Pilihan Yang Sulit

Pilihan Yang Sulit

Pertama bertemu

Di jalan yang dipenuhi banyaknya kendaraan yang lalu lalang dari arah yang saling berlawanan, tiba-tiba Vania mendapat kesialan dalam perjalanannya menuju kampus.

"Aih! sial, kenapa juga harus apes kek gini coba. Mana mobilnya mogok, lagi. Aih! bisa-bisa aku telat nanti ke kampusnya, benar-benar sialan. Papa sih, punya mobil aja udah kek gak pernah di cek, gini kan jadinya, bikin sial jadinya." Gerutu Vania dengan kesal saat dirinya tengah mendapati mobilnya yang mogok secara tiba-tiba.

Vania yang sudah tidak sabar, ia pun langsung turun dari mobilnya dan mengeceknya.

"Apa! bocor juga? aih!"

Saat itu juga, Vania langsung menendang ban mobilnya penuh kesal, juga dengan tenaganya yang super.

"Aw! sakit, tau. Eh kamu orang, kalau jalan tuh lihat-lihat. Jalan aja main tabrak, jatuh kan, akunya. Buruan bantuin." Pekik Vania sambil mengomel saat dirinya terjatuh ketika dirinya yang baru saja menendang ban mobilnya.

Sedangkan lelaki yang baru saja menabrak dirinya justru hanya melihat Vania yang sudah terjatuh.

"Eh! kamu bisa dengar gak sih, bantuin dong."

"Enak saja kalau ngomong, kamu itu kalau mau marah tuh lihat kondisi. Noh ditengah taman kalau mau ngedumel, jangan dipinggiran jalan kek gini, ngerti." Jawabnya dengan enteng.

Vania yang bertambah kesal karena harus sial yang kedua kalinya, pun langsung bangkit dari posisinya yang terjatuh.

"Dih! sadis banget sih kamu itu. Yang salah ya kamu, bukan aku. Kan, kamu yang jalan, ya kamu dong yang seharusnya lihatin jalan, bukan aku." Ucapnya yang tidak mau disalahkan.

"Terus, maunya kamu apa? udah bisa berdiri, 'kan? gitu aja marah-marah."

"Kamu!"

"Apa? gak ada yang lecet, 'kan? ya udah diam. Minggir, aku mau lewat."

Saat itu juga, Vania langsung merentangkan kedua tangannya dengan sengaja menghadang lelaki yang baru saja menabraknya.

"Ganti rugi dulu pokonya, karena kamu sudah membuatku lecet, nih lihat." Ucap Vania sambil menatapnya kesal, juga menunjukkan sikunya yang lecet karena mengenai trotoar.

"Jatuh jatuh sendiri, minta ganti rugi, apa gak salah?"

"Eh! jelas jelas ini semua ulahmu, masih saja gak mau ngaku. Awas saja kamu."

"Aku gak takut, minggir." Ucapnya dan langsung pergi begitu saja dari hadapan Vania.

Sedangkan Vania sendiri hanya bisa mengepal kuat pada kedua tangannya yang ingin rasanya melayangkan sebuah tinjuan kepada lelaki yang baru saja menabrak dirinya.

"Ih! itu orang, awas saja kalau bertemu lagi, bakal aku kerjain pokoknya. Enak saja nyalahin aku, jelas-jelas dia yang salah, masih saja gak mau ngaku." Ucap Vania penuh dengan kekesalannya.

Karena tidak ingin kuliahnya terlambat, Vania harus menelpon taksi agar segera sampai di kampusnya.

Sampainya di depan kampus, Vania cepat-cepat masuk kedalam area kampusnya. Dengan larinya yang terengah-engah, Vania terus berlari agar tidak terlambat.

Saat sudah di depan pintu, Vania mengatur napasnya.

"Kamu kenapa, Van? udah kek dikejar hantu saja kamu ini. Eh, itu tangan kamu kenapa, Van?"

"Ini gara-gara bertemu dengan cowok sialan itu, aku jatuh dan mengenai trotoar. Mana gak mau tanggung jawab, lagi, sial banget kan akunya." Jawab Vania yang sulit mengatur napasnya.

"Nih minum dulu. Santai aja, kamu gak usah panik gitu, lagi pula pak dosen belum juga datang. Setelah ini aku temani kamu buat ngobatin lukamu itu." Ucapnya sambil menyodorkan botol minumannya, lantaran melihat Vania yang terengah-engah.

"Gak usah lah, Hen, jugaan cuma lecet dikit doang kok." Jawab Vania sambil mengambil tisu didalam tasnya, kemudian mengelap luka yang sedikit lecet.

Kemudian, Vania menerimanya dan langsung menenggak air minum dalam botol tersebut yang ada ditangannya. Setelah itu, Vania membuang napasnya dengan kasar.

Vania yang napasnya masih belum beraturan, lantaran dirinya harus berlari sepanjang dari pintu gerbang utama hingga sampai di dalam ruangan belajar, pun mencoba untuk tenang.

Sambil mengatur napasnya, Vania berjalan masuk kedalam ruangan setelah minum. Kemudian, ia duduk bersama Henifa, teman akrabnya.

"Van, apa gak sebaiknya diobati dulu tuh lukanya? takutnya tambah sakit loh."

"Gak usah lah, Hen. Jugaan cuma lecet doang kok. Nanti biar aku obatin saja di rumah, di lap dengan tisu aja juga udah cukup kok." Jawab Vania yang tidak ingin menjadi heboh ketika dirinya terluka.

"Ya ih, kejam banget sih itu orang. Sampai-sampai gak mau ngobatin kamu. Kalau aku jadi kamu tuh ya, aku laporin ke polisi, biar kapok itu orang. Habisnya menyebalkan dan gak mau bertanggung jawab." Ucap Henifa yang ikutan emosi.

"Hem. Gak gitu juga kali, yang ada kita kek kurang kerjaan. Nanti yang ada ya tetap aja akunya yang salah, kena denda mah ya. Ah sudahlah, kamu gak perlu kesal gitu. Lagi pula lukanya gak serius, dah santai aja." Jawab Vania sambil membersihkan lukanya dengan tisu.

"Habisnya kesal akunya dengar ceritamu tadi, bikin naik darah aja tau gak sih. Mana gak mau tanggung jawab, kan bikin jengkel namanya."

"Hem. Dahlah, santai aja. Oh ya, Noni gak berangkat kah? jam segini kok belum kelihatan tuh anak."

"Katanya sih ada acara di keluarganya. Tapi, gak tahu juga sih. Ah biarin aja lah, gak penting juga. Oh ya, aku dengar nanti siang akan ada acara penting di kampus kita. Katanya sih akan kedatangan tamu seorang CEO, denger-denger mau ada pembukaan lapangan pekerjaan."

"Nanti siang ya?"

"Iya, nanti siang katanya. Soal bener atau enggaknya sih, aku juga gak tahu pasti. Semoga aja beneran. Jadi, setelah selesai kuliah nanti, aku bisa magang di kantornya. Itupun kalau nasibku mujur. Kalau gak mujur, aku mau kerja di perusahaan orang tuamu saja, ya ya ya."

"Aku aja dilarang nunjukin identitas ku, hem."

"Jadi, kamu gak terjun di perusahaan ayahmu?"

Vania menggelengkan kepalanya.

"Kata ayahku, aku diminta untuk terjun di perusahaan lain. Jadi, tentu saja aku sama aja sepertimu."

"Rumit juga ya peraturan ayahmu itu, mungkin memang untuk kebaikan kamu juga kali, Van. Maksudnya aku, agar kamu belajar disiplin, mungkin saja begitu maksud dari ayahmu." Ucap Henifa.

"Tau lah, aku cuma modal ngikutin aja apa kata ayahku. Soal mau gimana-gimananya sih, aku gak mau pusing. Sudahlah, ngobrolnya nanti lagi. Tuh lihat, pak dosen udah datang." Jawab Vania.

Kemudian, Vania maupun Henifa berhenti mengobrol dan mengikuti materi yang diberikan oleh pak dosen.

Sambil mengerjakan tugas dari dosen, Vania kembali membersihkan lukanya yang masih mengeluarkan darah walau sedikit pada bagian siku tangannya.

Sedangkan Henifa sendiri tengah fokus dengan apa yang ia dengar lewat penyampaian materi dari dosen.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!