5. Rasa Yang Terpendam

”Mas Abi,” lirih Aira sedikit gurat bahagia terlihat di wajahnya sekilas sebelum dia kembali tersadar dengan posisinya sekarang.

Erlangga, pria itu mencekal lengannya membuat dirinya tersadar bahwa dia kini tak sendiri.

”Kamu sakit? Dia kan ... ?” tanya Abimana.

”Dia suamiku, Mas,” potong Aira.

”Dokter saya ingin membawa pulang istri saya sekarang juga bisa kan?” desak Erlangga.

”Tunggu biar saya periksa ulang kondisi pasien, saya tidak bisa mengambil keputusan jika ternyata pasien masih butuh pertolongan medis!” ucap Mardiana tegas.

”Bu Aira sebaiknya ibu kembali ke kamar saja, saya akan memeriksa Anda lebih dulu.”

Aira menoleh ke arah Erlangga, pria itu nampak acuh tak acuh dengan apa yang akan dilakukan olehnya. Aira menurut dan kembali berbaring di ranjang rumah sakit.

Tatapan penuh tanya di antara dua pria pun terjadi, Erlangga tidak suka dengan Abimana begitu juga sebaliknya bahkan Abimana terkejut mendengar pengakuan Aira jika Erlangga adalah suaminya.

Aira masih terlihat pucat dan butuh istirahat dengan baik, Mardiana pun melarangnya untuk pulang ke rumah dan menyuruhnya beristirahat di rumah sakit saja.

”Tapi Dok suami saya pasti akan menolaknya dan tetap memintaku untuk pulang,” ucap Aira.

”Biar saya yang akan menjelaskannya nanti, Anda istirahat saja.”

Aira hanya bisa menganggukkan kepala, sungguh dirinya ingin sekali memejamkan kedua matanya lagi rasanya lelah tapi sikap Erlangga yang mengagetkannya membuatnya tidak bisa kembali menikmati waktunya untuk beristirahat bareng sejenak.

”Pak Erlangga, apa benar Anda mencintai Bu Aira?”

Erlangga menatap kesal pada Dokter Mardiana yang seakan ikut campur urusan rumah tangganya itu.

”Apa maksud Dokter bertanya hal seperti itu padaku.”

”Karena saya melihat Anda seakan acuh padanya, benar Anda mengabaikannya kan?”

”Itu urusan pribadi saya Dok, kenapa Anda ingin tahu!” kesal Erlangga.

”Karena dia pasien saya, Anda tidak kasihan dengannya?” Mardiana heran dengan sikap Erlangga kenapa dia bisa acuh dengan istrinya sendiri.

”Baiklah tolong rawat dia dengan baik.” Erlangga tak mau ambil pusing dengan perkataan Dokter lebih baik dia mengiyakan saja agar semua berjalan lancar sesuai harapannya karena dia tak mau membuang-buang waktunya berlama-lama di rumah sakit.

Mardiana kembali ke ruangan Aira untuk memeriksanya diikuti Abimana yang masih saja setia membuntuti kakaknya itu. Mardiana memeriksa dengan teliti sedangkan pasien hanya bisa pasrah, Aira sudah lelah itulah yang dia rasakan.

”Apa masih merasa pusing?” tanya Mardiana.

”Sedikit Dok, rasanya juga lemas,” jawab Aira.

”Itu karena kamu tidak makan jadi tidak ada asupan energi ke tubuhmu,” jelas Mardiana.

”Kalian sudah saling kenal?” Abimana dan Aira saling pandang satu sama lain.

”Kami satu kampus dulu, dia itu adik kelasku Mbak,” ucap Abimana. ”Aku masih mencintaimu, Aira.”

”Ya sudah sebaiknya Bu Aira istirahat saja dan tenangkan pikiran agar bisa segera pulih kembali. Abi, tolong kamu berikan resep ini pada suaminya biar dia menebus vitaminnya segera.”

”Baik Mbak.” Abimana pun keluar mengikuti Mardiana setelah berpamitan pada Aira. Mardiana sendiri pergi menemui pasiennya yang lain sedangkan Abimana mencari Erlangga.

”Ini, tebus obat ini segera dan berikan pada istrimu.” Abimana menyerahkan secarik kertas yang diberikan kakaknya tersebut pada Erlangga pria itu tampak santai bersandar pada kursi seraya bermain ponsel.

”Kenapa tidak kau saja yang menebusnya, bukankah kau menyukainya?” ucap Erlangga datar.

Abimana diam, Erlangga pasti tahu jika sahabatnya itu dulu menyukai Aira hanya saja gadis itu tampak acuh dan memang terlihat tidak memiliki ketertarikan pada sahabatnya. ”Lalu kenapa kau sendiri menikahinya bukankah kau menyukai kakaknya?”

”Bukan urusanmu!”

”Tentu saja akan menjadi urusanku jika kau menyakitinya, katakan kenapa kau menikahinya Erlangga!” Abimana terus mendesak Erlangga untuk berkata jujur.

”Cari tahu sendiri jawabannya, aku tidak mau banyak bicara denganmu.” Erlangga bangkit dan berlalu meninggalkan Abimana yang masih saja terdiam karena bingung dengan situasi yang tengah terjadi.

***

Dua hari Aira dirawat di rumah sakit dan dia hari juga Erlangga bolak-balik ke sini itu karena Amara. Wanita itu ada di sini sedang menjenguk adiknya. Aira tidak menceritakan apapun pada Amara tentang sikap Erlangga padanya beberapa hari padanya karena tidak ingin membuat kakaknya menghawatirkan dirinya.

”Kau tidak memberitahukan keluarga di rumah kan?” tanya Amara.

”Jangan Mbak, Aira gak mau papa sama mama jadi menghawatirkan diriku, lagipula jarak Bandung-Jakarta lumayan jika ditempuh.” cegah Aira dia tak ingin kedua orang tua tahu keadaannya.

”Baiklah jika itu maumu, segera sembuh ya.”

Gheo menghampiri istri dan adik iparnya itu, ”Suamimu kemana kenapa tidak terlihat?”

”Mungkin sedang berada di kantin tadi dia ijin pergi ke sana,” jawab Aira sekenanya padahal dia sama sekali tidak tahu keberadaan suaminya.

Amara memandang iba dengan Aira, apakah keputusannya salah bukankah adiknya menyukai Erlangga kenapa justru sekarang adiknya terlihat menderita setelah menikah dengannya.

”Mbak cari minum dulu ya. Sayang, apakah kau perlu sesuatu biar aku carikan sekalian?”

Gheo menggelengkan kepalanya, ”Cepatlah kembali aku harus balik ke kantor segera.”.

”Baik, aku pergi dulu.” Amara meninggalkan keduanya menuju ke kantin rumah sakit rasanya tidak ingin berlama-lama di sana melihat keadaan adiknya namun di sini dia tidak memiliki saudara lagi selain dia.

Langkahnya terhenti manakala melihat Erlangga sedang duduk santai menikmati makan siangnya buru-buru Amara menghampirinya.

”Ehem, enak sekali kamu duduk santai di sini sedangkan adikku sedang terbaring lemah tidak berdaya di kamar rawat. Apakah kau tidak memberinya makan selama ini?”

Erlangga malas menanggapi perkataan kakak iparnya itu dia tetap asyik menikmati makanannya.

”Apa kau tuli, Erlangga!” seru Amara membuat beberapa orang menatap ke arahnya dan hal itu membuat Amara harus menahan malu.

”Itu karena perbuatannya sendiri, aku tidak pernah melarangnya berbuat apapun di rumahku,” sahut Erlangga.

”Jika memang demikian kenapa adikku bisa sakit!”

”Harusnya kau tidak menghindari ku dan menikah dengan orang lain, apakah kau bahagia dengan suamimu itu?” cecar Erlangga tidak mau kalah bahkan seakan tidak peduli dengan tatapan orang-orang sekitar mereka.

”Bad-jingan!” bisik Amara yang sudah tidak dapat menahan amarahnya lagi, dia tidak habis pikir dengan Erlangga yang sudah berubah sedemikian rupa.

Kesalahannya adalah membiarkan adiknya menikah dengan pria itu sedangkan pria itu sama sekali tidak mencintai adiknya sama sekali. Haruskah Amara menyesalinya sekarang? Apakah dia tega menyakiti hati adiknya sendiri manakala setiap hari Aira selalu bercerita tentang pria itu tiap kali pulang kuliah.

Ya Tuhan rasanya jantung Amara seakan lompat dari tempatnya manakala mendengar perkataan Erlangga saat ini.

”Ceraikan suamimu dan kembali padaku, aku akan melepaskan adikmu, kita menikah dan hidup di luar negeri mudah kan?” bisik Erlangga berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang.

Semudah itukah, Amara mematung di tempatnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!