"Jika kau merasa nelangsa akan kondisimu, mungkin kau egois. Karena banyak orang yang kecewa akan perilakumu yang kau sendiri tidak mengetahuinya"
Rasanya aneh, hanya orang model sepertiku saja yang gak punya ambisi untuk melakukan apa pun, gak punya tujuan hidup, bahkan gak mau berurusan sama yang namanya cinta. Hidupku damai-damai saja. Alam, adalah panorama yang gak akan berkhianat menemaniku, jadi gak mungkin kan aku berselisih paham dengannya? Tapi jika aku gak bisa melihat alam lagi, baru itu masalahnya.
Aku menengadah ke langit luas, hari mulai senja. Bagaimana bisa aku keluar dari kebun buah milik Papa dan kembali ke gubuk tempat kami berkumpul dengan kondisi rabun jauhku yang semakin parah ini? Bahkan kacamata miopi hitam yang dari siang tadi kugunakan seolah gak berfungsi lagi.
Langitnya memerah sepantasnya waktu senja. Awan kali ini sangat gelap, ada kilatan cahaya di dalamnya. Aku rasa gumpalan awan gelap itu adalah awan kumulonimbus, aku tahu itu sewaktu di SMA dulu, di jurusan IPS. Sepertinya hujan akan menyerbuku.
Tik-tik-tik ...
Pandangan kualihkan menghadap tangan kananku yang seperti merasa ada tetesan air yang jatuh. Buah-buahan yang kupetik dan kumasukkan ke dalam keranjang rotan tampak basah oleh rintikkan itu. Aku terkepung.
Derap langkahku percepat, menyusuri jejeran pohon apel yang rindang dan tersusun rapi laksana tembok tegak perkasa. Rambutku yang hanya sebahu ikut bergoyang sesuai ritme hentakkan kaki. Jantungku berdebar kencang seperti ingin meletus, napas gak beraturan, pikir tak karuan.
"Pa ... Papa ...!" jeritku dengan irama gemetar mencari di mana Papa. Hembusan angin kencang menerpa gelombang suaraku yang gak seberapa.
Semakin kelimpungan, aku tancapkan tenaga otot kaki sekencang-kencangnya menebas jalanan berumput lebat kebun itu. Aku berlari tak tentu arah. Buah-buahan seperti: apel, stroberi, dan lainnya tampak berjatuhan dari keranjang anyaman rotan yang kutenteng.
Hujan semakin deras, bulir-bulir air yang jatuh ke tanah tampaknya semakin banyak. Wajah ovalku tampak dipenuhi olehnya sehingga membuat napasku tersengal. Lariku gak kendor sama sekali, malah semakin kencang. Hingga seonggok akar-atau apalah itu yang menyembul dari tanah menerjang pergelangan kakiku.
Buk!!!
Aku terjatuh menggelepar ke tanah. Daguku mendarat lebih dulu ke permukaan becek lahan kebun itu. Keranjang yang kusandang di lengan terjatuh dan membuyarkan tumpukkan buah ke tanah. Berserak.
Syok, lemas, dan pingsan karenanya.
\~\~\~\~\~
Sial! Aku gak bisa melihat apa pun sekarang. Di mana aku? Apa yang terjadi setelah insiden itu?
Kepalaku masih terasa oyong dan meremang gelap. Kupegang titik perih lainnya dengan tanganku yang meraba mengarah dagu. Apa ini? Mungkin ini perban dan kapas yang menempel di dagu lancipku.
Aku mengerang kesakitan, dari batang hidungku tampak kerutan. Dengan susah-payah aku mencoba membuka mata, masih gak nampak apa pun, mungkin karena aku gak memakai kacamata. Rabun. Tapi aku melihat bayangan seseorang di kiriku. Apakah itu Papa?
"Osa, kamu sudah siuman?" Benar saja, orang itu adalah Papa yang bersuara berat.
Papa mengenakan kacamata ke pandanganku, tampaklah rambut cepak dan kumis tipisnya yang basah karena air hujan. Alisnya mengernyit khawatir memandangku. Aku manggut-manggut seolah men-iya-kan pertanyaannya. Kemudian kurubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar bantal di kepala kasur. Ini di kamarku tampaknya.
"Kamu sekarang di kamar. Tadi papa nemuin kamu pingsan di kebun apel. Lalu papa gendong kamu ke gubuk. Papa telepon pegawai buat membawakan mobil untuk kita pulang. Soalnya hujan lebat tadi." Papa menjelaskan kronologi kejadian padaku sambil mengaduk teh hangat yang di dalamnya berisi perasan jeruk lemon.
Aku menyeruput pelan teh tersebut, menenangkan pikiran, dan mulai berkata, "A-aneh banget tadi, Pa. Padahal biasanya walau di tempat gelap, pandangan Osa gak separah tadi. Tadi itu udah rabun banget, gak kelihatan apa-apa."
"Hmm ... papa juga gak tahu soal begituan. Kalau cara nanam bonsai, papa tahu, hahaha .... Besok lah, kita ke rumah sakit kota," pungkasnya menjawab omonganku sambil bergurau. Ia duduk di kursi komputer berwarna ungu dengan sandarkan busa lembut di dalamnya.
Aku menghela napas, memang beberapa hari ini penglihatanku terasa semakin parah, apalagi saat malam hari, mau dari dekat atau dari jauh, pandanganku tetap saja rabun.
Besok kami akan pergi ke Rumah Sakit Kota untuk memeriksakan kondisi mataku. Harapanku hanya satu, jangan halangi aku untuk tidak melihat indahnya alam bebas.
\~\~\~\~\~
Jarum jam telah selesai berputar, kini saatnya ia mengulang tugasnya kembali sampai waktu terhenti. Hari sudah berganti, waktu menunjukkan pukul 05.30-mentari masih malu-malu menunjukkan eksistensinya di ufuk timur bumi kala itu.
Semalam, rasanya menggantung sekali aku tidur. Menahan perih di dagu, juga mendebarkan jantung karena besok adalah hari pemeriksaan mata. Nampaknya itu hal yang sepele-yang bahkan anak berusia 18 tahun sepertiku tidak mencemaskannya. Tapi rasanya tidak denganku, setiap hal-hal yang menurutku besar dan akan kulalui rasanya menakutkan, padahal belum tentu hasilnya mengecewakan. Suka berburuk sangka.
Pagi ini, aku putuskan untuk tidak absen melaksanakan rutinitasku setiap pagi sebelum ke rumah sakit. Menggowes sepeda.
Dengan masih mengenakan piama, tampilanku pagi ini masih sangat buluk. Muka bantal yang penuh luka hanya kubasuh dengan air. Tidak mandi. Atau lebih tepatnya belum, karena memang biasanya aku mandi setelah olahraga pagi.
Sepeda gunung ber-body putih dengan lis hitam kukeluarkan dari garasi rumah. Di moncong sepeda tertera lampu yang akan menerangi jalanan gelap. Aku menungganginya, mengayuh pedalnya, dan kemudian meluncur-menyusuri dunia.
Kayuhan pedal sepeda sesekali kuperlambat karena lelah, juga ingin melihat keindahan alam sekitar. Banyak pepohonan yang masih rindang nan asri yang tertancap rapi di permukaan tanah. Kelokkan, tanjakkan, turunan aku lalui perlahan. Aku tinggal di daerah puncak, jadi jangan heran dengan kondisi alam dan jalanan di daerah sini.
Dari atas sini tampak gundukkan bukit yang mencakar-cakar langit karena ketinggiannya. Embun pagi pun masih bisa dirasa dalam napas. Langit hari ini tampak cerah, gak ada awan hari ini.
"Hmm ...."
Rasanya sia-sia aku melewati kenikmatan yang hakiki ini dengan melakukan hal yang tidak berguna di dalam rumah. Aku sangat menghargai karya Tuhan, gak pernah sama sekali aku menyia-nyiakannya apalagi menghindarinya. Kecuali waktu senja, malam hari, atau apa pun yang berkaitan dengan kegelapan.
Setelah kurang lebih setengah jam aku menggowes sepeda, kuputuskan untuk kembali ke rumah secepatnya, karena kami akan segera menuju rumah sakit pagi ini atas janji dokter yang sudah berkompromi dengan Papa semalam.
Waktu masih menunjukkan pukul 07.00, masih ada 4 jam lagi untuk kami ke pusat kota untuk pemeriksaan mata. Kuputuskan untuk berehat sejenak di tempat tongkrongan biasa yang aku datangi ketika sedang bosan, meratap, juga waktu kosong. Tempat itu adalah kosen jendela kamarku.
Aku duduk di kosen jendela kamarku yang besarnya bagai goa yang menganga. Kakiku menggantung, mengayunkannya perlahan dengan santai. Tatapanku terus terpaku ke pohon beringin rindang-yang berhadapan langsung dengan kamarku-di halaman belakang rumah.
Pohon beringin yang teduh itu masih aja berdiri di sana. Kata Papa sih, pohon beringin melambangkan persatuan. Tapi nyatanya, keluargaku hancur gak karuan. Haha ... aku benci kiasan. Kuterus menatap rindangnya pohon itu berdiri kokoh sambil sesekali meratap sepi, itulah kegiatanku sebagai anak yang tinggal seorang diri bersama Papa.
Papaku berkata bahwa pohon beringin belakang rumah itu adalah saksi bisu terbentuk hingga hancurnya rumah tangga mereka-yang membuat aku dan kembaranku terpisah karena hak asuh. Bahkan aku gak tahu siapa nama kembaranku itu, bagaimana kondisinya, dan apa yang sering ia lakukan bersama Mama yang jauh di sana. Entah di mana.
Kadang aku nongkrong di kosen jendela ini juga karena pertanyaan Papa yang sampai sekarang belum bisa kuutarakan. Nanti mau lanjut kuliah ke mana? Padahal aku berharap pertanyaan Papa bukan begitu, tapi, Mau lanjut kuliah atau tidak? Ya! Itu karena aku gak punya ambisi untuk melanjutkan pendidikan hingga kuliah. Bahkan cita-cita pun aku gak punya, gak niat, gak tertarik juga. Sudah jelas aku gak mungkin bisa menjadi seperti Papa, seorang S2 di bidang pertanian.
Eh, ya ampun, aku lupa. Ini udah pukul 08.00, waktunya makan pagi. Aku lupa bantu Papa menyiapkan makanannya. Aku beranjak dari kusen jendela, melangkah keluar dari kamarku yang penuh warna. Gak tahu kenapa, aku sangat suka sama warna, kecuali warna gelap. Mataku sakit karenanya.
Sampailah aku di meja makan bulat dari kayu, warnanya coklat mengkilat. Sesekali kugoreskan kuku jari tanganku di atas meja itu, gak tahu kenapa, stetisfying aja. Sesekali kepalaku memperhatikan Papa yang sedang menyiapkan makanan di dapur yang gak jauh dari meja makan tempat aku duduk. Kulitnya sawo matang, dulunya sih, putih. Sekarang aja udah mulai gosong karena kebakar sinar matahari. Soalnya Papa selalu turun tangan langsung buat mengurus kebunnya bersama pegawai. Dia petani handal, pecinta alam sama kayak aku. Saking cintanya sama alam, sampai dekorasi rumah pun bertema nature.
Papa mendekatiku yang berada di meja makan. Kedua tangannya memegang tatakan kayu yang di atasnya ada sepiring mangkuk dan gelas yang juga berbahan dasar kayu. "Jus wortel campur susu dan sup krim jagung punya Osa. Habisin, ya," Papa mendekat ke meja makan sambil menyuguhkan sarapan di hadapanku.
"Eh, Pa. Sorry, ya. Osa gak bantuin Papa buat nyiapin makan pagi." Aku cengengesan aja sambil minta maaf karena gak membantu Papa buat sarapan. Kebanyakkan meelamun.
"Bukan masalah, nak. Kamu makan aja pokoknya. Papa udah makan ubi bakar sisa panen bulan lalu tadi, waktu kamu bersepeda," jawabnya sambil tersenyum memperlihatkan kerutan di ujung kedua matanya. Dia sudah kepala empat.
"HAH! Papa makan ubi bakar hasil kebun? Kok gak sisain buat Osa!?" gerutuku yang baru meneguk segelas jus wortel yang ampasnya menempel di bibir atas. "Papa tahu, kan, Osa suka banget ubi bakar."
Papa duduk di kursi meja makan dan menatapku sambil menghela napas. "Ih, kamu udah besar masih aja kayak anak-anak gitu. Jangan merengek, udah tamat sekolah, kan?" Papa menasihatiku yang kadang masih bertingkah kekanak-kanakan. Lagi-lagi aku cengengesan. Iya, sih. Aku masih suka labil gitu.
Pagi itu setelah sarapan, aku dan Papa langsung berangkat ke kota untuk pemeriksaan mata. Karena perjalanan dari puncak ke kota lumayan jauh. Papa sedang memanaskan mesin mobil di garasi. Sedangkan aku sibuk mencari setelan hari ini. Sweater merah tua, celana denim abu-abu, juga sepatu kets sewarna dengan sweater aku gunakan untuk pergi. Gak lupa kuselempangkan tas kulit di pundak. Kami pun berangkat mengendarai mobil Alphard putih milik Papa. Brrm ....
\~\~\~\~\~
Sampailah kami di Rumah Sakit Mata Pusat Kota. Aku dan Papa duduk rapi di jejeran bangku besi tempat para pasien menunggu namanya dipanggi. Suasana di tempat ini sudah lumayan ramai, padahal hari masih pagi. Ya, namanya juga di kota, pasti setiap sudut ruangan diwarnai oleh hiruk-pikuk keramaian.
"Oryza Sativa, pasien nomor 3, silahkan masuk ke ruangan," panggil salah seorang perawat di rumah sakit itu. Kami pun bergegas memasuki ruang pemeriksaan.
Aku langsung mendapatkan banyak tes penglihatan. Entah tes apa aja, yang jelas banyak. Dokter juga banyak nanya soal pengelihatanku. Udah kayak interogasi polisi. Satu jam kami menunggu. Mataku yang sudah mulai puyeng melihat putihnya ruangan rumah sakit akhirnya teralihkan ketika dokter datang menghampiri.
"Gimana hasilnya, dok?" tanya Papa pada dokter yang berada di hadapan kami. Tampak wajah Papa yang cemas terlukis dalam ekspresi.
"Anak anda sepertinya menderita penyakit penglihatan glaukoma," tuturnya sambil memegang kertas yang gak jelas apa tulisannya.
Papa nampak shock mendengar hal itu. Beberapa kali pandangannya mengalih padaku yang duduk di samping kirinya. Aku yang gak tahu apa-apa akhirnya angkat bicara dan bertanya pada dokter. "Emang kenapa, sih? Glaukoma itu penyakit apa, dok? Kan bisa disembuhin?" tanyaku tanpa henti dengan ekspresi ingin tahu yang menggebu.
"Hmm ... glaukoma itu penyakit mata yang disebabkan oleh saraf yang menghubungkan mata ke otak rusak. Akibatnya, penglihatan perlahan berkurang hingga akhirnya buta permanen. Pandangan di tempat gelap juga terganggu. Hanya 75% sisa pandangan kamu tersisa. Untuk ruang gelap 20%. Belum ada cara penyembuhan untuk penyakit ini," jelas dokter menjawab pertanyaanku.
Mendengar hal itu aku pun terkejut. Kepalaku berkali-kali mengarah ke Papa yang sedang meratap. Mataku yang memandang mulai tampak berkaca. Pandanganku terganggu oleh genangan air dalam kelopak. Aku keluar dari ruangan dan langsung pergi memasuki mobil kami yang terparkir di depan rumah sakit. Aku menangis. Rupanya harapan hanyalah doa tanpa hasil.
Kacamata hitamku kucampakkan keras mengenai kaca depan mobil, untungnya tidak pecah. Berulang kali kukucek-kucek kedua mataku sambil terus menangis bercecer air dari dalamnya. Pikirku gak karuan, entah nasib apa yang melanda sehingga penyakit seperti ini menimpaku secara tiba-tiba.
Sejak saat itu aku terpuruk. Aku gak mau keluar rumah buat melihat indahnya alam puncak lagi. Mataku seolah gak rela melihat ragam warna dalam dunia. Hidupku monokrom.
\~\~\~\~\~
Seminggu setelah kejadian dramatis itu berlalu, aku mulai berubah. Mulai dari sifat, perilaku, bahkan keceriaanku hilang. Pohon beringin belakang rumah yang biasanya hampir setiap bangun tidur aku lamunin, kini gak pernah lagi kupandang setiap pagi. Seolah aku benci warna. Padahal, hatiku yang gak siap untuk gak melihat warna suatu hari nanti. Warna gelap yang kutakutkan bakalan jadi warna yang selalu mengisi hariku nantinya. Aku masih gak nyangka.
Pagi itu aku masih di dalam kamar. Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut putih tebal selaras dengan warna sprei kasur. Mataku masih bengkak. Kadang air mata mengalir dari kelopak sembari melamun masa depan nanti. Karena sudah pasti, kebutaan akan terjadi. Itu sebabnya aku gak suka sama ramalan masa depan. Bagiku takdir itu misterius, gak bisa ditebak, agar orang gak berburuk sangka pada takdir dan tinggi hati padanya.
Tok-tok-tok
Kudengar suara ketukkan pintu kamar yang sedikit meredam karena posisiku yang sedang dalam dekapan selimut. Kemudian suara seseorang menyertainya. "Nak, bangun. Udah siang, nih." Udah jelas itu Papa. Dia mengacaukan keheningan.
Dengan malas dan sedikit kesal, aku bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamarku yang permukaannya tertempel huruf balok kayu yang membentuk namaku di sana. Jalanku masih sempoyongan, lalu kubuka pintunya perlahan.
"SURPRISE! " Eh, bukan hanya Papa yang ada di balik pintu, ternyata mereka datang. Aku melihat siapa yang ada dihadapanku. Ternyata itu adalah Alma, Aisyah, dan Agra. Mereka adalah teman SMA-ku yang udah beberapa bulan gak ketemu semenjak lulus. Alma dan Aisyah anak kota, rumahnya jauh dari puncak. Sedangkan Agra, dia anak puncak, sama denganku. Namun dia anak rumahan banget, jadi jarang ketemu.
"Loh? Kok kalian ada di sini?" tanyaku ambigu dengan muka bantal serta pajamas ungu yang kusut. Rambutku yang hanya sebahu tampak berantakan bagai sarang tawon.
"Nah, heran kan lo. Kita gituloh," seru Alma mencairkan suasana pagi yang sendu. Menurutku dari dulu dia memang heboh orangnya. Sampai sekarang tetap aja sama. Dengan giginya yang dipagar serta senyumnya hingga kelihatan gusi, pasti semua orang bakal tahu sifat ini orang. Rambutnya masih tergurai ikal sepinggul serta kulitnya yang putih buat aku kadang iri sama orang model begini.
"Osa, sayangku. Ini kami bawain kue vegetarian sama ada juga pizza daging asap kesukaan elo. Habisnya kami bingung mau beliin lo apa. Lo kan pemakan segala. Hihihi," sambung Aisyah sembari menyodorkan banyak makanan ke aku. Kalau tadi aku iri sama kecantikan Alma, sekarang aku iri sama Aisyah yang dari dulu sifatnya baik banget. Dia humble, setia kawan. Kerudung hitamnya yang menutupi badan sudah jelas menggambarkannya sebagai wanita muslimah yang baik. Ditambah bros putihnya yang mengkilap menancap anggun di dada kirinya semakin membuat Aisyah lebih rupawan.
"Gue gak bawa banyak. Nih, kompas, biar lo ngerti jalan pulang," sergah Agra datar saja sambil memberikan sebuah kompas berwarna perak padaku. Agra memang agak-agak orangnya. Dia pemegang win strike tiga kali berturut-turut di sekolah. Tapi dia anak IPA dulunya. Gak sekelas. Agra memang tampilanya nolep sekali. Terbukti dengan model rambut Bowl Cut dengan OED (Outfit Every Day) sederhananya yang hampir setiap hari digunakan. Sweater. Matanya tajam, kalau udah ngelirik pasti aku salah tingkah. Dia ngeselin. Kadang juga sok logis orangnya.
Mereka pun aku persilahkan masuk ke dalam kamar. Ya, namanya anak cewe pasti nongkrongnya di kamar. Eh, si Agra malah ngikut.
Aku ambil beberapa buah piring dan berbagai jus buah yang kubawa dari dapur. Aisyah dan Alma ikut bantu bawa gelas. Sedangkan Agra malah gantiin posisiku duduk di kosen jendela kamar sambil meratapi pohon beringin belakang rumah.
"Gue udah denger dari bokap lo soal kondisi mata lo. Kalem aja sih, Sa. Jangan dibawa ke pikiran. Setahu gue, lo kan ceria orangnya. Kita gila bareng juga. Please, jangan depresi dulu." Alma membuka pembicaraan sambil menuangkan jus apel dalam gelasnya.
Aisyah yang sedang memotong kue vegetarian yang berwarna hijau juga ikut menyemangatiku dengan berkata, "Bener banget itu, Sa. Lo gak boleh berpikir gitu. Iman lo yang harusnya dikuatin buat menghadapi ini semua. Ini tantangan, bukan siksaan." Kata-kata yang dilontarkan Aisyah ngena banget ke aku.
Aku yang mendengar motivasi dari mereka hanya termenung menatap kosong ke depan-- menatap ke arah mereka yang juga duduk di lantai kamar bersama. Mulai sadar. Tapi pikiranku kembali teralihkan dengan kata-kata dokter semalam. Suatu saat nanti, mataku hanya sekedar hiasan.
"Tapi ... suatu saat nanti gue gak bakal bisa lihat kalian lagi. Gue juga gak bisa ngelihat dunia lagi," gumamku pelan sembari mengaduk jus beri dalam gelas menggunakan telunjuk kanan.
"Melihat itu jangan Cuma dari mata. Manusia punya hati, punya perasaan, juga punya kepekaan. Gue yakin lo bisa survive di kondisi baru lo nantinya." Lagi-lagi Aisyah membuyarkan pikiran jelekku.
"Iya bener tuh kata Aisyah," sambung Alma menyetujui pembicaraan Aisyah.
Pembicaraan menyerempet ke mana-mana. Pembahasan mengenai penglihatanku perlahan teralihkan dengan hebohnya obrolan kami, emak-emak rempong yang membahas soal kakak kelas sewaktu sekolah yang jadi idaman saat itu. Kami bertiga tersenyum, tertawa, bahkan sama-sama gila. Sedangkan Agra memilih untuk keluar kamarku dan berteduh di bawah rimbunnya pohon beringin yang dikelilingi oleh rerumputan hijau. Entah ngapain dia, mungkin jadi Isaac Newton sang pencetus Teori Gravitasi.
"Eh, itu si Agra ngapain di pohon?" tanya Aisyah padaku sembari menunjuk ke arah Agra yang masih duduk bersandar pada batang pohon sambil menundukkan pandangannya.
"Chk, lo kayak gak tahu aja si Agra. Dia kan penyendiri. Emang orang jenius kalau mikir gitu. Kalau kita langsung terobos aja. Ya nggak?" timpal Alma sambil ikut memperhatikan Agra. Aku tertawa getir dengan candaan garing Alma. Tapi kurasa benar juga. Ngapain banyak berkhayal dan berpikir, lebih baik bekerja dan memandang realita.
Pagi itu lumayan cerah, bukan hanya cuaca saja, namun juga hati dan pikiranku seolah terbuka. Alma, Aisyah, dan Agra adalah teman-temanku yang selalu paham kondisiku satu sama lain. Kami beragam. Tapi kami sepemikiran dan sehati. Eh, kalau Agra gak tahu ya.
Hingga senja pun menggeser teriknya siang. Matahari mulai berada di ufuk barat langit. Untaian cahayanya mulai memerah. Langit mulai meredup. Alma dan Aisyah akan kembali ke rumah mereka masing-masing dengan diantar oleh supir Papa menuju pusat kota--kampung halaman mereka.
"Thanks, ya. Kapan-kapan main ke sini lagi aja. Gak keberatan, kok." Kami bertiga berpelukkan, seolah akan berpisah benua. Kemudian kami beranjak ke luar rumah, menunggu datangnya mobil yang akan mengantarkan mereka pulang.
Mobil pun tiba, lag-lagi kami berpelukkan. Alma dan Aisyah mengelus punggungku seolah menguatkan.
"Stay strong, ya, Sa. Lo harus kuat. Kita bakal temenin lo kapan aja. Nanti kita gila bareng lagi, ya." Alma meneguhkan kembali sambil memegang tangan kananku. Gigi kawatnya terlihat jelas ketika ia tersenyum.
"Semangat! Jangan tinggalin ibadah," sambung Aisyah yang memegang tangan kiriku sembari menyemangati. Alis tebalnya mengernyit ke atas. Wajahnya menenangkan.
Mereka pun masuk ke dalam mobil dan berangkat pulang. Kupandangi mereka yang perlahan menjauh dari rumah hingga lenyap dari pandangan. Aku yang masih dengan pajamas ungu tampak semangat lagi, walaupun gak mandi pagi, tapi auraku segar kembali. Hari itu penuh makna.
Sore itu aku segera bergegas ke kamar untuk mengambil handuk, merapikan tempat tidur, dan menutup jendela. Di tengah perjalanan, aku baru teringat sesuatu. Agra, di mana dia? Kurasa dia sudah pulang lebih dulu sejak siang tadi. Anak itu memang aneh. Datang bisa kapan saja, pergi pun kapan saja dia mau. Gak pamit.
Sesampainya aku ke kamar, ketika ingin menutup jendela, alangkah terkejutnya aku melihat sesosok siluet yang dengan santainya nongkrong di kosen jendelaku. "KYYAA!!" Aku pun menjerit sekuatnya. Handuk putih yang aku sandang di bahu kanan kulibaskan ke arah orang tersebut.
"Woy, apa-apaan ini!? Gak jelas banget lo!." Rupanya itu Agra. Dia memberontak--mencoba menghindari sabetanku. Udah dibilang, dia itu gak bisa ketebak. Suka-sukanya aja nemplok sana-sini di rumah orang.
"Lah, elo kenapa masih ada di sini? Geser buruan! Ngagetin aja. Emang aneh orang kayak elo, ya. Seenaknya aja berkeliaran di rumah orang," tegasku kesal melihat tingkah laku anehnya. Urat dileherku hilang timbul saat mengomel lantam.
"Banyak nanya. Lo mau ngapain rupanya?" tanyanya balik padaku.
"Mandi, lah. Udah sana lo cabut dari rumah gue!."
"Entar dulu, gue mau ngomong sama lo. Dari pagi kalian keenakan ngerumpi, sampai gue gak bisa ngomong ke elo." Agra menahanku yang akan bergegas mandi. Dia tetap terpaku di kosen jendela, badannya yang diisi tebalnya sweater menghadapku.
"Ngomong apa? Buruan!" bentakku kesal.
"Gini-gini, bentar lagi elu kan gak bisa melihat, ya. Buta lah sebutannya. Jadi mending lo-" "Ih ... lu kok jahat banget, sih, Gra?" Belum kelar bicara, aku menyela Agra yang kembali mengingatkanku perihal penyakitku. Suaraku gemetar mendengar omongan lancang dari mulut Agra. Dia jenius, tapi gak bisa ngertiin perasaan orang.
"Chk ... bukan gitu maksudku. Makanya denger dulu aku ngomong, Sa. Mending di sisa penglihatan lo ini, lo pergunakan buat hal yang bermanfaat. Gue kasih saran lo buat ngejar mimpi, terutama yang bersangkutan sama penglihatan. Puas-puasin gitu," tegas Agra dengan ekspresi serius. Kakinya yang bening karena jarang keluar rumah tampak menggantung dari kerangka jendela.
Aku lagi-lagi terdiam, gak tahu lagi mau ngomong apa. Gak punya semangat buat ngelakuin apa yang disarankan Agra. Kemudian Agra melanjutkan pembicaraan, ia kembali bertanya, "Gini, deh. Lo punya cita-cita?"
"Gak punya, kalau harapan banyak," jawabku singkat sambil berdiri berhadapan dengan Agra yang masih santai di atas sana.
"Aduh ... Sa. Malang banget hidup lo. Kayak olm."
"Apaan lagi sih itu? Jangan berbelit-belit dong, Gra. Aku mau mandi nih."
"Gue gak bisa diburu-burui. Gue harus jelasin semuanya ke elo. Karena gue peduli sama lo. Sekarang, ikut gue ke pohon beringin belakang rumah lo." Perkataan yang buat aku terkejut adalah ketika untuk pertama kalinya dia bilang kalau dia peduli sama aku. Tapi tetap saja, aku bingung maksudnya apa.
Hari semakin gelap, azan baru saja berkumandang. Matahari tertelan bumi. Apa tujuannya buat mengajakku ke pohon beringin? Entahlah, aku ikut saja. Tanganku siap nampol kalau dia macam-macam.
Aku pun ikut dengannya menuju pohon beringin belakang rumah. Aku tahu, penglihatanku di malam hari hanya 20%, makanya jalanku agak sempoyongan. Tanganku meraba tiang-tiang lampu taman yang tertancap di sekitar pekarangan halaman belakang rumahku. Arahku berjalan hanya dituntun oleh tiang-tiang itu. Namun tanpa diduga, Agra menggenggam tanganku dan menuntunku ke arah pohon beringin. Lagi dan lagi, aku gak bicara sepatah kata pun, gak mungkin nolak, ditambah aku mulai panik dihantui malam gelap.
"Udah nyampe. Lo duduk di sini, gue nyalakan lampu." Agra melepas genggaman tanganku. Aku duduk di bawah rindangnya pohon beringin itu bersamanya. Kemudian Tik! Suara tombol lampu tidurku yang dipegang Agra menyala.
"Loh? Kok ada sama lo lampu tidur gue?" tanyaku kepadanya yang sedang memegang lampu tidurku yang berwarna merah dan berbentuk bunga mawar.
"Aku pinjam."
"Aiishh ... serah lu, deh. Nanti pulangin, ya. Lo mau ngomong apa rupanya? Buruan."
Agra mengubah posisi duduknya dari bersandar pada batang pohon kini ia duduk tegak menyila menghadapku sambil terus memegang lampu tidur.
"Ini olm ," kata Agra sambil menunjuk batang pohon beringin di samping kami yang terukir dan membentuk gambar binatang menyerupai belut. Dia sepertinya yang mengukir gambar itu. "Jadi olm itu amfibi yang seperti salamander. Olm itu gak punya penglihatan yang baik, tapi dia sangat peka terhadap suasana sekitarnya. Gue berharap, lo bisa mengambil pelajaran dari olm."
"Lah, gini doang lo sampai ngajak gue ke pohon beringin malam-malam?" Yang benar saja, dia sampai mengajakku ke pohon beringin itu hanya untuk memperlihatkan wujud olm yang dimaksud padaku. Ukiran yang dibuatnya pun tanpa seizinku atau Papa selaku tuan rumah. Tiba-tiba sudah tergambar saja di batang pohon itu.
"Gue cuma menguji kepekaan lo aja sama cahaya. Lumayan bagus, sih. Gue salut sama cewek pekaan kayak elu."
"Udah? Gue mau mandi, nih."
"Yap! Itu aja," tandas Agra menyudahi pembicaraan. Matanya dipejamkan, senyumnya melebar. "Sebenarnya masih ada yang mau gue tanya, tapi gue gak mau buru-buru. Lain waktu gue tanyain lagi. Nih, gue pulangin lampu lo. Masuk rumah dan mandi. Gue yakin umur lo panjang, soalnya olm bisa hidup satu abad." Pembicaraan selesai. Agra pergi. Aku pulang dengan bingung atas tingkah lakunya yang random.
Omong-omong, yok! Kenalan sama si pekaan Olm!
*Hallo ... namaku Olm atau Proteus! Aku adalah amfibi asli perairan Kart Dinarik. Aku gak punya penglihatan, tapi aku bisa merasa dengan mendeteksi medan listrik di sekitarku. Aku perasa hewannya. Pekaan gitu. Salam kenal dariku... : 3
Malam harinya setelah pembicaraan dengan Agra selesai, aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju kamar tidurku untuk segera berpakaian. Malam itu aku mengenakan baju model yang sama dengan semalam, pajamas hijau bermotif daun kukenakan untuk tidur. Sebelum tidur, aku keluar dari kamar untuk membantu papa menyiapkan makanan di dapur untuk makan malam kami berdua.
Sampailah aku di dapur rumah itu, terlihatlah pria yang menjadi papa sekaligus mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Kudekati ia untuk membantu meringankan pekerjaannya. Aku mengaduk sup krim jagung di dalam panci atas kompor. Sesekali kutaburi sedikit garam untuk mempergurih cita rasanya. Kami gak menggunakan penyedap atau MSG. Hampir semuanya serba organik.
Sedangkan papa sibuk memblender buah bit dan apel untuk dijadikan jus bloody mary. Tampak wajahnya yang lelah sehabis pulang dari kebun untuk menkoordinasi pegawainya yang bekerja di sana. Dia pria hebat.
Setelahnya seperti biasa, kami pun menyantap makan malam di atas meja makan kayu dengan peralatan makan juga serba kayu yang diperhalus. Kami bercengkrama, tertawa, dan kembali gembira. Aku mulai melupakan penyakitku. Hingga pada pembicaraan yang serius, wajahku kembali mendatar.
"Oh iya, kamu rencana mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa?" tanya papa padaku yang langsung berubah ekspresi mendengar pertanyaan dari papa.
"Hmm ... sebenarnya Osa gak mau kuliah, Pa," jawabku pelan karena takut papa gak suka dengan keputusanku.
Dan benar saja, sontak papa terkejut dan menaikkan nada bicaranya padaku. Kumisnya yang hampir menutup mulut bergoyang seirama gerakan bibir. "Apa!? Gak mau kuliah? Mau jadi apa kamu, nak?" Aku terdiam, menggerutu sambil menundukkan pandangan.
"Jangan kecewain papa. Papa mau kamu lanjut kuliah, demi kamu, anak papa. Kamu gak harus ngambil jurusan pertanian, kok," sambung papa menekankan keinginannya agar aku berkuliah.
Namun dengan keputusasaanku, upaya papa tak akan kupedulikan. Di sisa penglihatanku yang entah berapa lama lagi tersisa, aku ingin hidup bebas. Kemudian pandanganku kutengadahkan ke wajah papa yang tampak emosi. Aku pun menjawab, "Osa gak mau kuliah, Pa. Osa butuh kebebasan, buat ngewujudkan harapan," jawabku gemetar.
"Kuliah itu bukan penjara! Kamu gak papa larang kok buat bergaul sama siapa aja. Jangan banyak tingkah!"
"Bagi Osa kuliah itu tekanan! Buat apa Osa kuliah? Osa gak punya cita-cita, Pa. Osa gak bakal mau kuliah."
Mendengar sifatku yang bersikeras menolak tuntutan papa, akhirnya papa beranjak dari meja makan dan pergi entah ke mana. Dia gak mau main tangan denganku, dia orang baik. Baginya pendidikan adalah prioritas untukku. Tapi maaf, bagiku pendidikan hanyalah formalitas untuk dipandang orang karenanya. Aku hanya ingin bersikap realistis. Aku gak perlu diatur.
Bagaimana cara supaya papa bisa memahami kondisi hatiku, aku pun gak tahu. Papa itu hidupnya terlalu teratur, apa aja dijaga, mulai dari makanan, gaya hidup, sampai pendidikan pun dia jaga. Sedangkan aku, remaja yang gak punya mimpi atau cita-cita. Baru saja kemarin mimpiku direnggut oleh perkataan dokter. Glaukoma, itu katanya. Seolah dokter kuanggap Tuhan.
Berkali-kali aku meminta maaf pada papa yang sedang merenung di teras taman belakang. Wajahnya tampak letih dan sedih. Ia melamun, aku bukan peramal. Gak bisa baca isi pikirannya. Tapi aku bisa merasakannya. Mulutku komat-kamit mencoba menjelaskan pada papa. Kujelaskan semuanya tentang isi hatiku. Keputusanku untuk gak melanjutkan pendidikan karena penyakitku merusak masa depan sudah bulat. Walaupun teman-temanku sudah memberi motivasi, namun tetap saja, aku harus realistis. Jangan banyak berkhayal. Aku gak percaya diri, gak punya ambisi, apalagi membayangkan masa depan cerah nanti. Gak mungkin.
Papa sama sekali gak mau menggubris perkataanku. Mungkin pemikirannya yang terlalu imajinatif. Mungkin juga aku yang terlalu berpikiran negatif. Entah. Seperti membengkokan hal yang benar.
Aku kembali ke kamar untuk tidur, tubuhku yang setinggi 165 sentimeter merebah di atas hamparan empuknya kasur. Aku terlentang, menatap asbes putih pada langit-langit kamarku. Lampu kamar gak kuhidupkan malam itu, aku coba membiasakan diri pada keadaan gelap. Penglihatanku ramai, banyak kunang-kunang saat gelap. Gak bisa melihat tulisan karena dihalangi olehnya. Olehnya yang nanti merenggut pandanganku.
Merasa gak tahan dengan pandangan gelapku, kuputuskan untuk membuka gorden jendela berwarna ungu kamar itu untuk menerangi kamar. Cahaya rembulan pun berhamburan memasuki ruang kamarku. Malam itu purnama. Angin sepoi-sepoi juga ikut berhembus dari ventilasi jendela kamar milikku. Baru kali ini aku takjub dengan indahnya malam. Mataku mulai terpejam. Pikirku melayang. Ragaku tak berdaya. Aku tertidur dalam hening.
\~\~\~\~\~
Besok paginya, aku terbangun lebih dini. Pukul 6 pagi, ketika matahari masih malu untuk menunjukkan eksistensinya. Aku sudah bersiap-siap di atas sepeda gunung dengan setelan seperti biasa, switer tebal dengan celana sport kukenakan, gak lupa rambut hitamku yang bergelombang kukuncir agar udara sejuk bisa lalu-lalang berhembus di kepalaku.
Hari ini aku akan pergi ke pasar buah yang jaraknya gak jauh dari rumah, masih di daerah puncak. Pasar itu buka dini hari sekali. Aku berencana untuk menemui Raka, dia adalah temanku yang biasa bekerja di pasar itu berjualan buah hasil kebun kami. Niatku untuk bertemu dengannya adalah untuk bertukar pikiran. Dia anak desa, tapi punya pikiran terbuka.
Perjalanan pun aku lalui dengan menggowes sepeda gunung putih milikku dengan penerangan senter pada bagian depan sepeda untuk mempermudahku menuntun arah. Aku pergi dari rumah gak pamit dengan papa, soalnya dia malah lebih dulu pergi ke kebun sebelum aku bangun.
Setiap kayuhan sepeda, aku nikmati alam yang indah nan mempesona dengan seksama. Turunan gunung aku lalui dengan hati-hati. Embun pagi masih membasahi sejuknya negeri. Nafasku berembun. Aku selalu mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan padaku. Walau hari itu, saat aku terpuruk, Aku sempat melupakan kehadiran-Nya.
Sampailah aku di pasar buah yang posisinya sedikit lebih rendah dari rumahku yang berada di puncak. Terlihat para penjual buah yang sedang sibuk menyusun buah-buahannya pada stan-stan mereka masing-masing. Terlihat juga sebuah gedung berwarna hijau besar, di situ adalah pasar buah modern. Berdampingan dengan pasar buah tradisional.
"Woy, Sa!" tegur seseorang dari kejauhan yang melambaikan tangannya padaku. Pandanganku yang kabur walaupun sudah menggunakan kacamata membuatku harus mengayuh sepeda ke stan miliknya.
"Eh, Raka. Kebetulan banget aku lagi nyari elo." Ternyata orang itu Raka. Hari itu ia mengenakan kaos putih polos dengan celana jeans yang ia potong hingga lutut, juga sendal Swallow hitam membuat OOTD-nya sederhana.
"Kamu mulai sombong, Sa. Semenjak lulus sekolah kamu gak pernah kelihatan lagi. Biasanya, kan pulang sekolah selalu mampir," omel Raka yang memang sudah lama gak ketemu denganku. Tutur katanya halus. Tutur kata anak desa.
"Bukan ... bukan gitu. Gue lagi ada masalah, Ka. Gue mau ngobrol sama elo, bisa?" pintaku padanya yang sedang sibuk merapikan barang dagangannya.
"Cerita aja, gak ada orang kok di sini."
"Serius, nih. Mau denger?"
"Iya, Aku bakal dengar kamu bicara."
Aku duduk di atas kursi plastik berwarna hijau milik Raka. Menghela napas dan mulai bicara. Semua permasalahanku yang terjadi belakangan ini aku tuangkan semua padanya. Dia menghentikan sejenak kerjanya. Ikut duduk menghadapku tanda menghargai pembicaraanku. Dia sopan.
"Hmm ... ini aku kasih kamu pendapat menurutku, ya." Raka mulai memberi tanggapan.
"Jadi, lebih baik kamu ikut aja apa yang menurutmu baik. Kalau gak mau kuliah karena masalah penglihatanmu, ya udah, jangan paksakan. Sama kayak aku, kok. Aku juga malah dari lulus SD udah gak mau lanjut sekolah lagi. Karena bukan minatku." Aku mengangguk menatap dirinya yang memiliki kulit sawo matang. Wajahnya mulai ditumbuhi kumis tipis. Dia manis.
"Hidup itu jangan terlalu realistis. Kamu harus sesekali punya mimpi, punya cita-cita. Aku tahu kamu mau ke Puncak Jaya Wijaya, kan? Ya udah pergi! Jangan sia-siakan sisa penglihatanmu. Aku tetap bakal bantu kamu, kok, Sa.
"Ngomong-ngomong, tetap semangat, ya! Aku tahu ini berat. Tapi bisa dilalui," tuturnya panjang lebar memberiku solusi juga motivasi.
Ternyata langkahku udah benar. Tinggal bagaimana caranya agar papa bisa memahami keinginanku ini. Aku sangat salut dengan Raka, dia pekerja keras. Dulu kami SD barengan, waktu ditanya cita-cita sama guru, dia jawab mau jadi penjual buah di pasar buah mengikuti jejak sang ayah. Kami tertawa mendengar cita-citanya. Tapi benar saja, dia mewujudkan cita-citanya itu. Walau sederhana, tapi dia bisa. Lain halnya denganku, denganku yang gak pernah punya cita-cita. Waktu sekolah saat ditanya tentangnya, aku selalu jawab "Belum tahu, buk, pak." Bahkan sampai sekarang. Malah parahnya lagi, sekarang ketika ditanya tentang cita-cita, aku pasti jawab "Gak punya." Lumayan ada peningkatan, peningkatan akan kemunduran.
Walau pembicaraan telah usai, aku masih nongkrong di stan milik Raka. Aku masih stay di atas kursi plastik hijau miliknya. Sambil bersandar, aku iseng membuka ponsel pintarku. Sudah lama gak bermain gawai walau sering kubawa ke mana-mana. Aku kurang suka bermain di dunia maya yang gak nyata. Sedangkan Raka sedang melayani para pembeli yang datang. Pagi itu di pasar buah sekitar pukul setengah delapan sudah sangat ramai. Masyarakat sekitar maupun turis luar wilayah sering mampir ke pasar itu karena letaknya berada dekat dengan puncak.
Setelah bercengkrama dan melihat-lihat keadaan pasar buah yang sudah lama gak aku kunjungi, kini saatnya aku pulang ke rumah. Aku berpamitan dengan Raka yang masih sibuk melayani pembeli. Aku kembali mengayuh sepeda dengan membawa 2 buah naga yang diberikan oleh Raka untukku gratis. Dia tahu aku suka buah tropis.
Sepulangnya aku dari pasar buah, siang itu aku ingin langsung saja membuat jus buah naga pemberian Raka. Papa belum pulang dari kebun, biasanya dia pulang saat senja. Aku sendirian di rumah. Hari itu terik, panasnya sampai ke tulang. Biasanya di siang bolong begini aku ke kebun buah papa, tapi kali ini mungkin enggak.
Kubawa segelas jus buah naga yang tadi kubuat untuk kembali mendekam dalam kamar demi menghindari panasnya matahari. Aku mendekati kamar, membuka pintunya, dan ...
"EH!!! Lo ngapain nongkrong di situ!? Ngagetin aja." Aku terkejut melihat orang itu lagi di atas kusen jendelaku yang terbuka. Kali ini gak terlalu terkejut melihat Agra yang lagi-lagi nemplok seenak jidat di kusen jendela kamarku yang sengaja kubuka karena masih siang, dan tubuhnya terpampang jelas kelihatan. Gak kayak kemarin sore yang hanya siluetnya aja kelihatan.
"Lo ngapain lagi, sih!?" tanyaku sedikit emosi sama kelakuannya yang gak bisa ketebak. Tubuhnya yang dibalut baju model zip berwarna abu-abu bersandar di kokohnya kusen jendelaku yang lebar. Pandangannya menatap sisi kusen satunya seolah mengabaikan perkataanku. Kedua tangannya ia lipat di atas dada. Sok cool.
"Gue mau ngelanjutin ngobrol sama elo," jawabnya datar. Pandangannya menghadapku yang duduk tegak di atas kursi komputer ungu sambil memegang gelas berisi jus buah naga.
"Kalem aja. Kita ngobrol santai."
"Ya udah, ngomong aja, Gra."
"Lo duduk tegak di kursi itu, itu maknanya elo tegang, padahal ada sandaran di kursi itu. Tenangin diri dulu," pintanya untuk aku menenangkan diri. Entah ramalan dari mana dia bisa tahu perasaanku. Dia suka berteori dan menebak-nebak. Aku pun bersandar tenang menghadapnya. Berasa diinterogasi.
"Oke oke. Aku ulangi pertanyaan semalam. Lo punya cita-cita," tanyanya lagi mengulang pertanyaan semalam. Interogasi dimulai.
"Enggak ada, Gra."
"Kenapa?"
"Gue gak suka banyak berkhayal. Gue realistis orangnya."
"Coba definisikan arti realistis menurut lo."
"Realistis itu orang yang gak banyak berkhayal," tuturku sok pintar di hadapan orang jenius. Ketika Agra menanyakan arti realistis padaku, sejujurnya aku gak ngerti dengan pasti soal itu. Jadi aku jawab sebisa aja, deh.
"Wakakakakak." Dia malah tertawa mendengar penjelasanku. Aku cengengesan melihat muka cool namun lugunya yang tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak begitu. Baru kali ini setelah bertahun-tahun berteman dengannya aku mengetahui kalau dia punya gigi gingsul di bagian kiri sebelah taring. Lucu juga ni orang.
"Nih, ya, gue jelasin yang benar. Realistis itu orang yang bermimpi semampunya. Gak terlalu tinggi, tapi tetap punya mimpi, dan merealisasikannya.Tapi kalau lo beda lagi, gak punya mimpi sama sekali. Itu namanya pesimistis, bukan realistis," tuturnya menjelaskan arti sebenarnya dari realistis.
"Udah, deh. Lo juga ngapain sok care sama gue? Jangan sok pintar, pake ngerendahin aku segala!" ucapku dengan nada tinggi karena kesombongannya. Dia pintar, tapi sombong. Seolah dirinya yang paling jenius di muka bumi ini. Dia juga selalu mencampuri urusanku.
Senyuman kecil tersirat di wajahnya, kemudian ia berkata, "Emang gue care sama elo, Sa." Aku terkejut mendengar perkataannya. Dia menatapku tajam. Aku menatapnya bingung. Kemudian dia melanjutkan perkataan. "Sejujurnya waktu gue dengar kabar soal penyakit yang lo rasain sekarang, gue khawatir. Beberapa kali gue cari tahu soal glaukoma, nyari tahu tentang bagaimana penyembuhannya. Dan hasilnya, zonk. Glaukoma gak bisa disembuhkan."
"Terus?" pintaku padanya untuk melanjutkan pembicaraan.
"Ditambah lagi, lo yang berkali-kali bilang gak punya cita-cita, gak tahu mau ke mana, itu makin buat gue khawatir. Gue gak mau elo putus asa. Lo boleh bersikap realistis, tapi please, lo harus juga bersikap imajinatif. Punya mimpi, kemudian wujudkan. Bukan hanya harapan aja. Karena harapan adalah keinginan yang lo berikan pada orang lain. Memang siapa yang mau mewujudkan harapan lo? Jangan terlalu berharap.
"Sekarang gue tanya, apa harapan lo yang ingin diwujudkan?" tuturnya panjang dan kemudian bertanya padaku.
Kali ini wajahnya tampak serius, tegas menatapku. Cowok yang kukenal soft boy ternyata punya sisi tegasnya juga. Aku menundukkan pandanganku sambil melamuni jus buah naga dalam genggaman. Mencoba menelaah perkataan Agra, juga mempersiapkan jawaban yang ia tanyakan.
"Ha-harapanku bukan soal masa depan, Gra. Harapanku mudah," gumamku pelan dan gugup. Mulai jinak.
"Jelaskan," pintanya.
"Pertama, gue mau diving di Kepulauan Raja Ampat, kedua, gue kepingin mendaki Puncak Jaya Wijaya di Papua, ketiga gue mau lihat Planet Venus dengan mata telanjang, soalnya entah kenapa Venus itu keren, Bintang Kejora. Itu aja, sih." Aku menjelaskan harapan-harapanku yang ingin kucapai.
"Hah!? Venus?" tanyanya padaku sedikit terkejut.
"Iya, kenapa?"
"Eh, enggak, kok. Ternyata lo anak alam banget, ya. Kalau Cuma itu mudah, ajak teman-teman lo buat traveling ke tempat-tempat yang lo sebutin tadi. Gue juga ikut. Gini-gini, gimana kalau Minggu depan kita berangkat ke Papua, gimana?" pintanya padaku untuk segera bergegas ke tempat tujuan.
"Tapi ... gue ribut sama papa semalam karena gue gak mau kuliah. Udah gue bujuk tapi papa gak mau menggubris," keluhku lagi sambil menceritakan kejadian semalam.
"Hmm ... itu gampang, pokoknya nanti kalau papa lo pulang ceritain aja soal rencana traveling ini. Pasti dia jawab, kok." Agra kembali meyakinkan aku.
"Ya udah. Lo pulang aja dulu mending. Soalnya bentar lagi sore, papa biasa pulang sore. Nanti kita dikira ngapain lagi."
Agra pun bergegas keluar dari kusen jendelaku. Dia melompat, mungkin berkhayal jadi atlit parkour. Gak tahu, tapi aneh, belakangan ini dia kok segitu pedulinya ya sama aku? Dia paham banget perasaanku. Sama seperti Raka. Tapi yang membedakan yaitu sifat. Kalau Raka pekerja keras, kalau Agra pemikir keras. Keduanya lucu juga.
Hal yang gak aku beritahu sama Agra adalah soal kembaranku. Aku belum mau menceritakan itu padanya. Rasanya terlalu pribadi untuk kuceritakan pada orang yang aku juga gak tahu banyak tentangnya. Walaupun dia juga tinggal di puncak, tapi aku gak pernah tahu rumahnya. Gak ada juga kepikiran buat mengintili dia ketika pulang. Memangnya aku mata-mata apa.
Senja pun akhirnya tiba. Udara sejuk mulai menyisiri dedaunan yang ada di pekarangan rumahku. Pohon beringin belakang rumah tampak bergoyang seirama hembusan angin. Aku terus menatapnya dari kusen jendela. Jiwaku terasa tenang. Suara angklung terdengar dari pintu masuk rumahku yang dipajang menggantung, angin yang berhembus mesra membuatnya bersuara merdu seolah orkestra alam.
Diriku yang masih tetap terfokus pada pohon beringin belakang rumah, mulai terbayang sosok keluarga kecil yang kumiliki namun gak bisa bersama. Aku mulai berkhayal, seandainya mama dan kembaranku tinggal di sini, pasti menyenangkan. Aku gak tahu gimana rasanya kasih sayang mama. Kata orang, mama itu segalanya. Bahkan banyak orang membuat kiasan tentang kasih sayangnya. Bidadari tak bersayap, perempuan paling mulia, hingga kasihnya yang sepanjang masa. Apakah itu terlalu berlebihan? Entahlah, aku gak pernah tahu.
"Ey, melamun aja kamu." Tiba-tiba papa tampak berkacak pinggang di depan pintu kamarku. Dia sudah pulang sambil memegang aluminium foil berisi ubi bakar.
"Eh ... Papa," jawabku sedikit terkejut. Keheningan pecah.
Papa mendekatiku yang berada di kusen jendela, lalu memberikan ubi bakar yang ia genggam padaku, aku menerimanya. Kemudian tangan kanannya memegang kepalaku sambil mengelus-elus lembut. Dia tersenyum tulus padaku. Aku tersenyum bingung padanya.
"Jadi kamu mau traveling, ya?" tanya papa berdiri di hadapanku yang sedang duduk di kerangka jendela itu. Tangannya masih menimpa kepalaku.
"Loh, kok Papa tahu? Padahal kan belum Osa kasih tahu?" tanyaku kembali bingung dengan papa yang sudah mengetahui rencanaku itu.
"Papa dikasih tahu temanmu."
"Temanku yang mana?"
"Itu, yang laki-laki pendiam itu. Yang suka pakai baju switer, kadang juga pakai baju zip. Papa gak tahu namanya."
"Oh, Agra. Memangnya kapan dia ketemu papa?"
"Tadi siang, waktu papa di kebun sayur, dia datang dan cerita semuanya ke papa. Dia juga yang membujuk papa supaya kamu dibolehin gak lanjut kuliah karena mau traveling."
"Hmm ...," Aku menghela napas dan lanjut bicara, "Jadi ... Papa udah izinkan Osa buat gak kuliah, nih?"
Papa mengubah posisi berdirinya menjadi berlutut menghadapku. Kini tingginya sama denganku yang masih nangkring di kusen jendela. Dia menatapku dalam, memegang pundak kirku, dan berkata, "Dari anak itu juga papa seolah diajarkan untuk gak terlalu bersikap realistis pada kehidupan. Papa tahu, pendidikan itu adalah kewajiban formal setiap pejuang mimpi. Tapi papa sadar, mimpi gak mungkin jadi nyata kalau kamu aja gak punya passion dalam bidang pendidikan formal," tuturnya jelas.
"Jadi Osa boleh traveling ke Papua?" tanyaku sedikit gembira. Sekilas senyum mulai merekah dari wajah ovalku.
"Pastinya! Tapi kamu harus pergi barengan sama teman-teman yang lain, ajak mereka. Soalnya papa juga sedikit khawatir tentang penglihatanmu. Tapi papa yakin sama temanmu Agra. Dia orang baik, pintar juga," jawabnya jelas menyetujui keinginanku itu.
"Ma-makasih, ya, Pa. Osa janji bakal jaga diri di sana." Kegembiraan tergambar di wajahku. Akhirnya harapanku yang akan menjadi cita-cita bakal terwujud. Dari dulu papa selalu larang aku buat traveling ke alam terbuka. Dia terlalu protective samaku yang punya masalah penglihatan ini, tapi sekarang jadi berubah.
Papa juga tersenyum. Ia memelukku erat dan berulang kali menciumi kepalaku. Hari itu penuh makna, Agra yang bukan siapa-siapa malah jadi pemeran utama yang menyatukan kami berdua. Gra, lo itu kayak pemberi solusi. Gue harap, lo selalu temenin gue sampai kapanpun, ya. Walaupun lo itu orangnya random.
\~\~\~\~\~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!