Bumi Timur Indonesia

Waktu telah kami tempuh dalam perjalanan dari Jakarta menuju Kota Sorong, Papua Barat selama kurang lebih 4 jam, akhirnya kami pun tiba di ujung Timur Indonesia. Waktu menunjukkan pukul 18:00. Langit mulai tampak gelap untuk melihat Negeri Cendrawasih itu. Aku gak tidur karena gak sabar. Sedangkan Alma, Aisyah, dan Raka tertidur lelap dalam cabine. Untuk Agra, ia asik membaca buku tebal mengenai Papua. Anak itu tampak fokus di belakangku dengan tatapannya yang tajam memandang tumpukkan tulisan itu. Aku sih, ogah. Puyeng.

Aku duduk bersebelahan dengan orang asing, gak tahu dia siapa. Raka dan Agra duduk berdampingan berdua di cabine belakangku, sedangkan Alma dan Aisyah berdua duduk di cabine tengah sebelah kananku.

"UDAH NYAMPE!!!" jeritku bahagia memecah keheningan dalam pesawat.

Tampak penumpang lain terkejut dengan jeritanku, gak terkecuali Alma, Aisyah, Raka, bahkan Agra terlihat terkejut dan menjatuhkan bukunya.

"SSSTTTT ...!!!" bisik penumpang di sebelahku yang merasa terganggu.

"Hehehe ..., sorry," cengirku malu.

"Bising banget lo, Sa," protes Alma terbangun.

Aisyah menggeleng saja, sukmanya belum menyatu dengan raga.

"Belum nyampe, masih mau landing woy!" tegur Agra jengkel. Sebenarnya, sih, belum mendarat, aku aja yang kehebohan gak sabar. xixixixi....

Pesawat pun menukik beberapa derejat ke arah tanah untuk mendaratkan tubuhnya di Bumi Timur. Raka yang baru terbangun terkejut dengan keadaan saat itu. Wajahnya pucat gemetar gak karuan. Bibirnya komat-kamit panik.

"Loh ... loh ..., kok begini pesawatnya, Sa?" tanyanya heboh kepadaku yang sedang berdiri di lorong cabine saat sedang pendaratan. Barbar.

"Pesawat lagi mendarat, norak lo!" Belum sempat aku menjawab, Agra sudah menjawab kepanikan Raka dengan santainya.

"Santuy, Ka. Kita udah nyampe," timpalku kembali menjawab pertanyaan Raka. Bukannya semakin tenang, mulutnya tampak menggembung seperti ingin mengeluarkan harta pribadi dalam tubuhnya.

"WUEEK ...." Raka muntah, untungnya dia sempat memegang plastik kosong untuk menampungnya. Agra yang duduk di sebelahnya sedikit menjauh dengan ekspresi jijik. Aku tertawa, HAHAHA.

Pesawat pun mendarat dengan selamat. Kami pun bergegas turun dari pesawat menuju keluar Bandar Udara Domine Eduard Osok. Pukul 6 sore,  hari sudah senja, cahaya mentari hampir di makan gelapnya malam. Rasa senang mendalam merasuki tubuhku. Aku lari sana-sini menjelajah seisi bandara. Rasanya bahagia, bisa melakukan trip jauh bersama teman dekat.

"HOOAAAA ... keren juga Papua," ucapku kagum melihat seisi bandar udara.

"Aneh banget lo! Baru juga nyampe bandara, indah mata lo picek." Agra menimpal omonganku.

"Dih, emang gue ada ngomong sama lo!? Jangan banyak bicara! Nolep," jawabku kepadanya sambil mendongakkan kepala ke hadapannya. Skakmat!

"Eemmm ... temen-temen, hari udah mulai gelap, untuk menuju Raja Ampat kita perlu ke pelabuhan dulu untuk menuju Waisai. Jadi gimana? Mau lanjut perjalanan hari ini juga, atau bermalam dulu di sini." Raka, si Kompas Berjalan menjelaskan tentang rute yang harus kami lalui untuk menuju Raja Ampat.

"Kalau menurut gue sih, kita bermalam aja dulu di Sorong, soalnya hari udah gelap. Ntar lo kesusahan, Sa," saran Aisyah sambil melipat kedua tangannya.

"Bener sih, kata Aisyah. Cuman terserah elo aja, Sa. Kan yang bayar akomodasi semuanya papa lo," timpal Alma menyetujui saran Aisyah.

Aku diam sejenak, mencoba melawan rasa ketidaksabaran dan ego untuk tidak berangkat hari ini juga. Telunjukku menempel ke kepala kanan sambil gaya-gayaan jadi pemikir handal. Aristoteles.

"Ya udah, kita bermalam aja di hotel dekat sini, gampang itu." Agra menjawab seenak jidat tanpa harus berpikir.

"Eh, kok elo yang ngatur!"

"Memangnya jawaban lo gak sama kayak gue?"

"I-iya, sih. Yaudah deh, kita bermalam di hotel dekat sini. Hehehe ...." Aku pun menyetujui kebijakan Agra yang sok bijak.

"Dasar Olm. Bukan mata lo aja yang picek rupanya, otak lo juga," ejek Agra dengan tatapan sinis ke aku.

"NOLEP BRENGSEK!!!"

\~\~\~\~\~

Malam itu, akhirnya kami pun memutuskan untuk menginap di Swiss-Belhotel Sorong. Hotel bintang empat yang hanya 10 menit dari bandara. Kami menggunakan jasa taksi Blue Bird untuk menuju ke sana.

Raka duduk di kursi penumpang paling depan sebelah supir. Aku, Alma, dan Aisyah, kami duduk di kursi tengah berdempetan. Sedangkan Agra, dia sendiri duduk di kursi paling belakang sambil terus membaca buku tebalnya.

"Sa," sahut Raka padaku memulai pembicaraan.

"Hmm ...." Aku hanya bergumam.

"Sebenarnya ... kita bisa, kok, hari ini juga berangkat ke Waisai dengan pesawat."

"Loh? Kenapa gak lo bilang dari tadi, Ka!?"

"Hehehe ... soalnya aku takut naik pesawat."

"EALAH ... Kamu gimana, sih!!" bentakku kesal mendengar pengakuan Raka yang memperlambat perjalanan karena takut naik pesawat. Pandangannya terus menatap ke hadapan sambil menggaruk kepalanya entah gatal atau apalah itu.

"Dasar plin-plan," sambung orang pintar belakang kursiku.

Perjalanan pun kami lanjutkan. Malam itu suasana di Kota Sorong sangat sunyi dan sepi. Berbeda dengan Jakarta, mau siang atau malam hari, pasti suasana ramai. Bising suara klakson mobil, asap di mana-mana. Sumpek.

\~\~\~\~\~

Sepuluh menit kemudian, kami tiba di hotel tujuan. Dengan susah-payah aku keluar dari mobil menuju dalam hotel secara meraba. Suasana di luar sangat gelap, mataku buta seketika.

Raka membawa koper bawaanku, sedangkan Agra tiba-tiba memegang kedua bahuku dan menuntunku dari belakang. Entah apa maksudnya, yang jelas aku tak berkata dan sibuk meraba-raba hingga ke dalam hotel.

Aku pun langsung melakukan booking kamar di tempat. Dua kamar hotel aku pesan untuk penginapan kami yang bahkan gak sampai sehari. Aku memesan kamar yang kelas orang hemat. Standar room. Inget! Orang kaya itu bukan orang yang punya banyak uang, tapi mereka yang berhemat, itulah orang kaya. Jadi paham, ya!

Setelah kamar kupesan, kami pun langsung menempatinya untuk bermalam. Aku, Alma, dan Aisyah tidur di kamar nomor 59 di lantai satu. Sedangkan Agra dan Raka tidur di kamar nomor 60 bersebelahan dengan kamarku. Walaupun kamar yang kupesan terbilang murah, tapi tetap aja fasilitasnya mewah karena hotel itu berbintang empat.

Sampailah aku di kamar. Gak pikir panjang, tubuhku yang dari tadi pegal-pegal langsung kurebahkan di atas tempat tidur empuk yang luas model king size. Pikiranku terus dihantui ketidaksabaran hari esok untuk menjelajah Raja Ampat. Rasa rindu akan alam Nusantara seolah tak terbendung. Bahkan ngantuk pun seketika lenyap diganggu alam Papua yang terus membayang.

Alma yang ikut rebahan di sebelahku terlihat sedang sibuk dengan gadget-nya. Terihat jari jempol kanannya menggeser-geser layar media elektronik itu dengan pandangan hampir gak berkedip sama sekali. Aneh, kok bisa orang zaman sekarang lebih suka memandang layar HP begitu sampai lupa waktu? Padahal ada alam terbuka yang indah untuk dinikmati sambil terpaku. Dasar generasi tunduk.

Aisyah, dia sedang sibuk mengadu dengan Yang Maha Kuasa. Dia beribadah isya, mencoba menyusul ketertinggalannya dalam beribadah, karena waktu sudah menunjukkan pukul 22:00. Entah apa yang diminta, yang jelas, ia berhati tulus. Terlihat dari wajahnya yang sedang berdoa sambil menunduk dan sesekali meneteskan air mata. Itu sudah biasa, Aisyah memang agamis orangnya. Attitude muslimah banget.

Setengah jam kemudian, Aisyah terlihat tidur lelap di sebelah kananku, sedangkan Alma juga tertidur dengan layar HP yang masih aktif.

Aku yang grasak-grusuk gelisah semakin gak bisa tidur. Gak ada ngantuk terasa dalam diriku. Akhirnya, kuputuskan untuk keluar dari kamar, mencoba untuk mencari udara segar di halaman hotel yang penuh cahaya lampu. Kolam renang persegi panjang terlihat berbinar-binar berwarna biru bak berlian. Aku duduk di pinggir kolam renang sambil mencelupkan kedua kakiku ke dalamnya. Sesekali kugoyangkan kedua kakiku merasakan sejuknya air kolam.

Tiba-tiba terdengar suara pria yang menyahutku dengan nada mengejek. "Woy, lo mau jadi olm nyemplung di kolam?"

Aku menoleh ke arah kiri, benar saja tebakanku, Agra si Nolep Sok Pinter datang menghampiriku. Dia duduk di sebelahku sambil tersenyum ledek menghadap diriku. Aku pun menjawab, "Berisik! Nolep jangan suka keluyuran, ntar ngilang baru tahu!"

"Kalem-kalem .... Ngomong-ngomong, pasti lo gak bisa tidur, ya, karena gak sabar buat besok?" tanya Agra padaku beralih pembicaraan.

Aku mengangguk mantap, tanda membenarkan perkataannya, kemudian aku membalas, "Pasti lo risih, ya, karena lo gak suka tidur sekamar dengan Raka?" tanyaku balik sambil tersenyum sinis.

"Dih ... sok tahu lo!"

"Agra ... si Nolep Anak Rumahan, lo jangan ngehindar, deh. Gue itu Olm! Walau penglihatan gue keganggu, tapi feeling gue itu gak bisa diremehin. Gue itu pekaan. Paham lo!" timpalku mencoba membongkar kedok Agra. Entah apa-apa aja sebutan yang kuberikan buatnya. Yang jelas, semua panggilan atau ejekkan yang kukatakan hanya menjurus pada satu makna, yaitu 'kurang pergaulan'.

"Bener, sih. Gue males banget tidur di sebelah dia. Dia katro banget, masa bathtub dijadikan ember, terus dia mandinya pake gayung plastik yang dibawanya sendiri-bentuknya love lagi." Agra menceritakan keluh-kesahnya tidur bersama Raka, bibirnya mengerucut dengan alisnya yang mengerut.

"Ih ... Agra, lo jangan gitu, dong! Raka itu temen gue dari SD. Seenggaknya dia gak nolep kek elo, dia anak petualang, gak kek elo yang hobinya berteori!" selaku kesal atas sikap Agra yang merendahkan Raka. Dia arogan orangnya, itu yang buatku gak suka sama dia. Selebihnya, sih ... ok-ok aja.

"Hahaha ... lu itu cewe realistis banget, ya. Terlalu berpatokan dengan realita."

"Lah? Elo terlalu banyak imajinasi, sampe gak bisa bedain mana dunia nyata mana halusinasi.

"Udah ah, lo nyari ribut mulu, Gra."

Kemudian aku diam saja. Capek berdebat sama orang yang terlalu sering berteori, hobinya banyak bacot, Alma pun kurasa kalah debat dengannya.

Kami duduk di pinggiran kolam hanya berdua, melamun, dan mendalami isi pikiran masing-masing. Wajahku menatap langit, yang malam itu banyak bintang berkilau dan sebuah bulan benderang. Indah, rasanya sayang jika kusia-siakan penglihatanku ini untuk hal bodoh yang gak berguna. Ciptaan Tuhan, bagiku ini adalah karya terindah yang bisa kurasakan. Pantulan lukisan langit itu ter-refleksi di permukaan bola mataku yang berbinar, terlukis di sana, dan kemudian ada hawa panas yang menggangguku. Pandanganku terpecah, kemudian kualihkan pandangan ke sisi kiri.

Agra mendekatkan wajahnya beberapa senti kepada diriku. Aku terkjut dan seketika saja. PLOK! tamparan keras tepat mengenai wajahnya. Wajahnya langsung terhempas. "Apa-apaan lo!? Oh ... mau nyari kesempatan, ya? Gue laporin papa lo ya!"

"Aww ...

"Lo gila ya!? Enak aja asal nampar orang suka-sukanya," gerutu Agra dengan wajah kesal sambil memegangi pipi kanannya yang habis kutampar. Wajahnya langsung memerah, muka lugunya merekah.

"Habisnya lo ngapain deket-deket gue?" tanyaku dengan nada ngegas padanya yang mulai menciut.

"Dih ... geer banget. Gue cuma lihat keajaiban Tuhan di deket lo."

"Apanya keajaiban?"

"Mata lo, tadi ada bintang di sana, ada bulan juga."

"Woy kocak! Itu pantulan dari langit, masa gak ngerti orang jenius kayak elo? Jangan alesan, deh.

"Ooo ... atau jangan-jangan lo suka ya sama gue? Ngaku deh!" Dengan kekuatan kepekaan dari olm, kutembakan tuduhan gak pasti pada Agra.

Wajahnya makin tegang, kemudian ia menjawab terbata-bata sambil mengerutkan alis dan melancipkan bibirnya. "E-eh, ngarep banget lo gue sukain."

"Hmm ... nolep oh nolep, janganlah kau berbohong, nak. Gue ini olm! Osa si salamander yang pekaan dan sensitf. Paham lo!" jawabku dengan senyuman sinis. Kira-kira ekspresiku begini,  😏

"Emang udah gak beres orang kayak elo!" Agra pun beranjak pergi dengan muka cemberut. Wajahnya yang sok cool kubuat berantakan malam itu. Gak level samaku cowok sok jaim begitu, cuih.

Malam itu mau tidak mau aku harus tidur, dengan semangat menggebu-gebu ingin cepat-cepat melanjutkan perjalanan ke Raja Ampat. Aku kembali ke dalam kamar dan mencoba melepas sejenak pikirku yang membayang tentang haru esok.

\~\~\~\~\~

Pagi pun tiba, hari itu tepat pukul 07:00 WIT. Mataku yang sembab terbuka perlahan, masih sedikit kabur untuk melihat pemandangan di samping kiriku. Kemudian kukucek-kucek sambil menguap lebar menyatukan raga yang terpisah sementara.

Terlihatlah tubuh jangkung Alma tanpa apa pun. Eh, maksudku tanpa busana. Sontak saja aku berteriak, "BRENGSEK!!! Lo ngapain bugil di depan gue?"

"Habis mandi, hehehe ...," jawabnya santai sambil nyengir dengan mulut goa-nya.

Bukannya langsung menutup badannya dengan handuk, Alma malah melanjutkan bugil show-nya tanpa mempedulikan aku.

"Lo pake baju di kamar mandi dong!!"

"Dih, lo kenapa sewot, sih? Kita kan sama-sama perempuan."

"Jijik gue .... Bulu lo kek hutan rimba!" ejekku sambil tetap emosi dengan pemandangan pagi hari yang suram itu.

Aku pun langsung bangkit dari tempat tidur dan beranjak menuju keluar kamar meninggalkan si aktris bugil itu yang sedang asik body care-an sambil telanjang. Badannya emang bening, tapi aku masih normal, liat begituan gilo rasanya. Woy! Kok kalian ngebayangin terus, sih!?

Di depan pintu kamar, aku menerima pesan Whatsapp dari Aisyah. Kubuka dan kubaca isi pesan teks darinya.

Asalamualaikum, Sa. Kalo lo udah bangun, langsung ke buffet aja, ya. Kami makan pagi di sini soalnya.

Membaca pesan dari Alma, aku pun bergegas menuju buffet hotel itu. Mukaku masih sembab, belum dicuci. Malah pemandangan hutan rimba-lah yang menjadi pandangan pertama di pagi itu. Kesel, Alma emang gak tahu malu kalau sama temen. Gila-gilaan aja gayanya.

Sampailah aku di buffet hotel tersebut yang terletak di lantai dua. Terlihat Aisyah, Agra, dan Raka duduk dalam satu meja persegi panjang dengan pemandangan alam pagi Sorong. Masih asri dengan pepohonan yang menghiasi pekarangan hotel dengan teduhnya.

Aku pun duduk bersebelahan dengan Aisyah dan berhadapan dengan Agra .

Aisyah sedang sibuk menonton video kajian dari Youtube ditemani dengan secangkir coklat panas dengan cangkir batu berwarna hitam pekat. Tak lupa sepiring roti panggang yang masih hangat tepampang di hadapannya.

Raka sedang sibuk membaca tabloid bertema alamnya dengan sesekali ia memutar-mutar halaman kertas itu. Segelas teh hangat dan semangkuk soto kambing ia santap disela kesibkannya membaca.

Sedangkan Agra melanjutkan membaca buku tebalnya tentang daerah Timur Indonesia yang sebentar lagi kami jelajahi. Ia bersandar di dinding dekat jendela tempat itu, wajahnya fokus menatap tulisan-tulisan dalam buku itu. Di sampingnya, nganggur segelas kopi hangat Americano yang aromanya bertebar kemana-mana.

Di hadapanku pula, terhidang semangkuk sup krim jagung dan jus wortel susu kesukaanku.

Aku membuka pembicaraan di tengah-tengah mereka yang sibuk dengan urusannya masing-masing. "Ka-kalian udah dari tadi nunggu di sini?"

Kesunyian pecah, mereka bertiga menatapku dengan sedikit terkejut. Aku yang jadi pusat perhatian di meja itu cuma nyengir gak jelas.

"Astaghfirullah, Osa. Gue sampe gak sadar lo udah dateng. Sorry, ya," jawab Aisyah yang langsung meletakkan handphone-nya di atas meja.

"Baru 15 menit kok kami di sini, Sa." jawab Raka dengan senyum. Tampak lesung pipit tergambar di kedua sisi pipinya. Dia hitam manis.

"Kayak nunggu artis aja gue di sini," timpal Agra dengan tak beralih pandang dari bukunya. Dia orang sombong.

"Ya maap, soalnya aku baru bangun tadi.

"Gue mau ngambil makan dulu."

"Udah gue ambilin kok, Sa, buat lo. Itu." Aisyah menunjuk ke arah sup krim jagung dan jus wortel susu yang berada di hadapanku.

"Awww ... makachi my Ichaaa ...." Icha, nama panggilanku untuk Aisyah yang terkadang kugunakan ketika sedang manja-manjanya. Aku orangnya gaje.

"Ngomong-ngomong, Alma kemana?" tanya Aisyah balik menoleh kepadaku sambil tetap menggenggam layar HP-nya dengan posisi lanskap.

"Itu anak bisa-bisanya tadi bu ...." Tiba-tiba seseorang dari belakang menutup mulutku yang hampir ngeghibah itu.

"Ta-tadi gue body care-an di kamar, jadi agak lama. Hehehe ... sorry ya pada nunggu," sela Alma sambil terus membungkam mulutku.

Kami semua sudah berkumpul di satu meja makan untuk membahas perjalanan selanjutnya untuk segera menuju destinasi pertama, Kepualauan Raja Ampat.

"Ok ok, jadi Raka yang menuntun jalan, sekarang lo jelasin panduan yang harus kita lalui buat ke Raja Ampat," tunjukku pada Raka yang paham arah dan sebagai pemandu perjalanan kami.

Raka merubah posisinya menjadi tegak sambil membentangkan selembar peta besar di hadapan kami. "Ini, kita di sini sekarang," jari telunjuknya menuju ke arah kota Sorong, tempat kami berada, kemudian dia menyambung pembicaraan, "Kemudian kita ke sini, melewati pelabuhan untuk menuju Waisai, Kabupaten Raja Ampat dengan kapal."

"Terus nanti kita nginep di mana?" tanya Alma menimpal pembicaraan Raka. Dia duduk di tengah aku dan Aisyah. Aroma minyak wangi bercampur body lotion menyerbak dalam pembicaraan itu. Raka tampak sesekali menggosok-gosok hidungnya. Mungkin gak terbiasa.

"Memangnya kita mau nginep berapa lama di sana?" Belum terjawab pertanyaan Alma, Aisyah menambahkannya lagi.

"Tanya aja sama Ratu-nya, dia kan yang atur semuanya." Akhirnya Agra menyerahkan semua ketidaktahuan mereka kepadaku.

Lagi-lagi pandangan mereka semuanya tertuju padaku. menunggu jawabanku yang sebenarnya juga gak tahu. "Emm ... ki-kita nginep di sana seminggu aja, deh."

"Yakin? Biayanya gak kecil loh, Sa." Raka mengerutkan dahinya seolah tidak percaya akan waktu yang kuberikan.

Dengan kalem dan seolah tanpa beban, aku tegaskan pada mereka. "Kita bakal nginep di Raja Ampat seminggu, jangan pikir biaya, gue kan anak sultan." Tangan kananku aku posisikan di atas meja dengan telapak yang menopang rahang kanan. Wajah belagu kugunakan.

"Pokoknya gue mau puas-puasin nyelem di sana, pengen nikmatin liburan ini dengan kalian, gak usah banyak mikir ini-itu, nikmatin aja," sambungku memperpanjang pembicaraan. Alma, Aisyah, dan Raka planga-plongo. Agra gak peduli dengan omonganku.

Pembicaraan kami sudahi, perjalanan akan kami lanjutkan pukul 08:45 WIT untuk segera menuju pelabuhan yang akan mengantar kami ke Waisai, Kepulauan Raja Ampat-dengan kapal. Hari itu penuh rencana, rencana yang kuimpikan akan berjalan lancar sesuai bayangan, namun belum tentu realita mengizinkan.

\~\~\~\~\~

 

 

Terpopuler

Comments

San!

San!

Sukses thor karyanya

2020-08-21

1

Noejan

Noejan

terharu😆

2020-07-17

0

Just_X

Just_X

hadir feedback ampe sini ya thor 😁😁 terus semangat

2020-06-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!