Eps 02

"Jadi bagaimana Nek? kapan kira - kira saya bisa menjalankan amanah almarhum?" tanya bu Daniah dengan wajah yang sedih. Karena sudah beberapa kali bu Daniah mendatangi nenek namun jawaban nenek masih tetap sama.

"Apakah tidak terlalu dini untuk Emira ?" dia bahkan belum genap 18 tahun." sambung nenek dengan wajah sedih.

"Bukankah dua minggu lagi Emira sudah 18 tahun nek?" kami sangat merasa khawatir dan tidak tenang jika amanah almarhum belum bisa kami penuhi, selama ini kami selalu memantau keadaan Emira dari jauh. kami ingin lebih dekat mulai sekarang." mohon Pak Barra pada nenek.

Nenek Emira terlihat menghela nafas berat, disatu sisi dia bersyukur cucu satu - satunya sudah ada yang bisa menjaga, karena kondisinya saat ini juga sering sakit-sakitan. Dia tidak ingin meninggalkan Emira seorang diri tanpa pendamping. Namun di sisi lain, dia juga tidak bisa memaksakan kehendak Emira, nenek khawatir Emira akan sakit hati dan tidak bahagia dengan perjodohan ini.

"Baiklah, nenek akan bicara pada Emira, namun nenek tidak akan memaksa jika memang dia belum bisa menerima perjodohan ini." akhirnya nenek memberikan kesempatan karena merasa kasihan pada Bu Daniah dan Pak Barra.

"Alhamdulillah, terimakasih banyak nek, saya sangat berharap bisa mendengar kabar baik secepatnya." Bu Daniah menjawab dengan antusias.

"Kalo begitu lusa saya akan menanyakan kembali terkait hal ini ya nek, semoga sudah ada jawaban dari Emira, saya bener benar berharap."

**

Rumah Sakit  AL Ghazi

Pagi ini embun begitu enggan meninggalkan perannya, masih setia menyeliputi bumi meski sang mentari telah menampakan sinarnya. Seorang pria tengah menengadah menatap langit langit ruang kerja. Saat ini masih pukul 05.27 menit, Dia menghela nafasnya berat, memijit pelipis matanya yang terasa berdenyut. Operasi cangkok jantung yang di mulai pada pukul 23.00 dini hari baru berakhir beberapa menit yang lalu.

Dia adalah Emir Farabi Ghazi. Seorang dokter spesialis jantung sekaligus direktur utama rumah sakit Al Ghazi. Anak pertama dari Barra Farabi Ghazi yang juga merupakan seorang Dokter dan pemilik Rs. Al Ghazi.

tok tok tok suara pintuk di ketuk.

Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik membuka pintu tanpa menunggu jawaban dari si empunya.

"Sayang.. bunda masuk ya." Emir beranjak dari duduknya, mendekat pada sang bunda yang sudah duduk di sofa yang terletak di balik pintu.

"Ada apa bun pagi buta sudah ke sini?" Emir memulai percakapan setelah menyalami bundanya.

"Ih kamu ini, masa menengok anak sendiri harus lihat waktu."  Emir tergelak melihat ekspresi bundanya yang dibuat cemberut.

"Sayang.."

Bunda Daniah berpindah ke sebelah anaknya, mengambil tangan Emir dan mengusapnya dengan sayang. Emir hanya melirik tangan yang di usap sang bunda, beberapa menit masih belum ada suara, firasatnya sudah mulai tidak enak. Pasti ada sesuatu yang akan terjadi.

"Kenapa bun? langsung saja, Emir tau bunda akan meminta sesuatu." masih tetap dalam posisi melirik bundanya.

"Emm sayang.. apa kamu masih ingat dengan almarhum tante Sarah dan Om Bani?" tanya bunda memulai maksudnya.

"Teman bunda yang beberapa tahun lalu mengalami kecelakaan bukan?" jawab Emir mencoba mengingatnya.

"Benar sayang.. mereka adalah sahabat bunda, Bunda belum bercerita padamu hal penting, tante sarah adalah orang yang sudah mendonorkan ginjalnya untuk bunda, bagi bunda dia bukan hanya sabahat tetapi juga keluarga."

Bunda Daniah menahan sesak di dada yang mulai menusuk hati jika mengingat sahabatnya ini. Air matanya lolos begitu saja dari tempatnya. Emir juga baru tau bahwa yang mendonorkan ginjal sang bunda adalah teman bunda, karena pada saat bunda Daniah sakit Emir masih kecil dan belum mengerti, bahkan bunda juga tidak pernah mau menceritakan terkait sakitnya dulu.

"Setelah beberapa hari kecelakaan itu terjadi kondisi keduanya tidak kunjung membaik meskipun sudah dilakukan operasi. Beruntung Allah masih sayang pada bunda dan memberikan kesempatan bunda untuk menemani mereka sampai nafas terakhirnya."

Bunda Daniah mengapus air matanya yang terus menetes. Emir mengusap tangan bunda untuk memberikan kekuatan dan ketenangan.

"Kamu juga pasti ingat kan anak tante Sarah yang dulu usianya masih 8 tahun?" bunda Daniah menjeda ucapannya.

"Di detik detik terakhir tante Sarah dan om Bani, mereka mempercayakan anaknya pada bunda. Bunda sudah janji akan menjaganya, Apakah kamu mau bantu bunda untuk memenuhi janji bunda pada kedua sahabat bunda sayang.?"

Bunda Daniah memohon dengan menundukan pandangannya, tubuhnya bergerat menahan tangis yang memilukan.

Sungguh Emir tidak bisa melihat cinta pertamanya menangis seperti ini, dia memang pria dingin dan tidak banyak bicara, namun dia tidak akan membiarkan wanita yang begitu di cintainya menyimpan lukanya sendiri.

"Baik bunda, Emir akan menjaganya, Emir akan menempatkan selalu disisi Emir." Bunda Daniah langsung memandang anaknya dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. Diusap air mata itu oleh tangan sang anak.

"Emir akan menikahinya bun." Tanpa kata bunda Daniah memeluk tubuh Emir dan terus berucap terimakasih.

"Apakah kamu benar benar akan menikahinya Emir?", tanya bunda untuk meyakinkan hatinya.

"Seperti yang bunda inginkan bukan?" jawab Emir lirih menahan gejolak yang ada di hatinya.

"Sungguh, bagaimana bisa aku langsung mengatakan akan menikahinya, bertemu saja tidak pernah" batin Emir bermonolog.

"Terimakasih Emir, Terimakasih, bunda benar benar sangat berterimakasih pada mu nak."  balas bunda mengusap dan merapihkan rambut Emir dengan senyum dan mata sayunya.

- - -

07.30 am SMA Tunas Harapan

Rapat Osis yang di pimpin oleh Anggasta sudah berlangsung selama 15 menit, waktu yang di berikan untuk mengurus persiapan camping hanya sisa 12 hari, di potong ujian Akhir semester dua selama lima hari yang artinya sisa waktu hanya tujuh hari lagi. Tempat, waktu, anggaran, dan susunan acara telah di tetapkan. Pengurus osis mendapatkan tanggung jawan sesuai bagiannya. Dikarenakan Emira adalah sekretaris, dia yang akan mengkordinir semua saksi. Rapat berlangsung selama 3 jam, tepat pukul 10.15 pagi rapat osis berakhir, berbarengan dengan jam istirata berbunyi.

"Angga, kayanya Sabtu atau Minggu mesti kumpul lagi untuk panitia intinya, gue takut masih ada yang kurang."

Della yang juga sebagai anggota inti tepat nya bendahara 1 dan karin sebagai bendahara 2 mengintruksi.

"Oke, kita kumpul di kafe depan sekolah aja." Jawab Anggasta sambil berlalu keluar ruangan.

"Laper nih kantin yu." Ajak Emira pada kedua sahabatnya.

"Banget.. hayo, kembung gue cuma minum air selama 3 jam." Della beranjak lebih dulu ke luar diikuti Emira dan Karin, karena tinggal mereka yang masih ada di ruangan rapat.

Seorang siswi menubruk Emira dan kedua sababatnya saat menuruni tangga dari arah atas. Beruntung Kiran masih bisa berpegangan pada tiang tangga, dan Della juga langsung mepet ke tembok, namun karena Emira yang ada di tengah dan tidak siap untuk berpegangan pada apapun akhirnyapun tumbang.

"Arrkkhh.." teriak seseorang tertahan.

"EMIRA.." Della dan Karin berteriak berbarengan.

"Astagfirullah.. maaf gue ngga sengaja." Emira bangkit dari punggung pria yang ada di bawahnya, beruntung lengan Emira masih bisa menahan dan bertumpuan pada punggung pria tersebut sehingga tidak membuat dirinya harus bersentuhan langsung dengan yang bukan mahram nya.

Hal ini mengundang perhatian siswa siswi yang akan menuju ke kantin, beberapa memandang rendah Emira namun juga tidak sedikit yang menatapnya kasian. Entah siapa tadi yang menubruknya, karena saat ini orang tersebut sudah tidak ada di sekitar mereka.

"Cari perhatian banget tuh Emira."

"Sok kecantikan." bisik bisik terdengar dari siswi yang tidak menyukai Emira.

"Sorry sumpah gue ngga sengaja Arka, lo ngga papa kan?" Emira panik karena yang di tubruk ternyata Arkana.

Arka memegangi tangannya yang tadi digunakan untuk tumpuan tubuhnya.

"Iya gue ngga papa, tadi gue liat tu anak kaya sengaja mau nabrak kalian." Jelas Arka yang membuat Della cengo, Entah karena jawaban Arka yang menyebutkan mereka sengaja di tabrak atau karena mereka memang baru mendengar suara Arka.

"Eh lo bisa ngomong?" Tanya Della ambigu.

"Dia manusia oon." Kiran menyela Della

"Maksud gue dia bisa ngomong bahasa indo juga, gue kira ngga bisa, kan dari kemarin dia diem aja." Della kembali berbicara

"Haha bisa lah, gue juga kan orang indo. pada mau ke kantin kan, hayo lah bareng." Ajak Arkana sekalian.

“Beneran bisa ngomong dia.” Della masih tidak percaya.

"Bener ya lo udah ngga papa, jangan nuntut gue kalo lo kenapa napa." Terang Emira sambil berjalan bersebelahan dengan Arkana.

"Sante." Jawab Arkana singkat.

“Oke deh, btw makasih ya sebelumnya.” Ucap Emira.

"Woy ka, tunggu.." Andi dan Anggasta menghampiri Arkana.

"Eh Mir, pada mau ke kantin ?" Anggasta basa basi.

"Kaga kita mau ke toilet." Della menjawab sambil berlalu masuk ke kantin dan langsung memesan makanan.

"Astaga salah ngomong kayanya gue." Anggasta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Biasa bro cewek kalo lagi bete susah di ajak ngomong." Timpal  Arkana.

**Bersambung**

_Dilain kisah\, Cinta tumbuh bukan karena kehendak kita melainkan karena keadaan yang memaksa kita untuk mencintai_

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!