BAB 4

"Kok tumben sampai sore banget, Neng? Semua baik-baik aja, kan?" tanya salah seorang wanita paruh baya yang tinggal di dekat gapura masuk area pemakaman.

Sontak, Arita menghentikan langkah kakinya begitu mendengar pertanyaan dari wanita yang sudah dikenalinya. Lantaran posisi gendongan yang tak begitu nyaman, akhirnya ia mampir sejenak.

"Baron maksa ikutan, Nek. Mau nggak mau, harus nunggu dia lega dulu." Setelah dipersilakan oleh tuan rumah, akhirnya Arita mendudukkan tubuhnya disebuah kursi rotan. Untuk sejenak, wanita itu menghela napas panjang.

"Kok tumben-tumbenan dia ikut, Neng? Bukannya biasanya kamu sendirian, ya?" tanya wanita berwajah teduh di hadapannya.

Hanya seutas senyum manis yang terbit dibibir Arita. Wanita tersebut menundukkan kepala, sehingga netranya bisa melihat tidur nyenyak sang putra. Usapan lembut, seolah mengantarkan Baron untuk tidur lebih nyaman lagi.

"Mungkin dia udah kangen bapaknya, Nek. Dari beberapa hari lalu, memang sudah rewel selalu minta ikut Arita ke makamnya Mas Bayu." Telapak tangan lembutnya mengelus sayang kepala sang putra.

"Kamu yang sabar, ya? Seusia anakmu ini, memang sedang masa pertumbuhan. Jadi jangan kaget, kalau tingkahnya buat kewalahan." Arita menganggukkan kepala, karena ia sendiri sudah terbiasa oleh semua tingkah mengejutkan dari putranya.

"Nenek cuma mau pesen ke kamu, Nak ... Sebagai orang tua tunggal, kamu harus pinter-pinter ngatur emosi. Jangan sampai dia tumbuh, menjadi anak yang tempramental." Ucapnya dengan mengelus lembut tangan Arita. "Ingat, Baron butuh support dan kasih sayang ibunya."

Tutur wanita berkacamata itu, yang membuat Arita kembali tersenyum haru.

Tiba-tiba, seorang wanita dengan pakaian sederhananya mendekat dari dalam rumah. Ia menurunkan tiga buah cangkir dengan asap yang masih mengepul, tepat di atas meja dihadapannya.

"Nggak usah repot-repot, Mbak. Saya malah nggak enak," tutur Arita dengan menatap ke arah netra sang wanita.

Senyum lembut terpatri jelas diwajah yang mulai muncul sebuah keriput halus. Sebuah usapan lembut menyapu lengan Arita, disertai tawa ringannya. "Bibi sama sekali nggak kerepotan, Neng." Sahut wanita itu sembari duduk di sebelahnya.

"Justru kita malah seneng, ada Nak Arita di sini. Apalagi ada Baron juga, kan?" tutur wanita paruh baya yang ada di hadapannya tersebut. "Sayangnya dia ketiduran, jadi nggak bisa diajak bercanda."

Wanita paruh baya yang identik dengan rambut putihnya itu, mengusap kecil pipi sang bocah dengan lembut. Karena perbuatannya itu, Baron sedikit menggeliat dengan merengek kecil pada sang ibu.

"Aduh-aduh, cucu Nenek udah bangun?" Ucapan wanita paruh baya itu, membuat Arita tersenyum haru. Mereka sama-sama orang asing, yang belum lama saling mengenal. Namun siapa sangka, wanita asing itu justru memperlakukan dirinya sebagaimana keluarga.

Benar saja, meski merengek karena tidurnya terganggu, putra kecilnya itu mulai mengucek kelopak matanya. "Ibu ..." Panggil si bocah dengan suara yang terdengar serak khas anak kecil.

Begitu kedua mata bulat itu terbuka, kini terlihat sangat sembab dan bengkak. Sontak, hal tersebut membuat Arita tersenyum kecil. Karena menangis terlalu lama dan banyak menjerit, membuat bocah tampan itu terlihat sangat berbeda.

"Kenapa, Sayang? Ibu ada di sini," sahut wanita yang memangku tubuh Baron. Telapak tangannya mengusap lembut wajah tampan sang putra, dan mengecup keningnya singkat.

"Kasih minum dulu, Nak Arita. Kasihan suaranya serak begitu," titah seseorang yang duduk di sebelahnya, sembari mengulurkan sebuah cangkir ke hadapan Arita.

Setelah menganggukkan kepalanya sopan, ia mulai mendekatkan cangkirnya ke arah sang putra. Tanpa membantah, Baron menyeruput teh hangat yang disodorkan oleh ibunya. Baru mendapatkan dua tegukan, bocah itu langsung menggelengkan kepala.

"Udah?" tanya Arita untuk memastikan. Begitu mendapatkan anggukkan kepala dari sang putra, ia pun meletakkan cangkirnya kembali di atas meja.

Tatapan polos dari si bocah, menyoroti wanita paruh baya di hadapannya dengan bingung. Setelahnya berpindah ke arah wanita berumur, yang duduk di sebelah sang ibu. Bukannya merasa takut, bocah tampan itu justru mengerjapkan mata berulang kali.

"Baron baru pertama kali ketemu Nenek, ya? Makanya masih bingung gitu," guyon wanita yang kerap dipanggil bibi oleh si nenek.

Wanita paruh baya yang ada di hadapan keduanya pun, terkekeh geli. Saat tatapan dari mata bulat itu terarah kepadanya, ia tersenyum lebar sembari melambaikan tangan. "Baron belum kenal sama Nenek, kan?"

Setelah menggelengkan kepala, bocah bertubuh mungil itu kembali menyembunyikan wajahnya didada sang ibu. Arita hanya terkekeh kecil melihat tingkah sang putra.

Belum sempat mereka melanjutkan obrolan, seorang pria dewasa dengan balutan kemeja hitam pun, mendekat. Sebenarnya ia sudah memantau Arita dan Baron sejak keluar dari gapura pemakaman tadi.

"Arita ... ajak Baron pulang sekarang juga."

Terpopuler

Comments

Rama Fitria Sari

Rama Fitria Sari

hallo, salam kenal. Like dan komen sudah mendarat ya. Mampir kembali di karya baru ku "Jika masih berjodoh" dan "Akan kah kita berpisah" Mari saling mendukung

2023-07-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!