Fany berjalan kaki menuju kafe tempatnya bekerja. Cukup jauh memang, sekitar 2 km dari kostnya. Ia tidak punya kendaraan pribadi karena sepedanya dulu sudah dijual. Ia tidak bisa jika setiap hari harus naik ojek, bisa-bisa uangnya habis hanya untuk transportasi.
"Selamat pagi," sapanya kepada para senior yang juga baru datang.
"Selamat pagi, Fany," balas mereka.
"Ayo kita bersiap, 15 menit lagi buka," perintah barista sekaligus pemilik kafe itu.
Semua langsung bergerak untuk memakai seragam dan menata kafe. Kafe buka pukul 10, dan tak lama setelah papan "close" berganti menjadi "open", pelanggan sudah memadati tempat itu.
Fany bertugas untuk mengantar pesanan, serta membersihkan meja jika ada pelanggan yang meninggalkan kafe. Tak jarang, ada pelanggan yang merupakan remaja lelaki yang meminta nomor ponselnya karena paras Fany yang sangat cantik dengan hidung mancung dan mata bulatnya itu. Namun, Fany selalu menolak dengan halus.
"Satu vanilla latte, satu es americano, dan french fries," ucap Fany sambil meletakkan pesanan di meja salah satu pelanggannya.
"Semua pesanannya udah ya, kak," Fany tersenyum sambil menoleh ke arah pelanggannya.
Tapi senyuman itu luntur seketika dan berubah menjadi raut wajah masam ketika mengetahui siapa pelanggannya itu. Teman, eh bukan, musuh, eh bukan juga. Hanya seorang siswa yang beberapa hari lalu berkelahi dengannya. Siapa lagi kalau bukan Rangga Juliandro. Bahkan, masih ada plester di pipi kanannya. Plester itu menutup luka sobek akibat Fany melemparnya dengan sapu setelah Rangga mengatainya yatim piatu.
"Tck," Fany beranjak pergi dari meja itu.
Grepp...
Fany menoleh ketika tangannya ditahan oleh Rangga, ia pun langsung menghempasnya, "apa sih?!"
"Duduk dulu," kata Rangga.
"Dungu lo ya! Gue disini kerja, bukannya nongki," sungut Fany, kemudian berlalu begitu saja.
Ia menghampiri Sinta, si barista, untuk mengambil pesanan pelanggan selanjutnya. Namun, ia terkejut ketika Rangga muncul di belakangnya. Fany baru saja ingin memarahi Rangga, lelaki itu sudah menghadap Sinta.
"Kak, Fany-nya gue pinjem dulu, ya," Sinta hanya menatap bingung, lalu Rangga mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu, "biarin Fany temenin gue sebentar aja."
Fany sudah melotot tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bukankah ia baru saja disewa?
"Oke gapapa," ucap Sinta sambil tersenyum.
Rangga pun tersenyum menang dan mengkode Fany agar ikut duduk dengannya.
"Loh, apa-apaan sih, kak?" ujar Fany tidak terima dengan keputusan Sinta, "gue kan disini kan mau kerja."
"Halah, temenin aja dulu, abis itu kerja lagi," balas Sinta santai.
"Udah, ayok," Rangga langsung menggandeng tangan Fany.
Sesampainya di meja tempat Rangga duduk tadi, mereka langsung duduk berhadapan. Fany masih kesal dan enggan memandang wajah Rangga. Harga dirinya benar-benar jatuh, apalagi hanya ditukar dengan uang sejumlah dua ratus ribu.
Rangga menyodorkan vanilla latte kepada Fany, "minum dulu."
Fany melirik sebal, "maksud lo tuh apa sih kayak gini? Mau ngatain gue lagi?"
"Sensi amat sih jadi cewek," kata Rangga sambil menyeruput americanonya.
Fany menatap tajam Rangga, "serius mau lo apa sih? Mau jadiin gue target bully baru lo."
"Idih, siapa sih yang mau bully lo, gue bukan tukang bully ya," ucap Rangga tidak terima.
Fany berdecih, "bukan tukang bully? Terus yang biasanya malakin duit anak-anak di kantin tuh siapa? Yang suka lemparin tas anak-anak ke genteng siapa? Yang suka nakutin cewek-cewek pake serangga siapa? Yang suka kempesin ban motor guru-guru siapa?"
"Bawel lo ah," sahut Rangga.
"Kelakuan kayak gitu masih gamau disebut tukang bully?!" tanya Fany berapi-api.
"Kan cuma main-main, biasalah remaja," kata Rangga membela diri.
"Dih, bocah tolol," cibir Fany.
Setelah itu tidak ada yang berbicara lagi, mereka memilih menikmati minuman masing-masing. Yah, akhirnya Fany meminum vanilla latte pemberian Rangga. Sayang sekali kalau ada minuman enak, gratis pula, dibiarkan saja.
"Sorry," lirih Rangga.
Fany hampir tersedak, "hah?"
"Selain sinting, lo juga budeg ya?" balas Rangga.
"Baru aja ngomong 'sorry' udah nyari gara-gara lagi lo," jawab Fany kesal.
"Itu lo denger, ngapain masih ngomong 'hah' segala?" cibir Rangga.
"Gue cuma gak percaya aja cowok modelan lo bisa minta maaf," Fany tertawa kecil.
"Gini-gini juga gue anak baik, cuma minus keseringan masuk BK sama reputasi buruk aja."
"Sama aja lo bukan anak baik anjir."
Rangga yang mendengarnya hanya terkekeh. Begitu pula dengan Fany. Setidaknya mereka sudah berbaikan. Padahal sebelum kejadian di kantin, mereka tidak pernah berinteraksi sama sekali. Fany hanya mengenal Rangga sebagai anak nakal pembuat onar. Sedangkan, Rangga hanya mengenal Fany sebagai gadis pintar pemenang olimpiade nasional dan penerima beasiswa di SMA mereka.
...----------------...
Hari Senin bukan hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar siswa sekolah di dunia, khususnya di Indonesia. Karena di hari ini pasti diadakan upacara bendera di tengah lapangan. Bukan berarti tidak menghormati jasa para pahlawan, hanya saja berdiri di bawah terik matahari membuat tubuh pegal-pegal.
"Huh, panas banget hari ini," ujar Fany setelah mendudukkan diri di bangkunya.
"Panas? Gak terlalu tuh," balas teman sebangkunya.
"Ya lo enak, sembunyi terus di balik badan gue," balas Fany.
Temannya itu terkekeh, "hehe... Makasih ya Fan udah jadi tempat berteduh gue."
"Huuu... dasar pendek," ejek Fany.
Teman yang dikatai pendek itu sudah melotot ingin marah, tapi tidak jadi setelah Bu Sri, guru BK, masuk ke kelas mereka.
"Selamat pagi, anak-anak. Setelah ini akan ada konsultasi jurusan kuliah dengan BK ya, nanti bergantian ke ruang BK sesuai urutan nomor absen. Sekarang, absen 1, ikut saya ke ruang BK."
Setelah berkata seperti itu, Bu Sri bersama siswa dengan nomor absen 1 pergi dari kelas menuju ruang BK. Fany menggigit bibirnya cemas. Ia ditampar lagi dengan kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan memasuki jenjang perkuliahan.
Satu per satu siswa bergantian pergi ke ruang BK, dan sekarang giliran Fany. Ia berjalan perlahan menuju ruang BK. Sesampainya di sana, ia melihat Rangga duduk di hadapan guru BK lainnya, tepat di samping meja Bu Sri.
"Fany, kenapa diam aja di situ?"
Panggil Bu Sri membuat semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Fany.
Fany yang merasa diperhatikan hanya menggeleng dan tersenyum canggung, lalu bergegas duduk di depan Bu Sri.
"Baiklah, jadi, Fany, apa kamu sudah punya gambaran mau masuk jurusan apa?" tanya Bu Sri.
Fany bingung menjawab, "emm... emm...."
"Baik, begini saja," Bu Sri memahami kebingungan Fany, "apa cita-cita kamu?"
'haduh, malah ditanya cita-cita lagi'
"Kalau cita-cita saya malah bingung, bu," lirih Fany, "sebenarnya saya kepikiran dengan 1 jurusan sih, bu."
"Apa itu?" tanya Bu Sri antusias.
"Cyber security," cicit Fany.
"Oh, kalau begitu, kamu bisa daftar di sekolah kedinasan saja, ada yang punya jurusan itu. Setelah lulus, kamu bisa jadi PNS," kata Bu Sri.
"Tapi, saya tidak tertarik bekerja di instansi pemerintah, Bu," keluh Fany.
"Loh kenapa? Padahal sudah terjamin dan gajinya lumayan besar, lho," tanya Bu Sri.
Fany menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Iya sih bu, tapi saya tidak mau terikat dengan pemerintah. Saya suka tantangan, bukan tipe orang yang mudah diatur."
Bu Sri menggeleng-geleng, "Fany, kamu mungkin bisa berpikiran seperti itu sekarang, tapi ketika kamu sudah masuk di dunia kerja nanti, pekerjaan dengan gaji yang pasti itu lebih penting daripada pekerjaan yang tidak pasti."
Fany mulai menciut, "saya sudah mencari informasi, dan yang saya tahu universitas terbaik dengan jurusan cyber security adalah Universitas Garuda Emas."
Bu Sri menghela nafas, "Fany, saya menghargai impian kamu. Tapi Garuda Emas itu universitas swasta yang sangat mahal. Kamu bisa saja mengajukan beasiswa menggunakan prestasi-prestasimu, tapi tidak ada jaminan kalau kamu akan mendapatkan beasiswa penuh."
"Tidak ada jaminan bukan berarti tidak mungkin kan, bu," balas Fany.
"Dengar Fany," Bu Sri melepas kacamatanya, "berpikirlah realistis, jangan membuat hidupmu ke depannya semakin sulit."
"Memang kenapa kalau sulit? Saya sendiri berani mempertaruhkan segalanya untuk mencapai mimpi saya," ucap Fany sambil menahan emosinya.
"Terserah kamu saja lah," sahut Bu Sri kesal, "saya sudah memberikan saran, tapi sepertinya kamu keras kepala. Jangan sampai kamu menyesal nanti."
Fany menatap tidak percaya pada guru BK di hadapannya. Bukankah tugas BK adalah memberi arahan kepada siswa, kenapa malah terkesan memaksa siswa dan menjatuhkan Siswa?
Tanpa berpamitan, Fany langsung pergi meninggalkan ruangan itu tanpa peduli dengan semua orang yang menatapnya. Bahkan, Bu Sri sudah meneriaki Fany karena dinilai tidak punya sopan santun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments