2005
'Aku mau kita cerai'
'Aku udah punya pacar disini'
'kamu urus sendiri surat cerainya'
Seorang wanita menatap layar telepon genggamnya dengan erat. Air mata mulai meluncur di pipi putihnya. Ia pun menangis sambil menyentuh perutnya yang membuncit. Mimpi buruknya telah datang, hal yang tidak pernah ia duga terjadi, diceraikan saat hamil 5 bulan, lewat SMS pula.
"Divya, kamu kenapa nak?" seorang wanita tua tergopoh-gopoh menghampiri anaknya yang menangis.
"Hiks... Ibu... Mas David..." Divya menunjukkan teleponnya kepada sang ibu.
"Kurang ajar David," ibunya langsung memeluk Divya erat, "sudah nak, jangan menangis, kasihan bayimu."
Divya malah semakin menangis, ia merasa hidupnya beserta bayinya sudah hancur. Suami yang pergi merantau ke ibukota untuk bekerja ternyata selingkuh dan berniat menceraikannya.
...----------------...
Sudah 3 bulan sejak Divya bercerai dengan mantan suaminya. Setiap hari yang ia lakukan adalah bercengkrama dengan bayi dalam perutnya. Ia berusaha untuk tetap bahagia walaupun ia juga sangat bersedih atas kejadian buruk yang menimpanya. Ia hanya tidak ingin anaknya mendapat dampak buruk jika ia stres berlebihan.
Secara ekonomi, kehidupan Divya sangat jauh dari kata mampu. Ia hanya tinggal bersama ibunya. Jika dulu ada suaminya yang bekerja sebagai buruh pabrik, sekarang ia dan ibunya harus mampu mencari penghasilan sendiri. Ibunya bekerja sebagai karyawan di toko sembako milik tetangganya, sedangkan Divya menjadi penjahit. Berbekal kemampuan menjahit yang ia peroleh di SMK dulu, ia menerima jasa permak. Uang yang diperoleh tidak banyak, tapi setidaknya cukup untuk membeli susu ibu hamil.
Seperti sekarang, Divya sedang berkutat dengan sebuah baju dan beberapa jarum. Ia harus segera menyelesaikan pesanan tetangganya.
"Akh!"
Tiba-tiba jarinya tertusuk jarum. Tapi tunggu dulu, jarinya yang mengeluarkan darah, kenapa perutnya yang ikut sakit. Divya memegangi perutnya yang semakin lama semakin terasa sakit. Firasatnya berkata bayinya sudah mendesak mau keluar.
"Aduh... Sakit banget..."
Benar saja, Divya melihat cairan bening mengalir cukup deras dari sela kakinya.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Divya berusaha untuk berdiri dan berjalan keluar rumah mencari bantuan. Sambil menahan rasa sakit, ia membuka pintu rumah dan mengedarkan pandangannya mencari siapapun yang terlihat. Beruntung rumahnya berada di seberang rumah RT, dan kebetulan Bu RT sedang menyapu halaman rumah.
"Bu RT... Tolong..." dengan suara lirih, Divya mencoba memanggil Bu RT.
Bu RT yang mendengar ada suara lemah yang memanggilnya langsung menoleh ke arah Divya.
"Astaga, Divya!" Bu RT melempar sapu yang sedari tadi dipegang, "Pak! Bapak! Tolongin Divya Pak! Divya mau melahirkan!"
Bu RT cukup panik berteriak di depan rumah memanggil suaminya agar turut membantu menolong Divya, lalu beliau segera berlari menghampiri Divya. Beberapa tetangga yang mendengar teriakan Bu RT bergegas menghampiri rumah Divya.
"Astaga sudah mau melahirkan," ucap salah satu warga.
"Divya, kamu tenang dulu ya, nafas pelan-pelan," perintah Bu RT yang ada di samping Divya.
"Pak RT, cepetan, ini Divya keburu melahirkan disini," teriak salah seorang warga yang melihat Pak RT sedang menyiapkan mobil untuk membawa Divya ke rumah sakit.
"Divya!" Ibu Divya tampak panik berlarian dari toko setelah dikabari seorang warga bahwa anaknya akan melahirkan.
"Ibu... Sakit bu..." Divya langsung menangis saat berada di pelukan ibunya.
"Nak, tahan sebentar ya, sebentar lagi kamu akan bertemu dengan bayimu," ucap ibu Divya sembari mengusap dahi anaknya yang penuh keringat.
"Ayo cepat masuk mobil! Bapak-bapak, tolong bantu angkat Divya," perintah Pak RT.
Setelah itu, Divya bersama dengan ibunya, Pak RT, dan Bu RT bergegas menuju rumah sakit.
...----------------...
Di dalam ruang bersalin, Divya ditemani oleh sang ibu. Ia masih harus menunggu selama beberapa jam untuk sampai pada tahap pembukaan sempurna. Selama itu juga, sang ibu bersama beberapa perawat memberikan instruksi agar Divya tetap tenang dan bernafas dengan baik.
"Ibu, aku takut," lirih Divya.
"Jangan takut, Nak. Kamu perempuan yang kuat. Pasti bisa melahirkan dengan lancar," ucap ibu Divya sambil menggenggam erat tangannya.
Divya mencoba berpikiran positif. Ia tidak boleh takut, ia harus bertahan, demi anaknya. Namun, entah mengapa di saat-saat seperti ini, ia justru teringat dengan mantan suaminya. Hatinya sangat sakit mengingat bahwa seharusnya ada sosok suami yang berada di sisinya saat ia berjuang demi buah hati mereka.
"Nak," suara ibunya membuyarkan pemikiran menyedihkan Divya, "jangan pikirkan apapun untuk saat ini. Percaya sama ibu, setelah mendengar tangisan bayimu nanti, kamu akan sangat bahagia, sampai kamu akan melupakan semua penderitaan yang ada di hatimu."
...----------------...
Ibu Divya menunggu di luar ruang bersalin ditemani oleh Bu RT. Walaupun pernah merasakan bagaimana rasanya melahirkan, beliau sangat takut melihat anak satu-satunya berjuang melahirkan cucunya. Berbagai pikiran buruk menghantuinya, ia tidak akan sanggup jika terjadi hal buruk pada Divya.
Oekk... Oekkk...
Suara tangisan bayi terdengar membuat semua orang di luar ruangan tersenyum bahagia. Tidak lama kemudian, seorang perawat keluar.
"Selamat bu, Ibu Divya melahirkan bayi perempuan yang cantik, sekarang bayinya sedang dibersihkan," ucap perawat tersebut.
"Lalu, bagaimana kondisi anak saya?" tanya ibu Divya khawatir.
"Ibu Divya sedang dalam proses penjahitan karena tadi pendarahannya cukup parah, tapi kondisinya baik-baik saja, tidak perlu khwatir."
Setelah seluruh proses persalinan selesai dan Divya sudah sadar. Ibu Divya beserta bayi mungil yang ada di dalam box bayi itu dibawa masuk untuk menemui Divya.
"Divya," panggil ibu Divya membuat ia menoleh.
"Ibu? Anakku sangat lucu, kan" Divya melihat bayinya yang ada di dalam box, tubuhnya masih sangat lemas hanya untuk bergerak.
"Iya, Nak. Dia mirip sekali denganmu," ibu Divya tersenyum hangat melihat cucunya, "apa kau sudah memikirkan nama untuknya?"
"Tentu saja," ucap Divya bersemangat, "Fany Zahira Afdanela."
...----------------...
2006
Satu tahun semenjak kelahiran putri kecilnya, kini Divya mulai berkutat dengan mesin jahitnya lagi. Sang ibu melarangnya untuk bekerja di luar rumah agar ia bisa fokus membesarkan Fany. Mereka tidak lagi tinggal di rumah, tapi di sebuah kontrakan kecil milik tetangganya yang tidak jauh dari rumahnya dulu. Rumah milik Ibu Fany sudah dijual untuk melunasi biaya persalinan yang sangat mahal.
"Fany... Anak cantiknya ibu..." Divya menimang Fany yang ada dalam gendongannya.
"Lucu sekali sih anak ibu," Divya menciumi pipi Fany, yang mana hal itu membuat Fany tersenyum menampilkan gusi yang belum ditumbuhi gigi, "ahaha, senang sekali ya bermain bersama ibu, Nak."
Tiba-tiba, ada seorang tetangga yang berlari menuju kontrakannya.
"Divya! Divya!"
Divya terkejut dan langsung berlari keluar rumah, "ada apa, Bu Ratna?"
"Ibu kamu..."
Divya langsung paham bahwa sesuatu yang buruk terjadi, "ibu saya kenapa, Bu?!"
"Ibu kamu tadi pingsan di toko, sekarang mau dibawa ke rumah sakit."
Divya menitipkan Fany kepada ibu itu, lalu bergegas pergi ke toko tempat ibunya bekerja. Disana ia melihat ibunya pingsan dikelilingi oleh beberapa warga. Setelah Divya datang, pemilik toko langsung membawa ibu Divya pergi ke rumah sakit bersama dengan Divya.
Sesampai di rumah sakit, ibu Divya langsung dimasukkan ke ruang IGD karena kondisinya sudah kritis, beliau mengidap hipertensi, dan sekarang penyakitnya memburuk. Segala doa sudah dipanjatkan oleh Divya agar ibunya berhasil melewati masa kritis, tetapi Tuhan berkehendak lain.
"Maaf Bu Divya, ibunda dari Bu Divya sudah tidak bisa diselamatkan."
Di hari itu juga, tepat pukul 9 malam, ibu Divya dinyatakan meninggal akibat pecahnya pembuluh darah di otak.
Semenjak kematian ibunya, hidup Divya semakin sulit. Ia mulai bekerja di toko kelontong tempat ibunya bekerja dulu, beruntung pemilik toko mengizinkannya untuk membawa Fany ke tempat kerja. Lalu, di malam hari, Divya akan begadang untuk menyelesaikan pesanan jahitannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments