"****!!!,, Kenapa kalian begitu bodoh!!", umpat Amer pada anak buahnya. "Maaf tuan, tapi wajah orang itu mirip Husen!!", lirih Will asisten Amer. "CK!!", kesal Amer, "Terus sekarang kau sudah tahu keberadaan Husen?". Will menggeleng. "Kita kira dia Husen maka dari itu kita hendak menghabisinya, tapi tuan mudah datang, kita di suruh pergi", cicit Will. Amer menghela nafas panjang. Begitu bodohnya dia telah membunuh orang yang tidak bersalah. semenjak menjadi mafia Amer hanya membunuh orang yang bersalah itu pun jika orang itu sudah fatal perbuatannya. "Siapa yang menyuruhmu membunuh? bukankah kau tahu aku tidak perna menyuruh membunuh?". Titah amer. "Maaf tuan, tuan Tom yang menyuruh kita membunuh Husen". Will semakin takut. Amer memang seorang mafia besar di Itali. dia terkenal dengan strategi melumpuhkan lawan dengan trik yang handal, bukan di bunuh tapi mereka di tangkap di jadikan tawanan dan untuk mengorek informasi tentang klan-klan musuhnya.
Amer geram pada Husen karna dia telah di tipu dan memanipulasi keadaan sehingga klan yang di pimpinnya mendapat serangan dadakan dari klan Brid. Amer menyuruh anak buahnya mencari Husen dan menangkapnya bukan untuk di bunuh melainkan akan dia jadikan tawanan. Tapi saat Amer ada urusan pekerjaan di Singapura, Tom sudah lebih dulu mengetahui keberadaan Husen dan dia menyuruh anak buah Amer membunuh Husen. tapi mereka telah salah bahkan yang di bunuh bukanlah Husen tapi kembarannya.
Tok.. Tok.. Tok..
"ADA APA??". Geram Amer pada ART.
"Maaf tuan ada tuan mudah di depan?". Jawab ART menunduk. Amer menghela nafas panjang. Amer meninggalkan Will dan temannya di ruang kerjanya dia menemui Aslan yang sedang menunggunya.
Aslan duduk menatap lukisan serigala yang terpajang di dinding mension papanya. Jujur memang Aslan jengah dengan dunia yang di geluti papanya. Hingga dia lebih memilih tinggal bersama tantenya yang seperti ibu baginya.
"Boy...". panggil Amer, Aslan menatap tajam papanya. Papanya bergeming dia sadar anaknya marah besar.
"Boy, papa tidak tahu tentang penyerangan ini". "Apa sekarang papa puas dengan semua ini?". Amer menunduk. "Bahkan seorang gadis yang tidak bersalah menerima akibat perbuatan anak buah mu", lanjut Aslan. Amer semakin menunduk. "Jangan pernah sedikitpun menyentuhnya, INGAT ITU!!". Aslan berhambur meninggalkan Amer.
***
Perlahan mataku terbuka, kepalaku terasa masih sangat pusing. Aku tidak tahu berada di mana, inginku bangun tapi tidak bisa karna badan ini serasa remuk. Ku pejamkan mata sejenak, dan ku dengar seseorang membuka pintu, aku masih memejamkan mataku, orang itu menghampiriku lalu menggenggam tanganku erat, orang itu pergi berlalu meninggalkan aku, aku tidak tahu siapa dia tapi genggaman tangannya begitu teduh, seperti ketika ayah memegang ku. Ku buka mataku menelisik ke penjuru arah, aku sepertinya berada di kamar yang begitu besar dan mewah.
Klek!!!
Suara pintu terbuka dan seorang wanita yang anggun dan cantik berjalan menghampiriku.
"Kamu sudah bangun?", tanya wanita itu lembut dia duduk di sebelahku, aku menatapnya ragu. wanita itu menyentuh keningku, dan seketika itu aku sadar apa aku masih memakai hijab atau tidak, aku pun memegang kepalaku dengan 1 tanganku untuk memeriksa, dan alhamdulillah aku masih memakai inner walaupun hijabku entah di lepas kemana, tapi aku bersyukur kepalaku masih tertutup dengan inner. Wanita itu tersenyum melihatku.
"Maaf, kemarin kami membuka kerudung mu Karna badanmu sangat panas, tapi tenang saja kami tidak membuka inner yang kamu pakai". Jelas wanita itu, aku hanya diam. Aku sebenarnya takut, aku berada dimana, dan bagaimana dengan ayahku, mengapa orang-orang itu datang ke rumahku dan menembak ayahku, apa salah ayahku, bahkan kita saja jarang berinteraksi dengan orang lain. Berbagai pertanyaan datang di pikiranku, air mataku mengalir mengingat keadaan ayah di mana ayahku, aku tak tahu harus berkata apa, air mataku terus mengalir, sehingga wanita itu menyeka dengan lembut air mataku seolah dia mengerti apa yang ku rasakan saat ini.
"Kamu harus tenang ya,". Wanita itu mengusap lembut kepalaku. Tidak lama setelah itu ada seseorang wanita paruh baya masuk membawa nampan berisi makanan. Wanita itu mengambil nampan itu dan menyuruh wanita paruh baya itu keluar.
"Kamu makan dulu", wanita itu mengulurkan sendok di tangannya pada ku. Aku hanya menatap sejenak dan berpaling. Wanita itu tersenyum lembut padaku. "Kalau kamu tidak makan gimana bisa sembuh?", aku masih tetap diam. "Kalau aku jadi kamu, aku akan bangkit". Ucap wanita itu. "Untuk apa aku bangkit, aku sudah tak punya seorangpun di dunia ini", lirihku, wanita itu menatapku lembut tapi menusuk. "Kau harus bangkit karna kau masih punya sesuatu yang harus kau perjuangkan!". Ungkap wanita itu. Aku hanya diam. Wanita itu masih setia menemaniku, selama satu jam dia masih duduk di dekatku, wanita itu sesekali mengecek infus ku, dia keluar aku pun merasa lega, tapi dia kembali lagi membawa makanan baru untukku. "Namamu siapa?", tanyanya lembut, "Khadijah". Lirihku. "Nama yang bagus". Aku hanya diam, tapi perutku terasa nyeri, aku pun hendak beranjak ke kamar kecil, tapi badanku tidak kuasa.
"Kamu mau ke kamar mandi?, sebentar akan aku panggil seseorang untuk membawamu", aku mencegah wanita itu yang akan memanggil seseorang. "Tidak perlu nyonya, aku bisa", "kamu yakin?". Aku mengangguk, diapun akhirnya memapah ku ke kamar mandi.
Ceklek...
Setelah selesai berhadas aku keluar dari kamar mandi, dan ku dapati wanita itu bersama dokter wanita, juga pria tampan di sampingnya berdiri menatapku. "Khadijah, ini dokter Reni, dia yang akan memeriksa mu", ungkap wanita itu, aku memegangi perutku yang terasa keram. Aku pun luruh ke lantai beruntung dengan sigap pria itu meraihku dan menggendongku dan membawa ke tempat tidur. Dokter Reni memeriksaku. "Nona, anda harus makan, karna asam lambung anda kambuh, jika anda tidak makan anda akan lemah", tutur dokter Reni memberikan obat. Pria itu menatapku, aku ingat sepertinya pernah melihatnya saat di rumah, dan benar saja dugaan ku. Dia adalah salah satu orang yang membunuh ayahku. Ketika dokter Reni selesai memeriksaku wanita itu mengantar dokter Raeni keluar dari kamar. Tinggal aku bersama pria itu. Ku coba untuk bertanya padanya.
"Dimana abah?", lirihku, pria itu menatapku, "Ayahmu sudah meninggal". Jawabnya singkat. jantungku seakan tidak berdetak mendengar penuturan pria itu. "Apa salah abah?, kenapa kalian membunuh abah?", aku terisak. Pria itu tak bergeming. Isakan ku makin dalam, ku cekal infus yang terhubung dengan tanganku, ku tarik selang itu hingga terputus dan darahku mengalir, pria itu kaget dengan ulahku.
"Apa yang kau lakukan?", geram pria itu, pandanganku seketika bunar dan tak sadarkan diri.
Mataku terbuka, ku lihat aku masih di ruang yang sama, dan selang infus ku sudah kembali sedia kala. Aku menghembuskan nafas kasar, ku lihat wanita yang tadi duduk bersandar di sofa. "Kau sudah bangun?", lirihnya. Aku hanya menatap ke atas tanpa menjawab pertanyaannya. Dia beranjak dari sofa dan duduk di sampingku, di genggamnya tanganku. "Nak, ku mohon, jangan lakukan seperti tadi lagi!". Guman wanita itu.
"Kamu tahu, aku juga perna merasakan yang kamu rasa saat ini, mungkin aku lebih para karna aku di jadikan tawanan bahkan mereka telah merenggut kesucian ku, kamu masih beruntung karena tuan muda masih menjagamu", lanjutnya.
"Kenapa aku tidak di bunuh saja, itu lebih baik untukku". Lirihku kemudian. Hening, baik aku dan wanita itu tidak ada yang berbicara, hingga 1 jam kemudian dia pamit untuk melakukan kewajibannya, Ku lihat jam di dinding menunjukkan pukul 1 siang, aku lupa jika dari kemarin aku tidak mengerjakan sholat.
"Aku keluar dulu, nanti jika kamu berkehendak tolong makanlah", ketika wanita itu hendak menutup pintu aku memanggilnya.
"Tungguh!!".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Neulis Saja
kamu mau melakukan shalat juga khadijah
2024-12-10
0