Di jalan yang dipenuhi banyaknya kendaraan yang lalu lalang dari arah yang saling berlawanan, tiba-tiba Vania mendapat kesialan dalam perjalanannya menuju kampus.
"Aih! sial, kenapa juga harus apes kek gini coba. Mana mobilnya mogok, lagi. Aih! bisa-bisa aku telat nanti ke kampusnya, benar-benar sialan. Papa sih, punya mobil aja udah kek gak pernah di cek, gini kan jadinya, bikin sial jadinya." Gerutu Vania dengan kesal saat dirinya tengah mendapati mobilnya yang mogok secara tiba-tiba.
Vania yang sudah tidak sabar, ia pun langsung turun dari mobilnya dan mengeceknya.
"Apa! bocor juga? aih!"
Saat itu juga, Vania langsung menendang ban mobilnya penuh kesal, juga dengan tenaganya yang super.
"Aw! sakit, tau. Eh kamu orang, kalau jalan tuh lihat-lihat. Jalan aja main tabrak, jatuh kan, akunya. Buruan bantuin." Pekik Vania sambil mengomel saat dirinya terjatuh ketika dirinya yang baru saja menendang ban mobilnya.
Sedangkan lelaki yang baru saja menabrak dirinya justru hanya melihat Vania yang sudah terjatuh.
"Eh! kamu bisa dengar gak sih, bantuin dong."
"Enak saja kalau ngomong, kamu itu kalau mau marah tuh lihat kondisi. Noh ditengah taman kalau mau ngedumel, jangan dipinggiran jalan kek gini, ngerti." Jawabnya dengan enteng.
Vania yang bertambah kesal karena harus sial yang kedua kalinya, pun langsung bangkit dari posisinya yang terjatuh.
"Dih! sadis banget sih kamu itu. Yang salah ya kamu, bukan aku. Kan, kamu yang jalan, ya kamu dong yang seharusnya lihatin jalan, bukan aku." Ucapnya yang tidak mau disalahkan.
"Terus, maunya kamu apa? udah bisa berdiri, 'kan? gitu aja marah-marah."
"Kamu!"
"Apa? gak ada yang lecet, 'kan? ya udah diam. Minggir, aku mau lewat."
Saat itu juga, Vania langsung merentangkan kedua tangannya dengan sengaja menghadang lelaki yang baru saja menabraknya.
"Ganti rugi dulu pokonya, karena kamu sudah membuatku lecet, nih lihat." Ucap Vania sambil menatapnya kesal, juga menunjukkan sikunya yang lecet karena mengenai trotoar.
"Jatuh jatuh sendiri, minta ganti rugi, apa gak salah?"
"Eh! jelas jelas ini semua ulahmu, masih saja gak mau ngaku. Awas saja kamu."
"Aku gak takut, minggir." Ucapnya dan langsung pergi begitu saja dari hadapan Vania.
Sedangkan Vania sendiri hanya bisa mengepal kuat pada kedua tangannya yang ingin rasanya melayangkan sebuah tinjuan kepada lelaki yang baru saja menabrak dirinya.
"Ih! itu orang, awas saja kalau bertemu lagi, bakal aku kerjain pokoknya. Enak saja nyalahin aku, jelas-jelas dia yang salah, masih saja gak mau ngaku." Ucap Vania penuh dengan kekesalannya.
Karena tidak ingin kuliahnya terlambat, Vania harus menelpon taksi agar segera sampai di kampusnya.
Sampainya di depan kampus, Vania cepat-cepat masuk kedalam area kampusnya. Dengan larinya yang terengah-engah, Vania terus berlari agar tidak terlambat.
Saat sudah di depan pintu, Vania mengatur napasnya.
"Kamu kenapa, Van? udah kek dikejar hantu saja kamu ini. Eh, itu tangan kamu kenapa, Van?"
"Ini gara-gara bertemu dengan cowok sialan itu, aku jatuh dan mengenai trotoar. Mana gak mau tanggung jawab, lagi, sial banget kan akunya." Jawab Vania yang sulit mengatur napasnya.
"Nih minum dulu. Santai aja, kamu gak usah panik gitu, lagi pula pak dosen belum juga datang. Setelah ini aku temani kamu buat ngobatin lukamu itu." Ucapnya sambil menyodorkan botol minumannya, lantaran melihat Vania yang terengah-engah.
"Gak usah lah, Hen, jugaan cuma lecet dikit doang kok." Jawab Vania sambil mengambil tisu didalam tasnya, kemudian mengelap luka yang sedikit lecet.
Kemudian, Vania menerimanya dan langsung menenggak air minum dalam botol tersebut yang ada ditangannya. Setelah itu, Vania membuang napasnya dengan kasar.
Vania yang napasnya masih belum beraturan, lantaran dirinya harus berlari sepanjang dari pintu gerbang utama hingga sampai di dalam ruangan belajar, pun mencoba untuk tenang.
Sambil mengatur napasnya, Vania berjalan masuk kedalam ruangan setelah minum. Kemudian, ia duduk bersama Henifa, teman akrabnya.
"Van, apa gak sebaiknya diobati dulu tuh lukanya? takutnya tambah sakit loh."
"Gak usah lah, Hen. Jugaan cuma lecet doang kok. Nanti biar aku obatin saja di rumah, di lap dengan tisu aja juga udah cukup kok." Jawab Vania yang tidak ingin menjadi heboh ketika dirinya terluka.
"Ya ih, kejam banget sih itu orang. Sampai-sampai gak mau ngobatin kamu. Kalau aku jadi kamu tuh ya, aku laporin ke polisi, biar kapok itu orang. Habisnya menyebalkan dan gak mau bertanggung jawab." Ucap Henifa yang ikutan emosi.
"Hem. Gak gitu juga kali, yang ada kita kek kurang kerjaan. Nanti yang ada ya tetap aja akunya yang salah, kena denda mah ya. Ah sudahlah, kamu gak perlu kesal gitu. Lagi pula lukanya gak serius, dah santai aja." Jawab Vania sambil membersihkan lukanya dengan tisu.
"Habisnya kesal akunya dengar ceritamu tadi, bikin naik darah aja tau gak sih. Mana gak mau tanggung jawab, kan bikin jengkel namanya."
"Hem. Dahlah, santai aja. Oh ya, Noni gak berangkat kah? jam segini kok belum kelihatan tuh anak."
"Katanya sih ada acara di keluarganya. Tapi, gak tahu juga sih. Ah biarin aja lah, gak penting juga. Oh ya, aku dengar nanti siang akan ada acara penting di kampus kita. Katanya sih akan kedatangan tamu seorang CEO, denger-denger mau ada pembukaan lapangan pekerjaan."
"Nanti siang ya?"
"Iya, nanti siang katanya. Soal bener atau enggaknya sih, aku juga gak tahu pasti. Semoga aja beneran. Jadi, setelah selesai kuliah nanti, aku bisa magang di kantornya. Itupun kalau nasibku mujur. Kalau gak mujur, aku mau kerja di perusahaan orang tuamu saja, ya ya ya."
"Aku aja dilarang nunjukin identitas ku, hem."
"Jadi, kamu gak terjun di perusahaan ayahmu?"
Vania menggelengkan kepalanya.
"Kata ayahku, aku diminta untuk terjun di perusahaan lain. Jadi, tentu saja aku sama aja sepertimu."
"Rumit juga ya peraturan ayahmu itu, mungkin memang untuk kebaikan kamu juga kali, Van. Maksudnya aku, agar kamu belajar disiplin, mungkin saja begitu maksud dari ayahmu." Ucap Henifa.
"Tau lah, aku cuma modal ngikutin aja apa kata ayahku. Soal mau gimana-gimananya sih, aku gak mau pusing. Sudahlah, ngobrolnya nanti lagi. Tuh lihat, pak dosen udah datang." Jawab Vania.
Kemudian, Vania maupun Henifa berhenti mengobrol dan mengikuti materi yang diberikan oleh pak dosen.
Sambil mengerjakan tugas dari dosen, Vania kembali membersihkan lukanya yang masih mengeluarkan darah walau sedikit pada bagian siku tangannya.
Sedangkan Henifa sendiri tengah fokus dengan apa yang ia dengar lewat penyampaian materi dari dosen.
Selesai mengerjakan tugas dari dosen, tidak terasa sudah waktunya untuk istirahat.
Vania yang masih menahan rasa nyeri pada bagian sikunya, pun akhirnya pergi untuk mengobati lukanya.
"Vania!" teriak sosok laki-lakinya yang tengah berlari menghampirinya.
Vania langsung mendongak, dan melihat siapa orangnya yang tengah memanggil namanya.
"Ada apa, Vik?" tanya Vania sambil memegangi sikunya yang terluka.
Viktor yang melihat Vania tengah memegangi bagian sikunya, pun langsung memastikannya.
"Tangan kamu terluka, Van. Kamu jatuh? kenapa tidak kamu obati? ayo ikut aku, obati dulu lukamu. Katakan padaku, siapa yang sudah melakukan ini padamu, Van?"
Karena panik, Viktor langsung menarik tangan kanan miliknya Vania yang tidak terluka dengan langkah kakinya yang cukup gesit. Kemudian, ia segera mengobatinya. Sedangkan Henifa mengikutinya dari belakang.
"Pelan dikit dong, Vik. Tangan aku gak kenapa-napa kok, serius. Ini cuma luka kecil aja, dan kamu gak perlu khawatir." Ucap Vania berusaha untuk menghentikan langkah kakinya Viktor.
Saat itu juga, Viktor langsung berhenti. Kemudian, ia menoleh pada Vania, dan mendekatinya.
"Aku tidak akan membiarkan kamu terluka sedikitpun, apapun alasannya. Kamu bagai permata untukku, tidak ada yang lain. Kalaupun aku tahu siapa yang sudah melukaimu, aku bakal balas lebih sakit lagi." Ucap Viktor sambil menatap wajah ayu miliknya Vania.
"Hem. Berlebihan banget kamunya, gak begitu juga kali. Aku baik-baik saja kok, ntar juga kering sendiri lukanya." Jawab Vania yang tidak ingin menjadi pusat perhatian seluruh kampus.
Meski identitasnya disembunyikan, Vania tetap dipandang paling cantik dan multitalenta. Bahkan, banyak anak-anak kampus ingin berebut mendapatkan cintanya, meski terlihat gadis standar. Juga, dengan kendaraan mobilnya yang bermerk biasa, dan dengan penampilannya yang biasa.
Tidak mempunyai pilihan lain, akhirnya Vania hanya bisa nurut dengan apa yang dilakukan oleh Viktor.
"Cie ... yang lagi dapet perhatian." Ledek Henifa saat mendapati Vania yang tengah diobati oleh Viktor, lelaki yang tidak pernah putus asa untuk mendapatkan cintanya dari Vania.
Perhatian dan segala macam apapun akan dilakukannya demi perempuan yang disukainya itu, siapa lagi kalau bukan kepada Vania.
Sedangkan Vania yang malas menjawab, akhirnya memberi kode pada Henifa saat tangan satunya tengah ditangani oleh Viktor.
Henifa yang mengerti maksud dari Vania, ia pun langsung pergi dan meninggalkan temannya yang tengah diobati oleh Viktor.
"Dah. Gimana, masih sakit?" tanya Viktor.
Vania tersenyum mengembang, dan dirinya menggelengkan kepalanya.
"Sakit sih enggak, cuma luka ringan juga. Oh ya, makasih banyak ya, udah mau mengobati lukaku ini." Jawab Vania mengucapkan banyak terima kasih.
"Tetap saja, namanya luka itu harus diobati. Kalau sampai terjadi infeksi, gimana? siapa yang rugi coba, 'kan kamu."
"Ya udah ya, aku mau ke kantin bareng Heni, bye."
Nahas, Viktor langsung menyambar tangan kanan miliknya Vania.
"Ada apa lagi, Vik?"
Viktor yang mendapat pertanyaan dari Vania, pun langsung berdiri.
"Bareng, kebetulan aku juga mau ke kantin." Jawab Viktor dan langsung menarik tangan Vania.
Sedangkan Vania sendiri tidak bisa menolak, karena dirinya baru saja dibantu mengobati lukanya. Tentu saja Vania hanya nurut dan ngikut ajakan Viktor yang entah mau ke tempat mananya.
Viktor yang tidak ingin diganggu oleh teman-teman yang lainnya, akhirnya memilih tempat yang sedikit sepi orangnya.
"Duduklah, aku mau pesankan makanan, kamu mau pesan apa? bakso, mie ayam, soto, atau ayam bakar, ayam geprek, atau bebek bakar?"
"Terserah kamu saja, jugaan aku gak ada makanan yang aku hindari. Jadi, sama aja sama kamu pesannya." Jawab Vania yang tidak suka pilih-pilih, terkecuali untuk pendamping hidupnya, Vania begitu ketat untuk mencari pendamping hidupnya, dan butuh hati-hati.
Saat pesanan datang, Viktor bersama Vania menikmati makanan yang dipesan, yakni ayam bakar dengan sambalnya yang pedas.
Selesai makan, Viktor mengajaknya ke suatu tempat yang biasa dijadikan tempat mengobrol dengan pasangannya masing-masing. Meski sebenarnya merasa risih, Vania tidak mempunyai pilihan lain selain menuruti ajakan dari lelaki yang selalu mengejarnya.
"Kamu mau ngapain sih, Vik? kita kan gak pacaran, entar kitanya jadi gosip loh."
Bukannya menjawab pertanyaan dari Vania, justru tersenyum padanya, dan mengajaknya untuk duduk.
Ketika keduanya tengah duduk bersebelahan, Viktor meraih tangan Vania dan menggenggamnya sambil menatapnya.
Vania yang merasa tidak nyaman dan risih, ia terus mencoba untuk melepaskan tangannya. Namun, bukannya terlepas, justru Viktor semakin mengeratkan genggamannya.
"Kamu ini kenapa sih, Van. Perasaan kamu itu selalu saja menghindar dari ku, padahal aku gak pernah jahat sama kamu."
"Bukan begitu, Vik. Pasalnya kita ini bukan pasangan kek yang lainnya, pasangan yang ada hubungan tertentu gitu. Sedangkan kita ini hanya teman, bukan pacar." Jawab Vania yang mulai malas untuk membahas soal cinta, apalagi hubungan pacaran, dirinya lebih memilih untuk membahas hal lainnya, pikir Vania.
"Van, aku harus ngomong sampai berapa kali sih. Aku suka kamu, aku cinta kamu, aku sayang kamu, dan aku akan mengajakmu menikah setelah lulus kuliah nanti. Setelah itu, aku akan memberi perhatian penuh padamu, juga apapun yang kamu mau akan aku turuti." Ucap Viktor yang entah berapa kali dalam menyatakan cintanya pada Vania.
"Vik, aku benar-benar minta maaf sama kamu. Bahwa aku itu hanya bisa menganggap mu sebagai teman, tidak lebih. Bukannya aku tidak bersyukur ada yang menyukai aku, mencintai aku, peduli denganku, tapi aku memang tidak bisa menerima mu." Jawab Vania yang kini dapat melepaskan tangannya, dan mengatupkan kedua tangannya.
Viktor yang selalu mendapat penolakan dari Vania, hanya bisa menatapnya lesu dan sedih, seolah perhatian dan kejujurannya tidak berarti untuk orang yang dicintainya.
"Vik, maafin aku ya. Tapi aku memang gak bisa, dan gak mungkin juga jika aku memaksakan diriku ini. Jadi, aku benar-benar minta maaf. Percaya deh, di luaran sana pasti akan temui perempuan yang jauh lebih baik dariku." Jawab Vania yang memang benar-benar tidak bisa untuk menerimanya sebagai kekasihnya, lantaran ingin kebebasan tanpa ada sebuah ikatan, pikir Vania yang merasa jika masa depannya masih panjang.
Viktor yang tetap ditolak Vania, pun tidak sedikitpun untuk menyerah. Meski bibir berkata ia, tetapi hatinya tetap pada Vania, perempuan yang pertama dicintainya itu.
"Tidak apa-apa, setidaknya aku sudah berterus terang padamu. Selagi aku masih melihat mu sendiri, aku akan terus bertahan dengan perasaan aku ini. Yang jelas aku akan berhenti mengejar mu jika kamu sudah resmi milik laki-laki lain. Jadi, jangan halangi aku untuk terus menyukaimu, mencintaimu, dan memberi perhatian padamu." Ucap Viktor yang tetap bersikeras untuk terus mempertahankan perasaannya meski harus berakhir luka sekalipun, pikirnya.
Vania yang mendengarnya, pun tak bisa berkata apa-apa selain pasrah.
"Oh ya, sepertinya jam istirahat udah habis deh. Aku tinggal dulu ya, takut pak dosen udah masuk."
Viktor mengangguk dan tersenyum, Vania sendiri hanya tersenyum tipis dan bergegas kembali ke ruangan untuk mengikuti materi yang akan disampaikan oleh pak dosen.
Saat hendak mau masuk ke ruangan, rupanya benar dan pak dosen sudah masuk. Vania yang tidak ingin mendapat omel, pun langsung duduk ditempat duduknya, yakni bersebelahan dengan Henifa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!