"Baron mau tidur bareng bapak aja," isak si bocah yang terlihat sangat putus asa. Sudah lama anak itu tak lagi berjumpa dengan sosok ayahnya.
"Baron ... coba dengarkan Ibu, Nak." ucapnya lembut sembari menangkup wajah sang putra. Disela-sela tangisannya, bocah berwajah tampan itu terus saja memanggil sang ayah. Keadaan putranya itu, semakin membuat si wanita terisak hebat.
Ia hanya bisa memeluk erat tubuh mungil sang buah hati, sembari terus membisikkan kalimat penenang. Menggunakan punggung tangannya, wanita tersebut berulang kali menghapus cairan bening yang menetes dari matanya.
"Baron anak yang baik, kan?" masih dengan suara yang bergetar, ia bertanya pada putranya. Sembari menangkup wajah tampan itu, ia mencoba untuk menenangkan emosi putranya.
"Tadi Baron sudah janji sama Ibu. Baron ingat?" tanya wanita berwajah ayu tersebut dengan suara yang serak. Ia jauh lebih lega, karena Baron sudah tak menangis hingga tersedu-sedu lagi.
Beberapa menit berlalu, ia tak kunjung mendapati jawaban dari sang putra. Bocah laki-laki itu hanya menyandarkan kepalanya didada sang ibu dengan nyaman. Tatapannya nampak kosong, sembari terus menatap ke arah batu nisan di sebelahnya.
"Baron janji sama Ibu, nggak bakal nangis kalau ziarah ke makam bapak. Kenapa Baron nggak tepatin janjinya ke Ibu?" tanya si wanita dengan mengangkat sedikit tubuh putranya, sehingga ia bisa menatap netra bulat tersebut.
Bulu mata si bocah, masih terlihat basah dengan air mata. Hal tersebut, membuat sang ibu menghembuskan napasnya berat. Menggunakan ibu jarinya, ia menghapus jejak air mata yang masih membasahi kedua mata sang putra.
"Baron selalu bilang ke Ibu ... Baron sayang sama bapak, kan?" Lagi dan lagi, ia tak kuat menahan air matanya. Anak yang selalu terlihat kuat itu, ternyata sangat rapuh.
Pemikirannya selama ini, terbukti salah. Ia kira bahwa anaknya bisa tumbuh dengan baik tanpa sosok figur seorang ayah. Nyatanya, anaknya itu hanya berpura-pura terlihat baik saat didepannya. Putra tunggalnya itu, tumbuh tanpa perhatian dari seorang ayah.
"Baron sayang banget sama bapak. Tapi, kenapa bapak nggak sayang sama Baron?" tanya sang buah hati, dengan nada yang terdengar sangat memilukan.
Tanpa menunggu lama, wanita itu kembali membawa tubuh mungil sang putra dalam dekapan. Ia mengelus punggung kecil yang bergetar itu, karena si bocah kembali menangis.
"Bapak sayang sama Baron, begitu juga dengan Ibu. Tapi ternyata, Tuhan jauh lebih sayang sama bapak." Hatinya benar-benar hancur, saat memorinya terpaksa mengenang lagi kejadian pilu dimasa lalu. "Baron harus ikhlas, ya, Nak? Biar bapak tenang di atas sana ..."
Putranya itu masih menangis, bahkan hingga tersedu-sedu. Kedua tangan mungilnya, terus memeluk erat tubuh sang ibu.
"Ba-baron sudah ikhlas bapak pergi. Baron mau, bapak tenang di atas sana." Bukannya mereda, justru tangisan seorang ibu dari satu orang anak tersebut semakin menjadi. Pelukannya semakin mengerat, dengan tubuh yang membungkuk.
Ia benar-benar tak menyangka, jika putranya harus didewasakan oleh waktu secepat ini. Ia menginginkan putranya, selayaknya anak-anak seumuran. Dimana mereka masih manja, dan banyak perkembangan didampingi kedua orang tuanya.
Namun, apalah daya? Semua telah terjadi, sesuai jalannya.
"Ibu jangan nangis lagi, ya? Sekarang udah ada Baron di sini," tuturnya dengan wajah yang terlihat sangat polos. Saat kedua telapak tangan mungil itu menangkup wajah sang ibu, angin sepoi-sepoi menerpa keadaan sekitarnya.
Masih dengan tubuh yang menunduk, wanita itu meneteskan air matanya. Kedua tangannya memegangi dada, dan menekannya kuat.
"Ibu jangan nangis, nanti bapak sedih liatnya ..." Bibir mungil itu kembali menasihati sang ibu. Tanpa disangka, Baron membawa kepala sang ibu dalam dekapannya. Kedua tangan si bocah menutup kembali surai ibunya yang tak tertutup oleh hijab yang merosot.
Saat wajahnya menempel di dada kecil sang putra, ia bisa mendengar detak jantung sang buah hati. Disanalah, air mata si wanita benar-benar tumpah. Usapan lembut dari tangan mungilnya, membuat si wanita memejamkan mata menikmati rasa nyeri yang menjalar di hatinya.
"Baron minta maaf ya, Bu? Baron nggak bisa nepatin janji," ucapnya dengan nada penyesalan. Kedua mata bulatnya, terus menatap lekat netra sang ibu.
Mendengar hal tersebut, membuat si wanita langsung menggelengkan kepalanya. Setelah menghapus linangan air mata yang membasahi wajahnya, wanita tersebut kembali memangku tubuh sang putra.
"Baron sayang sama Ibu. Jangan tinggalin Baron juga, ya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Rina Wati
mengandung bawang😭😭
2023-06-30
0
Leon Kampret
baru baca bab 1 udah melow
2023-05-30
0
cha
duuh Baroon...
napa ga ada yg koment...komen dong😉
2023-05-27
0