2010
Di sebuah TK, anak-anak bermain dengan riang gembira. Fany adalah satu di antara anak-anak yang berbahagia itu. Ia tumbuh menjadi anak yang manis dan ceria. Hidup hanya dengan seorang ibu dan serba kekurangan membuat Fany bersikap lebih dewasa. Ketika anak-anak yang lain ditemani oleh orang tua selama di sekolah, ia selalu sendirian. Sejak hari pertama masuk, ia menolak ditemani ibunya, dan mengatakan bahwa ia adalah anak pemberani. Hal itu membuat Divya bersyukur karena anaknya bisa mandiri, dan ia bisa bekerja dengan tenang.
Brukk!!!
"Aduh," seorang anak tidak sengaja menabrak Fany hingga mereka berdua terjatuh.
Fany berdiri dan membersihkan roknya yang sedikit kotor, tapi ia terkejut ketika anak yang menabraknya tadi mulai menangis.
"Huaaaa... Mama!!" terlihat wanita yang dipanggil mama berlari menolongnya.
"Sayang, kok bisa jatuh sih," kata wanita tadi sambil membantu anaknya berdiri.
"Fany mendorongku," Fany terkejut saat anak itu menunjuknya.
"Hah? Ndak tante!"
"Kamu jangan nakal gitu ya!" wanita tadi berbicara cukup keras membuat orang-orang disana menoleh, "cepat minta maaf."
Dahi Fany mengernyit, "tapi kan Fany ndak salah, Dea yang lari-lari terus nabrak Fany, kita berdua sama-sama jatuh kok."
Anak yang bernama Dea tadi menggeleng, "Fany yang salah, Ma."
"Kamu gak tau cara minta maaf, ya? Disekolahin biar pintar malah jadi anak nakal, ini sih efek gak diperhatikan sama orang tua," ucapan mama Dea sangat melukai hati Fany.
"Tante jahat! Dea yang salah, kenapa orang tuaku yang disalahin?!" teriakan Fany membuat guru-guru TK berhamburan keluar.
"Berani membentak orang tua kamu, hah?! Dasar gak punya ayah!" teriak mama Dea tidak kalah lantang.
"Sudah, bu. Tenang dulu, Fany masih anak-anak," ucap salah satu guru TK sembari menyembunyikan Fany di balik tubuhnya.
"Tolong kasih tau ibunya Fany kalau anaknya kurang ajar, bu. Biar wanita itu bisa mendidik anaknya lebih baik," ujar mama Dea.
Fany hanya bisa menangis di balik tubuh gurunya. Ia hanya seorang anak kecil, tapi sudah mendapat caci maki dari orang dewasa. Beruntung gurunya tidak melaporkan hal ini kepada Divya karena mereka tahu kondisi Divya dan Fany seperti apa, mereka juga tahu kalau Fany tidak mendorong Dea. Fany tetap menjadi anak yang ceria dan bergaul dengan teman-temannya, meskipun seringkali ia mendapat ejekan dari teman-temannya karena hidup miskin dan tidak punya ayah.
Di usia yang masih belia, ia sudah harus belajar bertahan di tengah kejamnya dunia, segala ucapan menyakitkan yang ditujukan padanya telah menumbuhkan amarah dalam hatinya, tetapi hal itu juga membuat mentalnya semakin kuat.
...----------------...
2019
Fany sekarang berada di kelas 2 di salah satu SMP terbaik di kotanya. Setiap hari menempuh perjalanan sepanjang 8 km untuk sampai di sekolah menggunakan sepeda. Ia menjalani kesehariannya dengan ikhlas, walaupun di dalam hatinya ada setitik rasa iri pada teman-temannya yang pergi ke sekolah diantar oleh orang tuanya, ataupun naik motor walaupun mereka masih di bawah umur.
"Mereka punya kehidupan yang baik, gak perlu ngerasain capeknya ngayuh sepeda," pikiran itu sering muncul dalam benaknya, tetapi segera ia tepis, "biarin aja, mereka pasti gak sekuat gue."
Sesampainya di sekolah, seperti biasa, ia langsung menuju ke kantin untuk menitipkan gorengan yang ibunya buat pagi tadi.
"Selamat pagi, Bu Denok," sapa Fany kepada Bu Denok, ibu penjaga kantin.
"Selamat pagi, Fany. Seperti biasa, ya," sapa Bu Denok ramah.
"Iya, Bu," Fany langsung menata gorengan yang ia bawa di meja kantin.
"Udah bu, saya langsung ke kelas ya, udah mau masuk," Fany langsung berlari ke kelas tanpa menunggu balasan dari Bu Denok. Penjaga kantin itu hanya tersenyum melihat Fany, ia senang melihat Fany yang selalu ceria saat bertemu dengan siapapun.
Sesampainya di kelas, ia melihat semua temannya sibuk menulis sesuatu.
"Ada PR ya?" tanya Fany kepada salah seorang temannya.
"Lah, lo juga belum ngerjain, Fan?"
"Anjir! PR apaan?!" Fany panik, lalu ia bergabung dengan teman-temannya yang menyalin PR matematika milik Berly, sahabatnya yang sangat rajin itu.
"Ekhmm..."
Dehaman seseorang membuat semua yang ada di dalam kelas tersebut menoleh ke arah pintu.
"Eh Bu Rara," kata Dion, sang ketua kelas kepada Bu Rara, guru matematika yang memberikan PR, "bel masuknya kan belum bunyi, bu."
"Lalu?" Bu Rara bersikap acuh dan melenggang masuk menuju bangku guru.
Semua murid hanya terdiam sambil melihat pergerakan bu Rara, mereka semua tidak ada yang berani bergerak.
"Kumpulkan PR kalian sekarang juga!" ucap Bu Rara tajam.
Semua siswa berbondong-bondong menyerahkan buku tugas mereka di meja guru, tidak peduli sudah selesai mengerjakan PR atau belum, termasuk Fany. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan diberikan pada dirinya.
Benar saja, Fany dan tiga temannya yang sama sekali belum mengerjakan PR dihukum untuk hormat kepada tiang bendera di tengah lapangan selama jam pelajaran matematika, yang sialnya hari ini ada 2 jam.
"Fan, lo kok bisa gak ngerjain PR sih," kata salah seorang temannya.
"Iya nih, padahal lo kan siswa yang rajin, peringkat 2 di kelas lagi," celetuk temannya yang lain.
"Terus kenapa kalau gue peringkat 2? Gini gini gue juga manusia, bisa lupa," ucap Fany malas.
"Eh ssst ssst, diem semua, Bu Rara sama wali kelas kita nyamperin," bisik salah satu temannya yang melihat guru matematika mereka bersama dengan wali kelas berjalan menuju mereka.
Fany yang melihatnya mengernyit bingung. Ini hanya hukuman, kenapa wali kelas mereka ikut datang. Padahal hukuman seperti ini sudah biasa terjadi. Entah kenapa firasatnya buruk saat dua orang dewasa itu mulai mendekat, ditambah wajah garang Bu Rara berubah menjadi sendu menatap ke arahnya.
"Fany," panggil wali kelasnya.
Saat itu, ia sangat benci mendengar namanya dipanggil, apalagi mendengar ucapan wali kelas setelahnya, "ibu kamu sudah tidak ada."
Di usianya yang ke-14, ia kehilangan ibunya akibat kecelakaan. Divya menjadi korban tabrak lari saat hendak pergi membeli kain ke pasar, dan meninggal di tempat. Lengkap sudah penderitaan Fany, hidup sebatang kara, tanpa ada kerabat yang bisa merawatnya.
Beberapa kali ia ditawari tetangganya untuk pergi ke panti asuhan, tetapi ia menolak. Ada juga yang menawarinya pekerjaan, tentu saja ia menolak, karena orang-orang yang menawarinya pekerjaan pasti menuntutnya untuk berhenti sekolah. Ia tahu orang-orang iba dengannya, tetapi ia sangat tersinggung dengan tawaran orang-orang itu. Dia hanyalah seorang remaja yang memiliki emosi labil, ia semakin merasa hidupnya tidak adil. Ia marah kepada semuanya, ia marah pada dunia, ia marah kepada Tuhan, ia marah pada ayahnya yang dari dulu meninggalkan ia dan ibunya.
Dengan tabungan ibunya, uang hasil gorengan yang ia buat sendiri untuk dititipkan kepada ibu kantin, serta dana bantuan dari desa, ia bertahan hidup sendiri di kontrakan kecil itu. Hingga saat ia lulus SMP, ia langsung pindah untuk sekolah di SMA di kota, dan ia tinggal di kost dekat sekolahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Nindi
Ceritanya sangat menarik, semangat terus untuk authornya🤗
Jangan lupa mampir di novelku "Aleksa Sayang" dan "Kuambil Kembali Milikku"
Mari saling suport
2023-05-29
0