Kilas balik peristiwa hidup yang tidak mau, atau bahkan tidak bisa Fany lupakan membuatnya melamun di atas kasur kamar kostnya. Hari Sabtu adalah hari di mana ia bisa sedikit beristirahat. Ya, hanya sedikit. Baru satu jam yang lalu ia pulang dari kafe tempatnya bekerja. Ia bekerja sebagai pelayan di kafe dekat kostnya mulai pukul 10 siang hingga 5 sore saat sekolah libur, yaitu pada Hari Sabtu dan Minggu.
"Heh! Ngelamun aja lo," tegur Berly yang memang sedari tadi ada di sampingnya.
"Hah? Apasih," Fany yang sadar dari lamunannya langsung memasukkan dompet yang ada di tangannya ke dalam laci meja.
"Pasti mikirin ayah lo lagi, kan," tebak Berly.
Fany hanya berdecih karena memang tebakan sahabatnya itu tepat sasaran.
Berly memutar bola matanya malas, "lo tuh aneh tau gak. Biasanya nih ya, orang kalau mau nyimpen foto di dompet, kalau gak foto dia sendiri ya foto orang yang dia sayang. Lah, ini lo malah nyimpen foto ayah lo yang bajingan itu."
"Tck, kan gue udah pernah bilang foto ini tuh gue simpen di dompet buat penyemangat," ucap Fany sambil kembali duduk di sebelah Berly, "pembakar semangat terbaik bagi gue adalah amarah. Gue jadi lebih semangat cari duit kalau lihat muka orang yang bikin hidup gue sama ibu gue menderita."
Berly menatap sahabatnya heran. Meskipun ia tahu bahwa Fany memang memiliki masalah dengan pengendalian emosi, ia tetap tidak terbiasa dengan jalan pikiran gadis itu. Namun, ia juga merasa bangga dan kagum karena Fany bisa mengubah rasa marahnya yang meledak-ledak itu menjadi sumber semangat.
"Lo gak ada pikiran buat nyari ayah lo?" tanya Berly.
"Ada," jawab Fany sambil menyemil keripik kentang di tangannya.
"Serius lo?" Berly cukup terkejut dengan jawaban Fany, "udah ketemu?"
Fany hanya menggelengkan kepala.
"Lo nyarinya gimana?" tanya Berly antusias.
"Nanya eyang lo," jawab Fany acuh.
Berly memutar bola matanya malas, "eyang gue udah lama meninggal anjir."
"Tau kok, makanya malam Jum'at kemarin gue samperin ke kuburannya," balas Fany masih tetap dengan ide jahil di otaknya dan keripik yang terus ia kunyah.
"Ih Fany! Gue nanya serius!" Nah, emosi juga Berly akhirnya.
"Hahaha... Iya iya, gausah marah marah dong," Fany menyuapkan keripik kentang ke dalam mulut Berly.
"Gue udah nyari di instagram, facebook, sama twitter, tetep gak ketemu sama tuh orang," jawab Fany mulai serius.
"Mungkin dia pakai nama akun yang beda sama nama aslinya," balas Berly.
Fany mengedikkan bahu, "kalo itu gue gak tahu."
"Lo gak ada info lain gitu? Kayak no. Hp atau alamat?" tanya Berly.
"Kalau ada juga pasti udah ketemu dari dulu, Berly," ucap Fany gemas, "kata ibu hpnya udah gak bisa dihubungi lagi sejak ngirim sms cerai."
"Huh... Jadi cuma punya namanya dong, ya," gumam Berly, "Aha!! Gue ada ide. Post fotonya di website orang hilang coba," tambah Berly.
Fany menatap Berly dengan kesal, "buat apa njir? Kayak gak ada kerjaan lain aja. Lagian kalau gue gak ketemu dia sampai mati pun juga gak masalah."
Berly hanya bisa menunjukkan cengirannya, "Eh, tapi buat apa sih nyari ayah lo itu? Jangan bilang lo mau balas dendam?"
Fany tertawa kecil, "gue gak pernah mikirin tentang balas dendam sih. Gue cuma pengen tahu hidupnya sekarang kayak gimana, itupun kalau masih hidup. Siapa tahu dia udah mati."
Berly merasakan emosi Fany saat nada bicaranya semakin menggebu-gebu,"terus lo berharap hidupnya kayak gimana?"
Fany terlihat berpikir, "gue harap hidupnya menderita. Jauh lebih menderita dari hidup ibu gue. Enak aja main cerai gitu aja, mana gak pernah ngasih nafkah lagi, padahal kan harusnya gue tetep jadi tanggungannya dia. Gue pengen saat kita ketemu nanti, dia bakal nyesel karena udah ninggalin istri dan bayinya."
"Emmm... Kalau yang terjadi malah sebaliknya?"
Pertanyaan Berly membuat Fany menoleh dengan dahi berkerut tidak terima.
"Lo percaya sama yang namanya karma Tuhan kan, Ber?" Fany menatap jendela kamarnya, "Ibu selalu bilang ke gue, apapun yang terjadi jangan pernah benci sama ayah dan jangan sampai ada niat balas dendam dalam hati. Biarin Tuhan sendiri yang bales perbuatan orang yang nyakitin kita."
"Mungkin ibu udah maafin ayah, tapi gue gak, gue gak bisa maafin ayah gitu aja. Jadi, yang bisa gue lakuin sekarang cuma berharap kalau Tuhan membalaskan dendam gue."
Fany menatap mata Berly dengan tatapan sendu, "Tuhan itu.... adil, kan?"
Berly tidak menjawab perkataan Fany lagi karena Fany sudah sangat emosional saat ini. Berly bisa merasakan bahwa Fany sedang marah dengan keadaan, atau bahkan (sedikit) marah dengan Tuhan.
'Adil versi Tuhan beda dengan adil versi lo, Fan.'
...----------------...
Bugh... Bugh... Bugh...
Fany melatih pukulannya pada samsak yang ada di hadapannya itu. Sudah menjadi rutinitasnya setiap Sabtu malam pasti ia akan pergi ke klub tinju ini. Klub yang cukup terkenal karena banyak menghasilkan atlet tinju yang hebat. Tidak, Fany tidak ingin menjadi atlet, ia hanya suka tinju.
"Fany," suara berat itu membuat Fany menoleh.
Fany tersenyum manis, "eh, Om Yudha."
Yudha, pemilik klub tinju yang berusia hampir 50 tahun. Fany cukup akrab dengannya. Entah apa yang membuat pria yang dikenal dingin itu menjadi hangat ketika bersama Fany. Ia juga yang memperbolehkan Fany bergabung di klub dengan syarat harus membersihkan klub setiap akhir pekan. Asal kalian tahu saja, biaya keanggotaan klub tinju itu sangat mahal.
"Tumben om datang ke sini," ucap Fany sambil berjalan menghampiri Yudha.
"Loh, ini kan tempat om. Emang gak boleh?" tanya Yudha bingung.
"Ih bukan gitu," kesal Fany, "biasanya kan om jarang ke sini gara-gara sibuk ke luar kota."
Yudha tertawa kecil, "hari ini om lagi gak ada jadwal."
Fany hanya mengangguk paham.
"Rabu kemarin kamu kesini, ya?" tanya Yudha membuat Fany terkejut.
"I-iya. Emang kenapa om? Kan om sendiri yang bilang aku boleh ke sini setiap hari" cicit Fany.
"Kamu memang boleh latihan setiap hari, tapi...," Yudha menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya, "bukan berarti kamu boleh masuk ring."
'Anjir siapa sih yang cepu' batin Fany menjerit.
"Kamu boleh latihan bareng yang lain, tapi gak boleh tanding. Skill orang-orang disini gak bisa diremehin. Bisa bahaya kalau kamu lawan mereka di ring," imbuh Yudha.
"Tapi aku menang kok, Om," sahut Fany.
"Fany," panghil Yudha dengan suara dingin tidak mau dibantah.
Baiklah, sepertinya Fany harus tetap diam karena lawan bicaranya ini cukup menakutkan ketika marah. Walaupun sebenarnya Fany tidak terima ketika kemampuan bertarungnya diremehkan. Dia tidak berbohong kalau di pertarungan malam itu ia menang. Padahal lawannya adalah seorang tentara muda dengan badan kekar. Ya... Walaupun melakukan sedikit kecurangan dengan menggigit lengan lawannya. Toh, hal itu bukan masalah karena bukan pertandingan resmi, yang penting lawannya jatuh duluan.
"Iya iya, aku minta maaf," ujar Fany malas.
Yudha menghela nafas lelah, "sudahlah, jangan diulangi lagi."
Fany mengangguk, "kalau begitu aku mau melanjutkan latihan lagi, bye om!"
Yudha hanya menggeleng melihat Fany langsung berlari menjauh dari hadapannya, ia tahu bahwa Fany sedang merajuk. Ia mengenal sifat gadis itu yang paling tidak suka jika ada orang yang meremehkannya. Bukannya Yudha menganggap remeh kemampuan Fany, bahkan ia sendiri mengakui bahwa skill tinju Fany sangat baik. Namun, bertarung di atas ring pasti akan memberikan luka, baik di tubuh yang menang maupun yang kalah. Dan Yudha tidak bisa membiarkan Fany terluka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments