aku baru selesai menstruasi. Setelah dokter memeriksa, ternyata aku dinyatakan hamil. , aku merasa bahagia mendengar kata- kata dokter. Suamiku kulihat tersenyum senang sambil memegang tanganku.
Aku tidak menyangka langsung hamil dan hanya dalam jarak 10 hari setelah pernikahan.Aku mengucapkan syukur kepada Tuhan atas anugerahNya. Aku ingat pesan mbak Atiek,
" Sukma saat kamu sudah menikah jangan sekali - kali mengatakan gak mau punya anak kalau belum punya motor, tv misalnya, kalau sudah menikah ya harus siap punya anak".
Terngiang sudah kata- kata mbak Atiek, terasa terdengar sayup di telingaku.
Hari - hari menjalani kehamilanku, kadang merasa pusing jika bertemu dengan banyak orang di gereja bahkan saat melihat murid sekelas yang jumlahnya 30 lebih aku pun rasa pusing dan mual. Saat aku kontrol ke dokter diberi nasehat,
" Bu Sukma supaya gak mual perut jangan sampai kosong, kurangi jalan - jalan yang banyak kerumunan orang seperti di mall kalau ke gereja dan kelas memang kewajiban".
Saat aku pulang ke rumah selesai mengajar ada yang terasa tidak enak, tapi tidak tahu apa itu, saat bau minyak tanah dari kompor yang dimatikan terasa mual. Pernah aku ngidam makan nasi goreng di kasih mentimun. Malam itu suamiku berjalan kaki mencari nasi goreng karena kami belum mempunyai motor. Saat pulang membawa nasi goreng, ternyata di makan hanya sedikit saja dan tidak sesuai dengan capek mencarinya.
Tiga bulan berumah tangga kami akhirnya mempunyai pembantu, namanya "Wak Pinal". Wak Pinal mengurus semua pekerjaan rumah, beruntungnya aku ada mama mertua tinggal bersama kami bisa mengawasi rumah saat kami bekerja.cHari - hari berjalan lancar saja rumah tangga kami tanpa ada kerikil - kerikil rumah tangga.
Sore itu aku belanja di warung, tukang sayur mengatakan,
" Bu guru, mertuanya tadi kesini mengatakan mau beli cobek mau memasak yang enak untuk menantunya ".
Mertuaku sungguh baik saat tinggal bersamaku, beliau tinggal mengawasi rumah karena sudah ada pembantu.
Kebaikannya itu semoga tidak luntur mendapat polusi dari saudara - saudaranya dan anak- anaknya. Beliau orangnya lembut, dan pendoa.
Saat usia kandungan memasuki 8 bulan, terasa serba susah, tidur terlentang aku gak bisa terasa sesak napas. Tidur selalu miring ke kiri atau ke kanan. Sudah sering pipis karena kandungan sudah menekan kantong kemih, sering sesak napas karena kandungan menekan paru- paru. Perutku terasa ada tendangan anakku kelihatan menonjol , nanti kalau diusap tonjolan itu pindah. Saat aku berangkat mengajar orang di jalan mengomentari,
" Bu, sudah ambil cuti, perutnya sudah turun".
Aku menjawab tersenyum saja karena aku memang tidak kenal mereka.
Saat usia kandunganku mendekati kelahiran, aku tinggal di rumah mbak Atiek. Takut Saat merasa melahirkan tempat tinggal ku jauh dari rumah, suamiku lagi kerja. Kalau aku tinggal di rumah mbak Atiek, dekat rumah sakit.
Malam itu aku merasa mules perutku karena siangnya anak mbak Atik yang masih balita minta gendong. Aku diantar ke rumah sakit dengan jalan kaki karena memang dekat rumah.
Malam itu pukul 22.00 aku diinduksi , karena dari pkl. 19.00 pembukaannya tidak maju maju. Aku teriak teriak sepanjang malam, aku memang tidak tahan dengan sakitnya. Mbak atiek mengatakan,
" Sukma, kamu gigit sapu tangan, berdoa supaya jangan teriak dan kesakitan ". Aku mengatakan, " Sudah berdoa tetap sakit, kalau pegangan besi ranjang dan teriak sakitnya seperti berpindah ke ranjang".
Pagi itu aku di dorong ke meja operasi, padahal pembukaan sudah sepuluh, tapi saat disuruh ngeden tidak terdorong keluar bayinya, tiga kali aku ngeden dan tidak ada tanda - tanda bayi mau keluar, maka kata dokternya,
" Bayinya kepalanya miring, sehingga susah keluar"
Aku saat itu dibius total bukan lokal karena aku sudah kehilangan tenaga, teriak - teriak sepanjang malam , dan saat pagi pun belum diberikan makanan, mau minum teh saja susah karena di rumah sakit itu tidak ada sedotan yang bisa di bengkokkan, sementara aku pun bangun sudah lemes.
Aku sadar tapi masih merasa melayang jam 10.00, di ruang isolasi setelah menjalani operasi Anakku berjenis kelamin laki-laki dengan berat 3,1 gram, dan panjang 52 cm. Anakku sungguh mirip suamiku.
Tiga hari aku masih dirawat di rumah sakit, kepalaku masih sering pusing. Bahkan saat aku duduk saja, terasa pusing gak kuat. Dokter jaga mendatangiku dan berkata,
" Biasanya pasien hari ketiga itu sudah pulang bu, semangat bu , coba belajar duduk rasa sakit di lawan".
Memang aku merasa sakit dan perih sekali bekas operasi saat duduk dan kepala terasa pusing. Padahal aku sudah diberikan obat pusing, tapi setiap kali duduk, bahkan mau menyusui anakku aku gak kuat pusing sekali.
Hari ke empat aku pulang ke rumah mbak Atiek, di rumah pun aku masih terasa pusing. Saat teman- teman membesuk, menemani mereka duduk aku pun merasa pusing dan aku lawan sampai terasa keringat dingin.
Satu minggu di rumah mbak Atiek, ibu datang dari kampung. Beliau mengajariku mandi dan di siram kepalaku dengan air segar, setelah itu di ajari pakai gurita sebelumnya diolesi jeruk nipis dan sirih supaya perut tidak besar. Dahi di pilis dengan parem juga. Setelah di lakukan ritual itu, aku terasa enteng tidak pusing lagi, kata orang darah putih naik ke kepala. Itu sangat bahaya kalau tidak diberi pilis mata bisa buta.
Mbak Atiek mengajariku memandikan bayi, dan menyiapkan popok dan bajunya yang sudah diatur rapi di tempat tidur.
"Sukma lihat cara memegang bayinya supaya tidak jatuh karena licin",
Itu kata- kata mbak Atiek.
Sebulan setelah di rumah mbak Atik, aku pun merasa sudah pintar mengurus bayiku, kapan di ganti popok, setiap 2 jam wajib diberi susu, walaupun posisinya tidur harus disusui, jangan dibiarkan semalaman tidak minum.
Kalau orang lain, memandikan bayi memanggil dukun bayi, aku sudah pintar memandikan sendiri. Begitu aku nikmati peranku sebagai seorang ibu muda, yang mau belajar banyak mengurus bayi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
YouTube: hofi_03
cie pengantin baru 🤭
2023-10-22
0