" Maksud mu, itu semua rekayasa untuk mengeluarkan Salwa dari pondok ini. "
"Iya, dan itu rencana Zahrana. "
Sepandai pandai tupai melompat. Akhirnya jatuh juga. Sepandai pandai menyimpan bangkai pasti bau nya akan tercium juga.
Persis pepatah di atas, akal bulus Zahrana akhirnya sampai juga ketelinga Hilman.
Wajah Hilman langsung memerah, dia langsung meninggalkan Laila tanpa berkata kata. Dia masuk ke kamarnya dan mengamuk.
Umi yang mendengar kegaduhan di kamar Hilman, langsung mengetuk daun pintu kamar anaknya. Ia ingin memastikan keadaan anak bungsunya.
"Hilman, ada apa Nak? "
Hilman pun membuka pintunya, ia terduduk di kasurnya dengan mengacak acak rambutnya. Ia benar-benar bak anak kecil dihadapan ibunya. Jauh sekali pada saat di luar rumah yang penuh karismatik. Ia langsung menjatuhkan kepalanya ke paha ibunya.
"Ada apa Nak? Ayo cerita? "
"Umi, ternyata Laila memberi tahu bahwa Salwa kemaren itu di tuduh alias di fitnah. Aku ingin tetap Salwa menjadi istri ku. "
"Fitnah bagaimana? Siapa yang memberi tahu mu? "
"Laila, dia tadi bercerita kepada ku. "
"Astaghfirullah. Ya Allah, " Ucap Umi yang tidak dapat membendung keterkejutannya.
"Jangan beritahu Abi, Umi. Jika Abi tahu, Abi pasti akan malu. "
"Tidak Nak, tidak akan. Nanti aku ingin langsung mendengar dari Laila. "
"Aku akan bertemu dengan Salwa Umi. Aku ingin dia kembali menerima ku. Doakan aku Umi, semoga hati Salwa bisa menerima ku kembali. "
"Tentu saja Hilman. Doa Umi selalu untuk mu. "
Dipeluknya anak bungsunya, ia turut bersedih karena dengan mudahnya pula termakan fitnahan itu. Sampai-sampai membatalkan perjodohan anaknya sendiri. Ia sadar, hati Hilman sudah terpaut kuat dengan Salwa.
...■□■□■□■□■...
Hilman di temani Kakaknha Gibran memberanikan untuk pergi ke rumah Salwa. Ya, dia sudah hapal jalanan menyusuri rumah Salwa karena ia pernah 2 kali berkunjung kesana saat di undang acara Syukuran dan saat mengkhitbah Salwa.
Di jalan, ia mencoba merangkai kata agar pas di dengar saat mengucapkan kata maaf.
"Aduh."
"Kenapa kamu Hilman? " Gibran sadar akan kekalutan Adiknya. Sepanjang jalan, tangannya tak lepas mengikis kuku kukunya. Begitulah sifat adiknya apabila dalam keadaan gelisah.
"Emm... Tidak apa apa. "
"Kamu gugup ya, santai saja. Cukup berkata jujur. Utarakan kebenarannya. Nanti pasti mengalir saja. "
Hilman hanya berdiam diri saja, dia sibuk dengan fikirannya sendiri. Menimbang nimbang untuk merangkai kata yang pas.
"Kak Gibran, berhenti. Itu Salwa kan di bonceng pakai sepeda motor. Siapa laki-laki itu? "
"Mana? Aah iya."
Gibran sadar, ada cemburu dihati Adiknya yang mulai tersulut. Api cemburu itu pun semakin mulai membesar, sadar akan hal itu. Gibran mencoba memberikan fikiran positif untuk mengusir api cemburu adiknya.
"Mungkin dia Kakaknya. "
"Dia tidak punya Kakak. Ikuti mereka Kak. "
"Waduh, salah lagi aku! " Celetuk Gibran dengan matanya yang tak pernah lepas dari jalan.
Mobil mereka pun perlahan membuntuti Salwa dan si pria asing itu. Dan tepat mereka berhenti di halaman rumah Salwa.
Bukan berpamitan, pria yang Hilman awasi malah terlihat seakan leluasa masuk dan keluar rumah keluarga Salwa. Siapa Dia??
Hilman keluar dari mobil, di susul oleh Gibran. Bukannya salam, yang ada malah pertanyaan to the point yang keluar dari mulut Hilman.
"Kamu siapa? "
"Hah! "
Pria yang terlihat sederhana di mata Hilman itu hanya bengong karena langsung di todong dengan pertanyaan dari orang yang baru saja datang.
"Cari siapa ya Mas nya ini? "
"Pak Somad! " jawab Gibran menimpali.
P
"Oh iya, tunggu sebentar ya saya panggilkan. "
Bukannya menjawab, Imran langsung saja pergi ke dalam rumab dan memanggil mertuanya. Hilman dan Gibran berpadangan satu sama lain, fikiran mereka sama. Penasaran dengan pria yang berbicara dengan mereka tadi.
"Salwa, mana Bapak, ada yang mencari Bapak di luar? "
"Siapa Mas? "
Salwa pergi mengintip di celah kaca jendela, betapa terkejutnya Salwa saat melihat wajah yang pernah terpatri di hatinya, sekarang sudah berada di teras rumahnya. Orang yang ia harapkan kehadirannya dulu, sekarang sudah hadir. Tapi sekarang semua sudah berbeda.
Imran melihat raut wajah Salwa yang berubah saat melihat wajah wajah yang di teras rumah pun menjadi bertanya tanya. Ada hubungan apa mereka? Ada curiga yang tumbuh di hatinya tatkala melihat perubahaan suasana wajah istrinya.
"Siapa Imran? "
"Kurang tahu Pak, tapi mereka mencari Bapak. "
"Oh iya, "
Mertua nya pun keluar dan wajah Mertua nya sontak merah seakan menahan amarah. Namun mertuanya mencoba menahannya dengan mengepalkan tangannya.
"Oh Nak Hilman, silahkan duduk. Ada keperluan apa ya kalian kesini? "
Hilman memandang keseluruhan rumah, ada bekas tenda yang di tumpuk, bambu-bambu dan beberapa kursi undangan seperti habis hajatan yang besar- besaran di kampung.
"Begini Pak, Saya datang kesini ingin bertemu Salwa kembali. Dan ingin mengikat Salwa kembali, karena... "
"Maaf Bapak menyela Nak Hilman. "
Pak Somad tidak sabar menunggu susunan kata yang terlontar dari mulut Hilman. Ia sangat ingat saat anaknya Salwa dikeluarkan di Pondok. Pandangan mata Hilman seakan jijik dan tidak sudi beristrikan seperti anak bungsunya. Bahkan sekarang, Salwa harus menelan pil pahit. Ia tidak bisa meneruskan sekolahnya karena di berhentikan alias di DO dari sekolahnya.
Jika bisa, Somad ingin menghantam Hilman. Namun, ia sadar. Kemarahannya tidak harus selalu ia turuti dengan baku hantam.
"Imran, mari sini Nak. "
"Inggih Bapak. " Imran datang berdiri di belakang kursi Pak Somad.
"Duduk sini Nak, begini Nak Hilman. Rupa rupanya, Surar undangan aku lupa mengantarnya ke pondok. Perkenalkan, Imran Maulana. Dia adalah suami Salwa. "
Imran yang duduk di tengah-tengah pembicaraan mereka pun tampak bengong dengan topik pembicaraan yang memang tidak dia ikuti dari awal. Salwa keluar dengan membawakan air minum dan kue, sebenarnya hanya kesempatannya saja untuk bertemu langsung dengan Hilman. Orang yang pernah berada di hatinya.
"Perkenalkan Imran. Mas nya ini siapa ya? "
Bukannya menyambut tangan Imran untuk berjabat tangan. Hilman malah cuek dan memandang seolah meremehkan kepada Imran.
"Kenapa Bapak tidak konfirmasi, bukan kah Salwa masih terikat dengan saya. "
"Saya rasa tidak lagi, karena Kiayi Ahmad sudah memutuskan ikatan kalian. Terima lah, kalian memang tidak berjodoh. "
Mendengar itu, Hilman langsung berdiri tanpa bersalaman dengan Imran. Hilman langsung mencium punggung tangan Pak Abdul Somad. Perasaannya hancur lebur. Jantung nya seakan runtuh saat mendengar bahwa Salwa sudah dipersunting oleh orang yang duduk di hadapannya.
Hari itu seakan hari yang paling buruk bagi Hilman. ia sudah benar benar terlambat. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Ia pulang dengan tubuh gontai. Seakan semua sudah tidak ada harapan lagi.
Ia kehilangan semangat hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments