Beberapa hari kemudian. Hayden sedang berada di sebuah kafe bersama seseorang. Di hadapannya duduk seorang wanita yang sudah mengkhianatinya. Wanita itu bernama Julia, ia menuduk dan menangis karena malu.
"Hentikan aktingmu, Julia. Aku tak akan terpengaruh oleh air matamu. Jadi, cepat katakan tujuanmu ingin bertemu karena ini adalah pertemuan terakhir kita," kata Hayden.
"A-aku minta maaf, Hayden. Aku tidak bermaksud melakukannya. Jaydenlah yang merayuku, dia membuatku melakukan itu dengannya," kata Julia.
Hayden tersenyum masam, "Lalu? kau ingin aku percaya dan mengasihanimu? kalaupun benar Jayden merayumu, bukankah kau seharusnya menolak? Sekalipun kau dipaksa. Dari apa yang kulihat, kau tak melakukan itu. Kau justru mendesah menikmati permainannya." kata Hayden.
Perkataan Hayden tak terbantahkan lagi. Julia tidak mampu berkata-kata dan hanya langsung diam. Hayden segera berdiri dari duduknya dan menatap Julia lekat. Hayden berterima kasih, atas luka yang digoreskan Julia. Hayden juga mendoakan, agar Julia bahagia bersama Jayden.
"Kalian sangat serasi," kata Hayden yang langsung pergi.
Julia menatap kepergian Hayden. Ia ingin sekali menghadang Hayden yang ingin pergi dan memohon pengampunan. Sungguh, ia merasa sangat bersalah pada Hayden. Julia ingat, jika Hayden adalah pria yang lembut dan hangat juga memperlakukannya dengan tulus. Julia menyesal, ia sudah menyakiti hati Hayden.
***
Hayden ada di dalam mobilnya di parkiran kafe. Saat hendak menyalakan mesin mobil, ponselnya beedering. Ia mendapatkan panggilan dari sang ayah, Dion. Hayden mengerutkan dahi, ia merasa pasti ada keadaan genting, mengingat ia baru dapat kabar tentang keadaan perusahaan pusat, di mana Dion dan Jayden bekerja.
Hayden menerima panggilan Dion. Dion meminta Hayden datang ke rumah karena ada yang ingin dibicarakan dan itu hal penting. Dion bertanya lagi, kapan Hayden akan datang?
"Kapan kai datang?" tanya Dion.
"Sekarang aku akan langsung ke sana, Pa." jawab Hayden.
"Ya, baiklah. Ayah tunggu, hati-hati di jalan." kata Dion yang langsung mematikan panggilan.
Hayden mengerutkan dahi, ia berpikir hal penting apa, sehingga membuat Papanya sampai memanggilnya datang ke rumah. Padahal Papanya tahu, bagaimana hubungan Hayden dengan Merry dan Jayden.
Hayden segera menyalakan mesin mobil Tidak lama mobil pun melaju perlahan meninggalkan parkiran kefe. Hayden dalam perjalanan menuju rumah utama, tempat tinggal Papa, Mama tiri dan saudara tirinya.
***
Di rumah, di ruang tengah. Jayden, Merry dan Dion menunggu kedatangan Hayden. Jayden kesal karena Hayden tak kunjung datang. Padahal ia sudah sepuluh menit menunggu.
"Kenapa si sialan ini tak juga datang. Membuatku bosan saja." batin Jayden.
"Kenapa dia lama sekali," gumam Merry yang juga kesal menunggu.
"Sayang, apa kau yakin dia akan datang? kenapa lama sekali?" tanya Merry.
"Bersabarlah. Dia berkata langsung datang. Dia pasti datang kalau sudah menjawab seperti itu." kata Dion.
"Apa mungkin dia sengaja mengulur waktu? jangan-jangan nanti dia beralasan sibuk dan tidak jadi datang," kata Jayden.
Dion menatap Jayden, "Tutup mulutmu, Jay! ingatlah apa yang telah kau lakukan. Kalau sampai kita tak menjadapatkan dana dan membayar ganti rugi, kau yang akan kukuliti hidup-hidup." kata Dion kesal.
Jayden mengerutkan dahi, "Papa, kenapa Papa menyalahkanku terus? Kejadian itu bukan sepenuhnya salahku. Salah mereka yang tak bisa diajak berdiskusi," Kata Jayden tersinggung.
"Hahh ... (menghela napas) dasar anak tak berguna. Selalu saja kau membuat masalah. Sampai kapak kau akan terus menyusahkanku, Jay? Lihat dan contoh Adikmu, Hayden. Dia selalu mandiri dan selalu bisa diandalkan lebih darimu." kata Dion yang langsung pergi meninggalkan Merry dan Jayden.
Merry mengepalkan tangan menatap kepergian Dion. Ia marah dan kesal karena Jayden dibanding-bandingkan dengan Hayden.
"Apa pantas dia berkata seperti itu? Dia membandingkan putraku yang berharga dengan putra selingkuhannya? Astaga ... tidak bisa kupercaya." batin Merry.
Jayden juga tampak kesal. Ia selalu dibanding-bandingkan dengan Hayden. Ia muak, karena sang Papa terus memuji dan meninggikan Hayden.
***
Hayden datang ke rumah utama. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah terburu-buru. Hayden melihat Merry dan Jayden duduk di ruang tengah. Hayden menyapa Mama tirinya dan langsung pergi ke ruang kerja sang Papa karena Hayden tak melihat Papanya di ruang tamu.
Hayden berdiri di depan pintu ruang kerja Dion. Ia diam menatap pintu sesaat, lalu mengetuk pintu. Hayden membuka pintu dan masuk. Ia berjjjalan mendekati sang Papa yang sedang duduk di sofa membaca dokumen.
"Pa ... " sapa Hayden.
Dion menatap Hayden, "Kau sudah datang. Duduklah dulu," pinta dion.
Hayden duduk di sofa di hadapan Dion. Ia menatap Dion dan mengamati ekspresi wajjjah Dion. Hayden merasa Dion sedang gelisah dan penuh rasa khawatir.
"Apa yang teradi, ya? Papa terlihat sedang khawatir." batin Hayden.
"Ada apa, Pa? Apa Papa mau bicara soal perusahaan pusat? aku sudah dengar apa yang terjadi. Kalau Papa mau meminjam dana perushaan cabang, maka itu akan menghambat kinerja perusahaan cabang. Dana yang dibutuhkan pasti banyak. Lagipula dana darurat perusahaan cabang tak akan cukup." jelas Hayden.
Dion menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan napas. Ia menatap putra bungsunya dan meminta tolong pada putranya itu.
"Papa memintamu datang, karena ingin meminta tolong. Benar katamu, perusahaan cabang tak akan bisa membantu. Justru karena pusat mengalami kesulitan, Papa khawatir akan mempengaruhi perusahaan cabang." jawab Dion.
"Minta tolong apa, Pa?" tanya Hayden penasaran.
Dion pun mengutarakan niatannya. Ia berharap Hayden menikah bisnis dengan putri dari seorang konglomerat. Dion mengatakan,kalau itu adalah satu-satunya jalan menghindari kebangkrutan. Hayden terkejut, ia langsung menolak halus keinginan sang Papa dengan menjelaskan alasannya.
"Pa, aku belum ingin menikah. Mari kita pikirkan cara lain." Jawab Hayden.
"Tidak bisakah kau membantu Papamu ini, Hayden? Kakakmu sudah mengecewakan, kau tidak boleh membuat Papa semakin kecewa. Papa menaruh harapan padamu, Nak. Kali ini saja, tolong bantu Papa." kata Dion memelas dengan wajah sedih.
Hayden mengerutkan dahi, "Kenapa bukan Kak Jay yang menikah? atau Kakak yang memintanya pada Papa, agar aku saja yang menikah?" kata Hayden menerka.
Dion terkejut. Ia langsung terdiam tak bisa berkata-kata karena dugaan Hayden itu benar. Melihat Papanya diam saja, Hayden hanya bisa tersenyum masam.
"Papa ternyata tidak berubah sama sekali. Papa selalu saja membedakan kami. Padahal aku dan Jayden sama-sama anak kandung Papa. Kami hanya berbeda Ibu. Kenapa Papa seperti ini padaku? sejak kecil sampai saat ini aku selalu menuruti kemauan Papa. Sekarang, menikah pun Papa harus campur tangan. Ini tidak adil, Pa." kata Hayden. Mengungkapkan isi pikiran dan hatinya.
Dion memejamkan mata dan menghela napas, lalu kembali membuka mata. Ia merasa bersalah pada Hayden dan meminta maaf. Ia tidak sangka Hayden akan langsung mengutarakan isi hatinya. Terlebih, perkataan Hayden begitu menusuk dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments