BAB 3

"Baron sayang sama Ibu. Jangan tinggalin Baron juga, ya?" pintanya dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelum putranya kembali menangis, dengan cepat ia meyakinkan dan menguatkan bocah laki-laki tersebut.

"Ibu nggak akan ninggalin Baron sendirian. Ibu yang bakal nemenin Baron sampai besar nanti," tutur ibu satu orang anak itu dengan yakin. Wanita itu menatap lekat manik mata sang putra, dengan usapan lembut yang ia berikan di lengan mungil si kecil.

Mendengar penuturan sang ibu, membuat Baron menganggukkan kepalanya. Usapan lembut kembali mendarat dipuncak kepala si bocah, diikuti kecupan lembut yang diberikan oleh sang ibu.

"Sekarang, Baron berdoa dulu. Minta ke Tuhan, supaya bapak diberikan ketenangan di atas sana. Doakan yang terbaik untuk bapak, Nak." Mendengar perintah sang ibu, bocah laki-laki itu langsung menganggukkan kepalanya.

Sama-sama dalam keadaan bersimpuh, keduanya menghadap ke arah makam Bayu. Suasana sore ini, cukup membuat hati terasa sangat nyaman.

"Bapak ... maafin Baron, ya? Tadi Baron nangis di deket bapak, terus bentak-bentak Ibu."

Untuk sekejap, Arita membeku ditempatnya. Meski suara putranya terdengar lirih, namun ia bisa mendengar dengan jelas ucapan bocah itu. Dalam diamnya, ia ingin berbincang dengan almarhum sang suami. Namun apalah daya, semua angannya tak dapat terwujud.

"Bapak jangan sedih ya, di atas sana? Baron janji, bakal jagain Ibu ..."

Setelah mengucapkan hal tersebut, Baron memejamkan mata dengan kedua tangan yang berada di depan dada. Seperti yang diajarkan oleh sang ibu, bocah itu mendoakan ayahnya dalam diam.

"Ibu, Baron ada di sini. Selalu di sebelah Ibu. Jangan pernah ngerasa sendirian lagi, ya?" ucap si bocah setelah menyelesaikan doanya. Tanpa disangka, ia mencium kening sang ibu dan kembali memeluk tubuh ramping tersebut.

Arita. Wanita tersebut hanya mengulas senyum, saat mendapati perilaku hangat putranya. Yang ia rasakan, sebuah rasa damai yang mulai memenuhi rongga dadanya. Pelukan yang jarang ia dapatkan, berlangsung sangat lama. Hingga tiba-tiba ia merasakan, napas Baron yang terdengar mulai teratur.

"Sst ... sst ... sst ..." bisik wanita tersebut sembari mengelus perlahan punggung sang putra. Masih dengan keadaan bersimpuh, wanita itu tetap memangku Baron seperti biasanya.

Tatapannya beralih pada gundukan makam di depannya. Tempat yang sangat sering ia kunjungi sendirian, tanpa sang putra. Terhitung saat putranya mulai memasuki kelas dasar, membuatnya jarang mengajak bocah laki-laki itu.

"Assalamualikum, Mas. Hari ini, aku ajak anak kita datang ke sini. Karena dia kangen bapaknya ..." Ucapan Arita langsung terhenti, saat hatinya kembali terasa nyeri.

Bayangan wajah pria yang masih ia cintai, kembali tergambar jelas dalam benaknya. Saat menunduk, netranya bisa melihat jika sang putra mulai tertidur dengan wajah yang nampak lelah.

"Baron tumbuh sama persis sepertimu. Wajah dan kebiasaan kalian, sangat mirip. Bahkan, sifatnya sangat lembut sepertimu." Arita bercerita seolah-olah ada sang suami disisinya. "Aku sangat beruntung, memiliki kalian berdua."

Sebuah kecupan hangat kembali ia sematkan dikening dan puncak kepala sang putra. Begitu juga dengan jemarinya yang menyentuh gundukan tanah di hadapannya.

"Jika Tuhan sudah memisahkan kita berdua, maka aku akan berusaha supaya Tuhan tidak memisahkanku dengan putra kita. Aku janji akan menjaganya sebaik mungkin," ucap Arita dengan menyentuh ukiran nama sang suami.

Tiga tahun sudah, pria tersebut meninggalkannya dengan buah hati mereka. Hari-hari yang dilalui keduanya, terasa sangat sunyi tanpa kehadiran Bayu disisinya.

Tak ada lagi sebuah sandaran, setelah kepergian sang suami. Ia harus menjadi wanita yang kuat, untuk putra satu-satunya. Sebisa mungkin, ia harus berusaha menjadi seorang ibu sekaligus bapak untuk Baron.

"Aku pamit dulu, ya? Hari udah sore, dan anak kita malah ketiduran." Arita mulai menepuk sebagian dress tiga perempat yang dikenakannya.

Wanita itu menyempatkan untuk mencium batu nisan yang berukirkan nama sang suami. Tak lupa, ia mengusapnya sekali lagi dengan lembut. Napas wanita itu kembali terasa sesak, begitu ia hendak bangkit dari posisinya.

"Kami pamit, Mas ..."

Sembari menggendong tubuh putranya, Arita mulai melangkah pergi. Meski hatinya terasa sangat berat, ia harus meninggalkan tempat ini. karena hari semakin beranjak sore, membuat wanita itu harus menyudahi perbincangannya dengan sang suami.

Flat shoes yang membalut kakinya, nampak sangat kotor oleh tanah pemakaman setelah diguyur hujan. Begitu juga dengan dress serta baju yang dikenakan oleh Baron, nampak lusuh karena menangis.

Seutas senyum terbit dibibirnya, saat merasakan tangan mungil sang putra semakin mengeratkan pelukannya. Kepala bocah itu bersandar nyaman diceruk lehernya, sehingga membuat Arita mengelus lembut surai lembut tersebut.

Keadaan sangat sunyi, hingga langkah kaki wanita itu tiba di ambang gapura. Dengan tenang, Arita terus membopong tubuh mungil sang putra sembari berbisik kecil. Telapak tangan lembut itu, menepuk ringan punggung si kecil.

"Kok tumben sampai sore banget, Neng? Semua baik-baik aja, kan?"

Terpopuler

Comments

cha

cha

sejauh ini, bagus tulisa. n ceritanya 👍

2023-05-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!