Olm, Osa Si Salamander
"Jika kau merasa nelangsa akan kondisimu, mungkin kau egois. Karena banyak orang yang kecewa akan perilakumu yang kau sendiri tidak mengetahuinya"
Rasanya aneh, hanya orang model sepertiku saja yang gak punya ambisi untuk melakukan apa pun, gak punya tujuan hidup, bahkan gak mau berurusan sama yang namanya cinta. Hidupku damai-damai saja. Alam, adalah panorama yang gak akan berkhianat menemaniku, jadi gak mungkin kan aku berselisih paham dengannya? Tapi jika aku gak bisa melihat alam lagi, baru itu masalahnya.
Aku menengadah ke langit luas, hari mulai senja. Bagaimana bisa aku keluar dari kebun buah milik Papa dan kembali ke gubuk tempat kami berkumpul dengan kondisi rabun jauhku yang semakin parah ini? Bahkan kacamata miopi hitam yang dari siang tadi kugunakan seolah gak berfungsi lagi.
Langitnya memerah sepantasnya waktu senja. Awan kali ini sangat gelap, ada kilatan cahaya di dalamnya. Aku rasa gumpalan awan gelap itu adalah awan kumulonimbus, aku tahu itu sewaktu di SMA dulu, di jurusan IPS. Sepertinya hujan akan menyerbuku.
Tik-tik-tik ...
Pandangan kualihkan menghadap tangan kananku yang seperti merasa ada tetesan air yang jatuh. Buah-buahan yang kupetik dan kumasukkan ke dalam keranjang rotan tampak basah oleh rintikkan itu. Aku terkepung.
Derap langkahku percepat, menyusuri jejeran pohon apel yang rindang dan tersusun rapi laksana tembok tegak perkasa. Rambutku yang hanya sebahu ikut bergoyang sesuai ritme hentakkan kaki. Jantungku berdebar kencang seperti ingin meletus, napas gak beraturan, pikir tak karuan.
"Pa ... Papa ...!" jeritku dengan irama gemetar mencari di mana Papa. Hembusan angin kencang menerpa gelombang suaraku yang gak seberapa.
Semakin kelimpungan, aku tancapkan tenaga otot kaki sekencang-kencangnya menebas jalanan berumput lebat kebun itu. Aku berlari tak tentu arah. Buah-buahan seperti: apel, stroberi, dan lainnya tampak berjatuhan dari keranjang anyaman rotan yang kutenteng.
Hujan semakin deras, bulir-bulir air yang jatuh ke tanah tampaknya semakin banyak. Wajah ovalku tampak dipenuhi olehnya sehingga membuat napasku tersengal. Lariku gak kendor sama sekali, malah semakin kencang. Hingga seonggok akar-atau apalah itu yang menyembul dari tanah menerjang pergelangan kakiku.
Buk!!!
Aku terjatuh menggelepar ke tanah. Daguku mendarat lebih dulu ke permukaan becek lahan kebun itu. Keranjang yang kusandang di lengan terjatuh dan membuyarkan tumpukkan buah ke tanah. Berserak.
Syok, lemas, dan pingsan karenanya.
\~\~\~\~\~
Sial! Aku gak bisa melihat apa pun sekarang. Di mana aku? Apa yang terjadi setelah insiden itu?
Kepalaku masih terasa oyong dan meremang gelap. Kupegang titik perih lainnya dengan tanganku yang meraba mengarah dagu. Apa ini? Mungkin ini perban dan kapas yang menempel di dagu lancipku.
Aku mengerang kesakitan, dari batang hidungku tampak kerutan. Dengan susah-payah aku mencoba membuka mata, masih gak nampak apa pun, mungkin karena aku gak memakai kacamata. Rabun. Tapi aku melihat bayangan seseorang di kiriku. Apakah itu Papa?
"Osa, kamu sudah siuman?" Benar saja, orang itu adalah Papa yang bersuara berat.
Papa mengenakan kacamata ke pandanganku, tampaklah rambut cepak dan kumis tipisnya yang basah karena air hujan. Alisnya mengernyit khawatir memandangku. Aku manggut-manggut seolah men-iya-kan pertanyaannya. Kemudian kurubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar bantal di kepala kasur. Ini di kamarku tampaknya.
"Kamu sekarang di kamar. Tadi papa nemuin kamu pingsan di kebun apel. Lalu papa gendong kamu ke gubuk. Papa telepon pegawai buat membawakan mobil untuk kita pulang. Soalnya hujan lebat tadi." Papa menjelaskan kronologi kejadian padaku sambil mengaduk teh hangat yang di dalamnya berisi perasan jeruk lemon.
Aku menyeruput pelan teh tersebut, menenangkan pikiran, dan mulai berkata, "A-aneh banget tadi, Pa. Padahal biasanya walau di tempat gelap, pandangan Osa gak separah tadi. Tadi itu udah rabun banget, gak kelihatan apa-apa."
"Hmm ... papa juga gak tahu soal begituan. Kalau cara nanam bonsai, papa tahu, hahaha .... Besok lah, kita ke rumah sakit kota," pungkasnya menjawab omonganku sambil bergurau. Ia duduk di kursi komputer berwarna ungu dengan sandarkan busa lembut di dalamnya.
Aku menghela napas, memang beberapa hari ini penglihatanku terasa semakin parah, apalagi saat malam hari, mau dari dekat atau dari jauh, pandanganku tetap saja rabun.
Besok kami akan pergi ke Rumah Sakit Kota untuk memeriksakan kondisi mataku. Harapanku hanya satu, jangan halangi aku untuk tidak melihat indahnya alam bebas.
\~\~\~\~\~
Jarum jam telah selesai berputar, kini saatnya ia mengulang tugasnya kembali sampai waktu terhenti. Hari sudah berganti, waktu menunjukkan pukul 05.30-mentari masih malu-malu menunjukkan eksistensinya di ufuk timur bumi kala itu.
Semalam, rasanya menggantung sekali aku tidur. Menahan perih di dagu, juga mendebarkan jantung karena besok adalah hari pemeriksaan mata. Nampaknya itu hal yang sepele-yang bahkan anak berusia 18 tahun sepertiku tidak mencemaskannya. Tapi rasanya tidak denganku, setiap hal-hal yang menurutku besar dan akan kulalui rasanya menakutkan, padahal belum tentu hasilnya mengecewakan. Suka berburuk sangka.
Pagi ini, aku putuskan untuk tidak absen melaksanakan rutinitasku setiap pagi sebelum ke rumah sakit. Menggowes sepeda.
Dengan masih mengenakan piama, tampilanku pagi ini masih sangat buluk. Muka bantal yang penuh luka hanya kubasuh dengan air. Tidak mandi. Atau lebih tepatnya belum, karena memang biasanya aku mandi setelah olahraga pagi.
Sepeda gunung ber-body putih dengan lis hitam kukeluarkan dari garasi rumah. Di moncong sepeda tertera lampu yang akan menerangi jalanan gelap. Aku menungganginya, mengayuh pedalnya, dan kemudian meluncur-menyusuri dunia.
Kayuhan pedal sepeda sesekali kuperlambat karena lelah, juga ingin melihat keindahan alam sekitar. Banyak pepohonan yang masih rindang nan asri yang tertancap rapi di permukaan tanah. Kelokkan, tanjakkan, turunan aku lalui perlahan. Aku tinggal di daerah puncak, jadi jangan heran dengan kondisi alam dan jalanan di daerah sini.
Dari atas sini tampak gundukkan bukit yang mencakar-cakar langit karena ketinggiannya. Embun pagi pun masih bisa dirasa dalam napas. Langit hari ini tampak cerah, gak ada awan hari ini.
"Hmm ...."
Rasanya sia-sia aku melewati kenikmatan yang hakiki ini dengan melakukan hal yang tidak berguna di dalam rumah. Aku sangat menghargai karya Tuhan, gak pernah sama sekali aku menyia-nyiakannya apalagi menghindarinya. Kecuali waktu senja, malam hari, atau apa pun yang berkaitan dengan kegelapan.
Setelah kurang lebih setengah jam aku menggowes sepeda, kuputuskan untuk kembali ke rumah secepatnya, karena kami akan segera menuju rumah sakit pagi ini atas janji dokter yang sudah berkompromi dengan Papa semalam.
Waktu masih menunjukkan pukul 07.00, masih ada 4 jam lagi untuk kami ke pusat kota untuk pemeriksaan mata. Kuputuskan untuk berehat sejenak di tempat tongkrongan biasa yang aku datangi ketika sedang bosan, meratap, juga waktu kosong. Tempat itu adalah kosen jendela kamarku.
Aku duduk di kosen jendela kamarku yang besarnya bagai goa yang menganga. Kakiku menggantung, mengayunkannya perlahan dengan santai. Tatapanku terus terpaku ke pohon beringin rindang-yang berhadapan langsung dengan kamarku-di halaman belakang rumah.
Pohon beringin yang teduh itu masih aja berdiri di sana. Kata Papa sih, pohon beringin melambangkan persatuan. Tapi nyatanya, keluargaku hancur gak karuan. Haha ... aku benci kiasan. Kuterus menatap rindangnya pohon itu berdiri kokoh sambil sesekali meratap sepi, itulah kegiatanku sebagai anak yang tinggal seorang diri bersama Papa.
Papaku berkata bahwa pohon beringin belakang rumah itu adalah saksi bisu terbentuk hingga hancurnya rumah tangga mereka-yang membuat aku dan kembaranku terpisah karena hak asuh. Bahkan aku gak tahu siapa nama kembaranku itu, bagaimana kondisinya, dan apa yang sering ia lakukan bersama Mama yang jauh di sana. Entah di mana.
Kadang aku nongkrong di kosen jendela ini juga karena pertanyaan Papa yang sampai sekarang belum bisa kuutarakan. Nanti mau lanjut kuliah ke mana? Padahal aku berharap pertanyaan Papa bukan begitu, tapi, Mau lanjut kuliah atau tidak? Ya! Itu karena aku gak punya ambisi untuk melanjutkan pendidikan hingga kuliah. Bahkan cita-cita pun aku gak punya, gak niat, gak tertarik juga. Sudah jelas aku gak mungkin bisa menjadi seperti Papa, seorang S2 di bidang pertanian.
Eh, ya ampun, aku lupa. Ini udah pukul 08.00, waktunya makan pagi. Aku lupa bantu Papa menyiapkan makanannya. Aku beranjak dari kusen jendela, melangkah keluar dari kamarku yang penuh warna. Gak tahu kenapa, aku sangat suka sama warna, kecuali warna gelap. Mataku sakit karenanya.
Sampailah aku di meja makan bulat dari kayu, warnanya coklat mengkilat. Sesekali kugoreskan kuku jari tanganku di atas meja itu, gak tahu kenapa, stetisfying aja. Sesekali kepalaku memperhatikan Papa yang sedang menyiapkan makanan di dapur yang gak jauh dari meja makan tempat aku duduk. Kulitnya sawo matang, dulunya sih, putih. Sekarang aja udah mulai gosong karena kebakar sinar matahari. Soalnya Papa selalu turun tangan langsung buat mengurus kebunnya bersama pegawai. Dia petani handal, pecinta alam sama kayak aku. Saking cintanya sama alam, sampai dekorasi rumah pun bertema nature.
Papa mendekatiku yang berada di meja makan. Kedua tangannya memegang tatakan kayu yang di atasnya ada sepiring mangkuk dan gelas yang juga berbahan dasar kayu. "Jus wortel campur susu dan sup krim jagung punya Osa. Habisin, ya," Papa mendekat ke meja makan sambil menyuguhkan sarapan di hadapanku.
"Eh, Pa. Sorry, ya. Osa gak bantuin Papa buat nyiapin makan pagi." Aku cengengesan aja sambil minta maaf karena gak membantu Papa buat sarapan. Kebanyakkan meelamun.
"Bukan masalah, nak. Kamu makan aja pokoknya. Papa udah makan ubi bakar sisa panen bulan lalu tadi, waktu kamu bersepeda," jawabnya sambil tersenyum memperlihatkan kerutan di ujung kedua matanya. Dia sudah kepala empat.
"HAH! Papa makan ubi bakar hasil kebun? Kok gak sisain buat Osa!?" gerutuku yang baru meneguk segelas jus wortel yang ampasnya menempel di bibir atas. "Papa tahu, kan, Osa suka banget ubi bakar."
Papa duduk di kursi meja makan dan menatapku sambil menghela napas. "Ih, kamu udah besar masih aja kayak anak-anak gitu. Jangan merengek, udah tamat sekolah, kan?" Papa menasihatiku yang kadang masih bertingkah kekanak-kanakan. Lagi-lagi aku cengengesan. Iya, sih. Aku masih suka labil gitu.
Pagi itu setelah sarapan, aku dan Papa langsung berangkat ke kota untuk pemeriksaan mata. Karena perjalanan dari puncak ke kota lumayan jauh. Papa sedang memanaskan mesin mobil di garasi. Sedangkan aku sibuk mencari setelan hari ini. Sweater merah tua, celana denim abu-abu, juga sepatu kets sewarna dengan sweater aku gunakan untuk pergi. Gak lupa kuselempangkan tas kulit di pundak. Kami pun berangkat mengendarai mobil Alphard putih milik Papa. Brrm ....
\~\~\~\~\~
Sampailah kami di Rumah Sakit Mata Pusat Kota. Aku dan Papa duduk rapi di jejeran bangku besi tempat para pasien menunggu namanya dipanggi. Suasana di tempat ini sudah lumayan ramai, padahal hari masih pagi. Ya, namanya juga di kota, pasti setiap sudut ruangan diwarnai oleh hiruk-pikuk keramaian.
"Oryza Sativa, pasien nomor 3, silahkan masuk ke ruangan," panggil salah seorang perawat di rumah sakit itu. Kami pun bergegas memasuki ruang pemeriksaan.
Aku langsung mendapatkan banyak tes penglihatan. Entah tes apa aja, yang jelas banyak. Dokter juga banyak nanya soal pengelihatanku. Udah kayak interogasi polisi. Satu jam kami menunggu. Mataku yang sudah mulai puyeng melihat putihnya ruangan rumah sakit akhirnya teralihkan ketika dokter datang menghampiri.
"Gimana hasilnya, dok?" tanya Papa pada dokter yang berada di hadapan kami. Tampak wajah Papa yang cemas terlukis dalam ekspresi.
"Anak anda sepertinya menderita penyakit penglihatan glaukoma," tuturnya sambil memegang kertas yang gak jelas apa tulisannya.
Papa nampak shock mendengar hal itu. Beberapa kali pandangannya mengalih padaku yang duduk di samping kirinya. Aku yang gak tahu apa-apa akhirnya angkat bicara dan bertanya pada dokter. "Emang kenapa, sih? Glaukoma itu penyakit apa, dok? Kan bisa disembuhin?" tanyaku tanpa henti dengan ekspresi ingin tahu yang menggebu.
"Hmm ... glaukoma itu penyakit mata yang disebabkan oleh saraf yang menghubungkan mata ke otak rusak. Akibatnya, penglihatan perlahan berkurang hingga akhirnya buta permanen. Pandangan di tempat gelap juga terganggu. Hanya 75% sisa pandangan kamu tersisa. Untuk ruang gelap 20%. Belum ada cara penyembuhan untuk penyakit ini," jelas dokter menjawab pertanyaanku.
Mendengar hal itu aku pun terkejut. Kepalaku berkali-kali mengarah ke Papa yang sedang meratap. Mataku yang memandang mulai tampak berkaca. Pandanganku terganggu oleh genangan air dalam kelopak. Aku keluar dari ruangan dan langsung pergi memasuki mobil kami yang terparkir di depan rumah sakit. Aku menangis. Rupanya harapan hanyalah doa tanpa hasil.
Kacamata hitamku kucampakkan keras mengenai kaca depan mobil, untungnya tidak pecah. Berulang kali kukucek-kucek kedua mataku sambil terus menangis bercecer air dari dalamnya. Pikirku gak karuan, entah nasib apa yang melanda sehingga penyakit seperti ini menimpaku secara tiba-tiba.
Sejak saat itu aku terpuruk. Aku gak mau keluar rumah buat melihat indahnya alam puncak lagi. Mataku seolah gak rela melihat ragam warna dalam dunia. Hidupku monokrom.
\~\~\~\~\~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
San!
Keren gila baru tau arti Clover itu
2020-08-21
1
W.Willyandarin
Keren thor cerita nya 👍👍👍
Jangan lupa mampir di cerita saya yang berjudul Cinta Abdinegara dan Putih Abu-Abu di tunggu feedback nya 🤗🤗🤗
Terimakasih 🙏🙏🙏
2020-08-17
0
Yhu Nitha
hai thor salam hangat dri SHA RA 🙏🙏😊
2020-08-11
0