Malam harinya setelah pembicaraan dengan Agra selesai, aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju kamar tidurku untuk segera berpakaian. Malam itu aku mengenakan baju model yang sama dengan semalam, pajamas hijau bermotif daun kukenakan untuk tidur. Sebelum tidur, aku keluar dari kamar untuk membantu papa menyiapkan makanan di dapur untuk makan malam kami berdua.
Sampailah aku di dapur rumah itu, terlihatlah pria yang menjadi papa sekaligus mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Kudekati ia untuk membantu meringankan pekerjaannya. Aku mengaduk sup krim jagung di dalam panci atas kompor. Sesekali kutaburi sedikit garam untuk mempergurih cita rasanya. Kami gak menggunakan penyedap atau MSG. Hampir semuanya serba organik.
Sedangkan papa sibuk memblender buah bit dan apel untuk dijadikan jus bloody mary. Tampak wajahnya yang lelah sehabis pulang dari kebun untuk menkoordinasi pegawainya yang bekerja di sana. Dia pria hebat.
Setelahnya seperti biasa, kami pun menyantap makan malam di atas meja makan kayu dengan peralatan makan juga serba kayu yang diperhalus. Kami bercengkrama, tertawa, dan kembali gembira. Aku mulai melupakan penyakitku. Hingga pada pembicaraan yang serius, wajahku kembali mendatar.
"Oh iya, kamu rencana mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa?" tanya papa padaku yang langsung berubah ekspresi mendengar pertanyaan dari papa.
"Hmm ... sebenarnya Osa gak mau kuliah, Pa," jawabku pelan karena takut papa gak suka dengan keputusanku.
Dan benar saja, sontak papa terkejut dan menaikkan nada bicaranya padaku. Kumisnya yang hampir menutup mulut bergoyang seirama gerakan bibir. "Apa!? Gak mau kuliah? Mau jadi apa kamu, nak?" Aku terdiam, menggerutu sambil menundukkan pandangan.
"Jangan kecewain papa. Papa mau kamu lanjut kuliah, demi kamu, anak papa. Kamu gak harus ngambil jurusan pertanian, kok," sambung papa menekankan keinginannya agar aku berkuliah.
Namun dengan keputusasaanku, upaya papa tak akan kupedulikan. Di sisa penglihatanku yang entah berapa lama lagi tersisa, aku ingin hidup bebas. Kemudian pandanganku kutengadahkan ke wajah papa yang tampak emosi. Aku pun menjawab, "Osa gak mau kuliah, Pa. Osa butuh kebebasan, buat ngewujudkan harapan," jawabku gemetar.
"Kuliah itu bukan penjara! Kamu gak papa larang kok buat bergaul sama siapa aja. Jangan banyak tingkah!"
"Bagi Osa kuliah itu tekanan! Buat apa Osa kuliah? Osa gak punya cita-cita, Pa. Osa gak bakal mau kuliah."
Mendengar sifatku yang bersikeras menolak tuntutan papa, akhirnya papa beranjak dari meja makan dan pergi entah ke mana. Dia gak mau main tangan denganku, dia orang baik. Baginya pendidikan adalah prioritas untukku. Tapi maaf, bagiku pendidikan hanyalah formalitas untuk dipandang orang karenanya. Aku hanya ingin bersikap realistis. Aku gak perlu diatur.
Bagaimana cara supaya papa bisa memahami kondisi hatiku, aku pun gak tahu. Papa itu hidupnya terlalu teratur, apa aja dijaga, mulai dari makanan, gaya hidup, sampai pendidikan pun dia jaga. Sedangkan aku, remaja yang gak punya mimpi atau cita-cita. Baru saja kemarin mimpiku direnggut oleh perkataan dokter. Glaukoma, itu katanya. Seolah dokter kuanggap Tuhan.
Berkali-kali aku meminta maaf pada papa yang sedang merenung di teras taman belakang. Wajahnya tampak letih dan sedih. Ia melamun, aku bukan peramal. Gak bisa baca isi pikirannya. Tapi aku bisa merasakannya. Mulutku komat-kamit mencoba menjelaskan pada papa. Kujelaskan semuanya tentang isi hatiku. Keputusanku untuk gak melanjutkan pendidikan karena penyakitku merusak masa depan sudah bulat. Walaupun teman-temanku sudah memberi motivasi, namun tetap saja, aku harus realistis. Jangan banyak berkhayal. Aku gak percaya diri, gak punya ambisi, apalagi membayangkan masa depan cerah nanti. Gak mungkin.
Papa sama sekali gak mau menggubris perkataanku. Mungkin pemikirannya yang terlalu imajinatif. Mungkin juga aku yang terlalu berpikiran negatif. Entah. Seperti membengkokan hal yang benar.
Aku kembali ke kamar untuk tidur, tubuhku yang setinggi 165 sentimeter merebah di atas hamparan empuknya kasur. Aku terlentang, menatap asbes putih pada langit-langit kamarku. Lampu kamar gak kuhidupkan malam itu, aku coba membiasakan diri pada keadaan gelap. Penglihatanku ramai, banyak kunang-kunang saat gelap. Gak bisa melihat tulisan karena dihalangi olehnya. Olehnya yang nanti merenggut pandanganku.
Merasa gak tahan dengan pandangan gelapku, kuputuskan untuk membuka gorden jendela berwarna ungu kamar itu untuk menerangi kamar. Cahaya rembulan pun berhamburan memasuki ruang kamarku. Malam itu purnama. Angin sepoi-sepoi juga ikut berhembus dari ventilasi jendela kamar milikku. Baru kali ini aku takjub dengan indahnya malam. Mataku mulai terpejam. Pikirku melayang. Ragaku tak berdaya. Aku tertidur dalam hening.
\~\~\~\~\~
Besok paginya, aku terbangun lebih dini. Pukul 6 pagi, ketika matahari masih malu untuk menunjukkan eksistensinya. Aku sudah bersiap-siap di atas sepeda gunung dengan setelan seperti biasa, switer tebal dengan celana sport kukenakan, gak lupa rambut hitamku yang bergelombang kukuncir agar udara sejuk bisa lalu-lalang berhembus di kepalaku.
Hari ini aku akan pergi ke pasar buah yang jaraknya gak jauh dari rumah, masih di daerah puncak. Pasar itu buka dini hari sekali. Aku berencana untuk menemui Raka, dia adalah temanku yang biasa bekerja di pasar itu berjualan buah hasil kebun kami. Niatku untuk bertemu dengannya adalah untuk bertukar pikiran. Dia anak desa, tapi punya pikiran terbuka.
Perjalanan pun aku lalui dengan menggowes sepeda gunung putih milikku dengan penerangan senter pada bagian depan sepeda untuk mempermudahku menuntun arah. Aku pergi dari rumah gak pamit dengan papa, soalnya dia malah lebih dulu pergi ke kebun sebelum aku bangun.
Setiap kayuhan sepeda, aku nikmati alam yang indah nan mempesona dengan seksama. Turunan gunung aku lalui dengan hati-hati. Embun pagi masih membasahi sejuknya negeri. Nafasku berembun. Aku selalu mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan padaku. Walau hari itu, saat aku terpuruk, Aku sempat melupakan kehadiran-Nya.
Sampailah aku di pasar buah yang posisinya sedikit lebih rendah dari rumahku yang berada di puncak. Terlihat para penjual buah yang sedang sibuk menyusun buah-buahannya pada stan-stan mereka masing-masing. Terlihat juga sebuah gedung berwarna hijau besar, di situ adalah pasar buah modern. Berdampingan dengan pasar buah tradisional.
"Woy, Sa!" tegur seseorang dari kejauhan yang melambaikan tangannya padaku. Pandanganku yang kabur walaupun sudah menggunakan kacamata membuatku harus mengayuh sepeda ke stan miliknya.
"Eh, Raka. Kebetulan banget aku lagi nyari elo." Ternyata orang itu Raka. Hari itu ia mengenakan kaos putih polos dengan celana jeans yang ia potong hingga lutut, juga sendal Swallow hitam membuat OOTD-nya sederhana.
"Kamu mulai sombong, Sa. Semenjak lulus sekolah kamu gak pernah kelihatan lagi. Biasanya, kan pulang sekolah selalu mampir," omel Raka yang memang sudah lama gak ketemu denganku. Tutur katanya halus. Tutur kata anak desa.
"Bukan ... bukan gitu. Gue lagi ada masalah, Ka. Gue mau ngobrol sama elo, bisa?" pintaku padanya yang sedang sibuk merapikan barang dagangannya.
"Cerita aja, gak ada orang kok di sini."
"Serius, nih. Mau denger?"
"Iya, Aku bakal dengar kamu bicara."
Aku duduk di atas kursi plastik berwarna hijau milik Raka. Menghela napas dan mulai bicara. Semua permasalahanku yang terjadi belakangan ini aku tuangkan semua padanya. Dia menghentikan sejenak kerjanya. Ikut duduk menghadapku tanda menghargai pembicaraanku. Dia sopan.
"Hmm ... ini aku kasih kamu pendapat menurutku, ya." Raka mulai memberi tanggapan.
"Jadi, lebih baik kamu ikut aja apa yang menurutmu baik. Kalau gak mau kuliah karena masalah penglihatanmu, ya udah, jangan paksakan. Sama kayak aku, kok. Aku juga malah dari lulus SD udah gak mau lanjut sekolah lagi. Karena bukan minatku." Aku mengangguk menatap dirinya yang memiliki kulit sawo matang. Wajahnya mulai ditumbuhi kumis tipis. Dia manis.
"Hidup itu jangan terlalu realistis. Kamu harus sesekali punya mimpi, punya cita-cita. Aku tahu kamu mau ke Puncak Jaya Wijaya, kan? Ya udah pergi! Jangan sia-siakan sisa penglihatanmu. Aku tetap bakal bantu kamu, kok, Sa.
"Ngomong-ngomong, tetap semangat, ya! Aku tahu ini berat. Tapi bisa dilalui," tuturnya panjang lebar memberiku solusi juga motivasi.
Ternyata langkahku udah benar. Tinggal bagaimana caranya agar papa bisa memahami keinginanku ini. Aku sangat salut dengan Raka, dia pekerja keras. Dulu kami SD barengan, waktu ditanya cita-cita sama guru, dia jawab mau jadi penjual buah di pasar buah mengikuti jejak sang ayah. Kami tertawa mendengar cita-citanya. Tapi benar saja, dia mewujudkan cita-citanya itu. Walau sederhana, tapi dia bisa. Lain halnya denganku, denganku yang gak pernah punya cita-cita. Waktu sekolah saat ditanya tentangnya, aku selalu jawab "Belum tahu, buk, pak." Bahkan sampai sekarang. Malah parahnya lagi, sekarang ketika ditanya tentang cita-cita, aku pasti jawab "Gak punya." Lumayan ada peningkatan, peningkatan akan kemunduran.
Walau pembicaraan telah usai, aku masih nongkrong di stan milik Raka. Aku masih stay di atas kursi plastik hijau miliknya. Sambil bersandar, aku iseng membuka ponsel pintarku. Sudah lama gak bermain gawai walau sering kubawa ke mana-mana. Aku kurang suka bermain di dunia maya yang gak nyata. Sedangkan Raka sedang melayani para pembeli yang datang. Pagi itu di pasar buah sekitar pukul setengah delapan sudah sangat ramai. Masyarakat sekitar maupun turis luar wilayah sering mampir ke pasar itu karena letaknya berada dekat dengan puncak.
Setelah bercengkrama dan melihat-lihat keadaan pasar buah yang sudah lama gak aku kunjungi, kini saatnya aku pulang ke rumah. Aku berpamitan dengan Raka yang masih sibuk melayani pembeli. Aku kembali mengayuh sepeda dengan membawa 2 buah naga yang diberikan oleh Raka untukku gratis. Dia tahu aku suka buah tropis.
Sepulangnya aku dari pasar buah, siang itu aku ingin langsung saja membuat jus buah naga pemberian Raka. Papa belum pulang dari kebun, biasanya dia pulang saat senja. Aku sendirian di rumah. Hari itu terik, panasnya sampai ke tulang. Biasanya di siang bolong begini aku ke kebun buah papa, tapi kali ini mungkin enggak.
Kubawa segelas jus buah naga yang tadi kubuat untuk kembali mendekam dalam kamar demi menghindari panasnya matahari. Aku mendekati kamar, membuka pintunya, dan ...
"EH!!! Lo ngapain nongkrong di situ!? Ngagetin aja." Aku terkejut melihat orang itu lagi di atas kusen jendelaku yang terbuka. Kali ini gak terlalu terkejut melihat Agra yang lagi-lagi nemplok seenak jidat di kusen jendela kamarku yang sengaja kubuka karena masih siang, dan tubuhnya terpampang jelas kelihatan. Gak kayak kemarin sore yang hanya siluetnya aja kelihatan.
"Lo ngapain lagi, sih!?" tanyaku sedikit emosi sama kelakuannya yang gak bisa ketebak. Tubuhnya yang dibalut baju model zip berwarna abu-abu bersandar di kokohnya kusen jendelaku yang lebar. Pandangannya menatap sisi kusen satunya seolah mengabaikan perkataanku. Kedua tangannya ia lipat di atas dada. Sok cool.
"Gue mau ngelanjutin ngobrol sama elo," jawabnya datar. Pandangannya menghadapku yang duduk tegak di atas kursi komputer ungu sambil memegang gelas berisi jus buah naga.
"Kalem aja. Kita ngobrol santai."
"Ya udah, ngomong aja, Gra."
"Lo duduk tegak di kursi itu, itu maknanya elo tegang, padahal ada sandaran di kursi itu. Tenangin diri dulu," pintanya untuk aku menenangkan diri. Entah ramalan dari mana dia bisa tahu perasaanku. Dia suka berteori dan menebak-nebak. Aku pun bersandar tenang menghadapnya. Berasa diinterogasi.
"Oke oke. Aku ulangi pertanyaan semalam. Lo punya cita-cita," tanyanya lagi mengulang pertanyaan semalam. Interogasi dimulai.
"Enggak ada, Gra."
"Kenapa?"
"Gue gak suka banyak berkhayal. Gue realistis orangnya."
"Coba definisikan arti realistis menurut lo."
"Realistis itu orang yang gak banyak berkhayal," tuturku sok pintar di hadapan orang jenius. Ketika Agra menanyakan arti realistis padaku, sejujurnya aku gak ngerti dengan pasti soal itu. Jadi aku jawab sebisa aja, deh.
"Wakakakakak." Dia malah tertawa mendengar penjelasanku. Aku cengengesan melihat muka cool namun lugunya yang tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak begitu. Baru kali ini setelah bertahun-tahun berteman dengannya aku mengetahui kalau dia punya gigi gingsul di bagian kiri sebelah taring. Lucu juga ni orang.
"Nih, ya, gue jelasin yang benar. Realistis itu orang yang bermimpi semampunya. Gak terlalu tinggi, tapi tetap punya mimpi, dan merealisasikannya.Tapi kalau lo beda lagi, gak punya mimpi sama sekali. Itu namanya pesimistis, bukan realistis," tuturnya menjelaskan arti sebenarnya dari realistis.
"Udah, deh. Lo juga ngapain sok care sama gue? Jangan sok pintar, pake ngerendahin aku segala!" ucapku dengan nada tinggi karena kesombongannya. Dia pintar, tapi sombong. Seolah dirinya yang paling jenius di muka bumi ini. Dia juga selalu mencampuri urusanku.
Senyuman kecil tersirat di wajahnya, kemudian ia berkata, "Emang gue care sama elo, Sa." Aku terkejut mendengar perkataannya. Dia menatapku tajam. Aku menatapnya bingung. Kemudian dia melanjutkan perkataan. "Sejujurnya waktu gue dengar kabar soal penyakit yang lo rasain sekarang, gue khawatir. Beberapa kali gue cari tahu soal glaukoma, nyari tahu tentang bagaimana penyembuhannya. Dan hasilnya, zonk. Glaukoma gak bisa disembuhkan."
"Terus?" pintaku padanya untuk melanjutkan pembicaraan.
"Ditambah lagi, lo yang berkali-kali bilang gak punya cita-cita, gak tahu mau ke mana, itu makin buat gue khawatir. Gue gak mau elo putus asa. Lo boleh bersikap realistis, tapi please, lo harus juga bersikap imajinatif. Punya mimpi, kemudian wujudkan. Bukan hanya harapan aja. Karena harapan adalah keinginan yang lo berikan pada orang lain. Memang siapa yang mau mewujudkan harapan lo? Jangan terlalu berharap.
"Sekarang gue tanya, apa harapan lo yang ingin diwujudkan?" tuturnya panjang dan kemudian bertanya padaku.
Kali ini wajahnya tampak serius, tegas menatapku. Cowok yang kukenal soft boy ternyata punya sisi tegasnya juga. Aku menundukkan pandanganku sambil melamuni jus buah naga dalam genggaman. Mencoba menelaah perkataan Agra, juga mempersiapkan jawaban yang ia tanyakan.
"Ha-harapanku bukan soal masa depan, Gra. Harapanku mudah," gumamku pelan dan gugup. Mulai jinak.
"Jelaskan," pintanya.
"Pertama, gue mau diving di Kepulauan Raja Ampat, kedua, gue kepingin mendaki Puncak Jaya Wijaya di Papua, ketiga gue mau lihat Planet Venus dengan mata telanjang, soalnya entah kenapa Venus itu keren, Bintang Kejora. Itu aja, sih." Aku menjelaskan harapan-harapanku yang ingin kucapai.
"Hah!? Venus?" tanyanya padaku sedikit terkejut.
"Iya, kenapa?"
"Eh, enggak, kok. Ternyata lo anak alam banget, ya. Kalau Cuma itu mudah, ajak teman-teman lo buat traveling ke tempat-tempat yang lo sebutin tadi. Gue juga ikut. Gini-gini, gimana kalau Minggu depan kita berangkat ke Papua, gimana?" pintanya padaku untuk segera bergegas ke tempat tujuan.
"Tapi ... gue ribut sama papa semalam karena gue gak mau kuliah. Udah gue bujuk tapi papa gak mau menggubris," keluhku lagi sambil menceritakan kejadian semalam.
"Hmm ... itu gampang, pokoknya nanti kalau papa lo pulang ceritain aja soal rencana traveling ini. Pasti dia jawab, kok." Agra kembali meyakinkan aku.
"Ya udah. Lo pulang aja dulu mending. Soalnya bentar lagi sore, papa biasa pulang sore. Nanti kita dikira ngapain lagi."
Agra pun bergegas keluar dari kusen jendelaku. Dia melompat, mungkin berkhayal jadi atlit parkour. Gak tahu, tapi aneh, belakangan ini dia kok segitu pedulinya ya sama aku? Dia paham banget perasaanku. Sama seperti Raka. Tapi yang membedakan yaitu sifat. Kalau Raka pekerja keras, kalau Agra pemikir keras. Keduanya lucu juga.
Hal yang gak aku beritahu sama Agra adalah soal kembaranku. Aku belum mau menceritakan itu padanya. Rasanya terlalu pribadi untuk kuceritakan pada orang yang aku juga gak tahu banyak tentangnya. Walaupun dia juga tinggal di puncak, tapi aku gak pernah tahu rumahnya. Gak ada juga kepikiran buat mengintili dia ketika pulang. Memangnya aku mata-mata apa.
Senja pun akhirnya tiba. Udara sejuk mulai menyisiri dedaunan yang ada di pekarangan rumahku. Pohon beringin belakang rumah tampak bergoyang seirama hembusan angin. Aku terus menatapnya dari kusen jendela. Jiwaku terasa tenang. Suara angklung terdengar dari pintu masuk rumahku yang dipajang menggantung, angin yang berhembus mesra membuatnya bersuara merdu seolah orkestra alam.
Diriku yang masih tetap terfokus pada pohon beringin belakang rumah, mulai terbayang sosok keluarga kecil yang kumiliki namun gak bisa bersama. Aku mulai berkhayal, seandainya mama dan kembaranku tinggal di sini, pasti menyenangkan. Aku gak tahu gimana rasanya kasih sayang mama. Kata orang, mama itu segalanya. Bahkan banyak orang membuat kiasan tentang kasih sayangnya. Bidadari tak bersayap, perempuan paling mulia, hingga kasihnya yang sepanjang masa. Apakah itu terlalu berlebihan? Entahlah, aku gak pernah tahu.
"Ey, melamun aja kamu." Tiba-tiba papa tampak berkacak pinggang di depan pintu kamarku. Dia sudah pulang sambil memegang aluminium foil berisi ubi bakar.
"Eh ... Papa," jawabku sedikit terkejut. Keheningan pecah.
Papa mendekatiku yang berada di kusen jendela, lalu memberikan ubi bakar yang ia genggam padaku, aku menerimanya. Kemudian tangan kanannya memegang kepalaku sambil mengelus-elus lembut. Dia tersenyum tulus padaku. Aku tersenyum bingung padanya.
"Jadi kamu mau traveling, ya?" tanya papa berdiri di hadapanku yang sedang duduk di kerangka jendela itu. Tangannya masih menimpa kepalaku.
"Loh, kok Papa tahu? Padahal kan belum Osa kasih tahu?" tanyaku kembali bingung dengan papa yang sudah mengetahui rencanaku itu.
"Papa dikasih tahu temanmu."
"Temanku yang mana?"
"Itu, yang laki-laki pendiam itu. Yang suka pakai baju switer, kadang juga pakai baju zip. Papa gak tahu namanya."
"Oh, Agra. Memangnya kapan dia ketemu papa?"
"Tadi siang, waktu papa di kebun sayur, dia datang dan cerita semuanya ke papa. Dia juga yang membujuk papa supaya kamu dibolehin gak lanjut kuliah karena mau traveling."
"Hmm ...," Aku menghela napas dan lanjut bicara, "Jadi ... Papa udah izinkan Osa buat gak kuliah, nih?"
Papa mengubah posisi berdirinya menjadi berlutut menghadapku. Kini tingginya sama denganku yang masih nangkring di kusen jendela. Dia menatapku dalam, memegang pundak kirku, dan berkata, "Dari anak itu juga papa seolah diajarkan untuk gak terlalu bersikap realistis pada kehidupan. Papa tahu, pendidikan itu adalah kewajiban formal setiap pejuang mimpi. Tapi papa sadar, mimpi gak mungkin jadi nyata kalau kamu aja gak punya passion dalam bidang pendidikan formal," tuturnya jelas.
"Jadi Osa boleh traveling ke Papua?" tanyaku sedikit gembira. Sekilas senyum mulai merekah dari wajah ovalku.
"Pastinya! Tapi kamu harus pergi barengan sama teman-teman yang lain, ajak mereka. Soalnya papa juga sedikit khawatir tentang penglihatanmu. Tapi papa yakin sama temanmu Agra. Dia orang baik, pintar juga," jawabnya jelas menyetujui keinginanku itu.
"Ma-makasih, ya, Pa. Osa janji bakal jaga diri di sana." Kegembiraan tergambar di wajahku. Akhirnya harapanku yang akan menjadi cita-cita bakal terwujud. Dari dulu papa selalu larang aku buat traveling ke alam terbuka. Dia terlalu protective samaku yang punya masalah penglihatan ini, tapi sekarang jadi berubah.
Papa juga tersenyum. Ia memelukku erat dan berulang kali menciumi kepalaku. Hari itu penuh makna, Agra yang bukan siapa-siapa malah jadi pemeran utama yang menyatukan kami berdua. Gra, lo itu kayak pemberi solusi. Gue harap, lo selalu temenin gue sampai kapanpun, ya. Walaupun lo itu orangnya random.
\~\~\~\~\~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
San!
Goo ke Jepang!!!
2020-08-21
1
Ayunina Sharlyn
oke oke
2020-07-16
0