Ujang sudah standby di pintu gerbang sekolah, seperti biasa menunggu aku keluar. Gilaa, Ujang pake iket kepala dong ala-ala Naruto gitu.
"Imas, Ayo kita lomba lari pulangnya!" Ujang menantangku.
"Hahaha.. mau melawan Ninja Hatori?" Jawabku ngakak.
"Ayo, Ujang! Siapa takut melawan Ninja Hatori?" kataku sambil tersenyum.
Kami berdua langsung berlari secepat mungkin meninggalkan pintu gerbang sekolah. Ujang dengan iket kepala ala-ala Naruto dan aku dengan semangat mengikuti tantangan lomba lari pulang. Langit senja yang indah memancarkan sinar jingga keemasan, menciptakan suasana yang semakin membara.
Kami melewati jalanan yang ramai, melintasi trotoar dan berbelok-belok di setiap tikungan. Ujang berlari dengan lincah, mengayunkan tangannya ke samping seolah-olah sedang menggunakan teknik khas Naruto. Aku terus berlari dengan kecepatan maksimal, menyusul Ujang yang semakin menjauh di depan.
Tawa riang mengisi udara saat kami melintasi taman kecil yang dipenuhi pepohonan rindang. Orang-orang yang melihat kami berdua berlari dengan semangat hanya bisa terpana dan tertawa melihat tingkah kami yang bersemangat seperti anak kecil.
"Tunggu aku, Ujang!" seruku sambil menambah kecepatan. Aku semakin mendekatinya, tapi Ujang tetap mempertahankan jarak dengan tangkasnya.
Ujang tau cara membuatku bahagia, dia mencoba berusaha menjadi sosok yang aku idolakan seperti, Naruto, Ninja Hatori dan bahkan saat aku suka sama Sailormoon... ehh.. nggak ding, Ujang gak mau pake rok wanita, hahaha.
sudah hampir 15 menit kami berjalan menyusuri sawah yang luas, kini kami harus masuk ke area kebun yang penuh dengan pohon bambu. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah kami, menciptakan suara desiran daun bambu yang menenangkan. Cahaya senja yang temaram memancar di antara celah-celah pohon, memberikan nuansa magis pada lingkungan sekitar.
"Imas, kita bermain petak umpet di antara pohon bambu ya!" seru Ujang dengan semangat.
"Ide bagus! Tapi tempat ini cukup luas, jadi kita harus berhati-hati supaya tidak tersesat," kataku sambil tersenyum.
Kami berdua mulai berlarian di antara pohon bambu yang tinggi. Suara langkah kaki kami terdengar di antara heningnya kebun. Setiap kali ada jeda, kami bersembunyi di balik batang-batang bambu yang rapat, menutupi napas kami yang terengah-engah.
Waktu berlalu dengan cepat, dan kami semakin larut dalam permainan petak umpet. Sensasi bersembunyi di antara pohon bambu yang tinggi memberikan kegembiraan yang tak tergantikan. Setiap kali aku hampir menemukan Ujang, dia dengan cepat berlari ke tempat lain, meninggalkanku dengan tawa kecil yang menggelegar di keheningan kebun.
Aku terus berusaha mencari Ujang dengan hati-hati, mengendap-endap di antara bambu-bambu yang berjajar rapi. Suasana menjadi semakin misterius dengan redupnya cahaya senja dan suara hening yang menyelimuti sekeliling kami. Namun, kegembiraan dan semangat kami tidak pudar.
Setelah beberapa putaran petak umpet yang seru, akhirnya aku berhasil menemukan Ujang yang tersembunyi di balik pohon bambu yang tinggi. Dia tertawa terbahak-bahak, menyadari bahwa aku akhirnya menemukannya.
"Tertangkap!" seruku dengan riang.
Ujang mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. Dia tersenyum lebar, mengakui kekalahan dalam permainan ini. Kami berdua duduk di tengah kebun bambu, masih terengah-engah setelah berlarian dan bersembunyi dengan semangat.
"Seru sekali, Imas! Tapi, kita harus pulang sekarang." Ujar Ujang sambil mengusap keringat di dahinya.
"Aku setuju, Ujang. Permainan petak umpet di kebun bambu ini benar-benar memberikan sensasi yang berbeda," kataku sambil tersenyum puas.
Sampai dirumah, aku agak terkejut dengan kedatangan Vey. "Ngapain itu orang ganteng datang ke rumah?" Tanyaku dalam hati.
Aku bergegas menuju rumah dan Ujang mengikuti dari belakang.
"Eh.. Vey, ngapain kesini? mau traktir makan lagi?" tanyaku bercanda.
"Hehehe.. kalau kamu mau, ayo!" jawab Vey semangat.
"Duhh... gak mau ah, dah mau maghrib, harus siap-siap ke pengajian." Aku mengerenyitkan dahi karena pengen juga sih makan gratis, tapi takut ketinggalan hapalan ngajiku.
"Nggak, Imas. Aku kesini cuma mau Silaturahmi karena aku sekarang resmi jadi tetangga kalian." Jawab Vey dengan senyum ramah khas miliknya.
"Apa..?? pindah ke rumah Imas?" Tanya Ujang polos.
"Bukan kerumah Imas, kang. Tapi, jadi tetangga. Tuh rumah saya yang warna kuning." Vey menjawab dan menunjuk satu rumah besar yang ada di seberang jalan rumahku.
"Oh.. yang kuning gede itu ya? kalo hujan hati-hati ahh.." Aku memberi wejangan sama Vey.
"Maksudnya? hati-hati gimana, Imas?" Vey terlihat kebingungan.
"yaa.. itu kan warna kuning, kalo hujan takutnya ntar ngambang, itu aja sih." Jawabku cekikikan.
"Aelaahh, Imas, Dipikir apaan. Itu Rumah bukan tai." Vey cemberut.
Kami semua tertawa terbahak-bahak mendengar interaksi kocak antara Vey dan aku. Semangat petualangan kami tidak hanya terjadi di sekolah atau kebun bambu, tapi juga dalam setiap momen sehari-hari bersama teman-teman.
"Maaf, Vey. Imas memang suka bercanda seperti itu," kata Ujang sambil menepuk bahu Vey.
"Tidak apa-apa, Ujang. Aku juga tidak keberatan dengan candaan Imas," ujar Vey sambil tersenyum.
Dan dengan kehadiran Vey sebagai tetangga baru, kami menyambutnya dengan tangan terbuka, siap menjalani petualangan baru yang menanti di sekitar kami.
Aku dan Ujang saling pandang dan mengedipkan mata, Niat jahil kami mulai muncul. "Vey, ntar abis Isya kamu mau kemana? tanyaku.
"Gak kemana-mana, Imas. Ada apa?" Vey bertanya dengan wajah agak bingung.
"Ikut kita mau gak?" Jawabku.
"Iya bener, Vey. Kita Berburu!" Ujang menambahkan dengan bersemangat.
"Berburu apa? kok aku jadi ngeri-ngeri sedap ya." Vey terlihat agak khawatir.
"BELUT!" Aku dan Ujang kompak menjawab sambil teriak.
Vey terkejut mendengar jawaban kami dan menatap kami dengan ekspresi campur aduk antara kebingungan dan ketakutan. Aku dan Ujang hanya tertawa melihat reaksinya.
"Tapi serius, Vey. Di sekitar sini ada sungai kecil yang banyak belutnya. Ayo kamu harus mencoba mencari belut!" kataku sambil memberikan senyuman manis.
Vey sedikit ragu, tetapi akhirnya mengangguk setuju. Dia juga ingin mencoba pengalaman baru dan berpetualang bersama kami.
Tibalah waktu berburu. Kami bertiga bergerak menuju sungai kecil yang terletak dekat dengan rumah Vey.
Saat sampai di sungai, kami melepaskan sepatu dan menggulung celana kami agar tidak basah. Langit malam yang cerah memancarkan cahaya bulan, memberikan suasana yang tenang dan misterius. Kami berjalan perlahan di tepi sungai, mencari jejak belut.
Beberapa saat berlalu, kami mulai melihat gerakan air yang mengisyaratkan keberadaan belut. Dengan hati-hati, kami mengintip ke dalam air dan menemukan belut-belut kecil yang berenang di sana. Ekspresi kegembiraan muncul di wajah kami.
"Ayo, kita tangkap belut-belut itu!" seru Ujang dengan semangat.
Kami berusaha menangkap belut-belut tersebut dengan tangan kami yang penuh semangat. Namun, belut-belut tersebut lincah dan terus bergerak dengan cepat di dalam air. Kami tertawa dan berteriak saat belut-belut itu meluncur dari tangkapan kami.
Tidak menyerah, kami mencoba berbagai strategi untuk menangkap belut-belut tersebut. Kami menggunakan tangan dengan gerakan perlahan, membuat perangkap sederhana dari daun, dan bahkan mencoba menggunakan ember kecil yang kami temukan di dekat sungai. Setiap kali belut berhasil meloloskan diri, kami hanya semakin termotivasi untuk mencoba lagi.
"Wow, lihat itu! Belut besar sekali!" seru Ujang dengan antusias.
Tidak ingin ketinggalan, Vey pun ikut melihat dan seketika tertarik dengan keberadaan belut besar tersebut. Tanpa berpikir panjang, dia mulai mengikuti belut itu dengan mata terpaku padanya.
Kami berusaha memperingatkan Vey untuk berhati-hati, tetapi dia terlalu terpesona oleh belut besar tersebut. Dalam kegembiraan dan keingintahuan yang tak terbendung, Vey nekat melompat ke dalam air untuk mengejar belut tersebut.
Kami terkejut dan langsung mencoba menjangkau Vey. Namun, sungai tersebut cukup dalam dan lumpur di dasarnya cukup licin. Vey berjuang untuk tetap berdiri dan menjaga keseimbangannya, tapi akhirnya dia terjatuh ke dalam lumpur yang licin dan lengket.
Aku dan Ujang berusaha menarik Vey keluar, tetapi semakin dia berusaha keluar, semakin dia terjebak dalam lumpur yang dalam. Vey panik dan teriak minta tolong, sementara kami berdua semakin khawatir.
Dengan keberanian dan kekuatan yang kami miliki, kami akhirnya berhasil menarik Vey keluar dari lumpur yang lengket. Dia tampak kocar-kacir dengan pakaian dan rambut yang kotor karena lumpur, tetapi kami semua bersyukur bahwa dia aman.
"Hebat, Vey! Kamu benar-benar terjun ke dalam petualangan belut yang ekstrem!" kataku sambil tertawa.
Vey bergabung dalam tawa kami, meskipun dia masih merasa sedikit malu dengan kejadian itu. Kejadian si Vey yang nyemplung ke dalam lumpur dalam usaha mengejar belut tersebut menjadi salah satu kenangan yang selalu kami ceritakan dengan riang setiap kali bersama.
Waktu berlalu begitu cepat dalam kegembiraan kami. Kami tertawa, berteriak, dan berbagi keceriaan satu sama lain. Tidak peduli apakah kami berhasil menangkap belut atau tidak, yang terpenting adalah momen bersama yang kami ciptakan.
Akhirnya, dengan kegigihan dan ketekunan, kami berhasil menangkap beberapa belut kecil. Kami merasa bangga dengan hasil tangkapan kami, meski jumlahnya tidak banyak. Tawa riang mengisi malam itu, mengobati rasa lelah setelah berlarian dan mengejar belut sepanjang waktu.
Kami kembali ke tepi sungai untuk melepas belut kecil yang kami tangkap. Dengan penuh kelembutan, kami melepaskan mereka kembali ke dalam air, memberikan mereka kebebasan untuk berenang dan hidup di alam mereka.
"Terima kasih, Vey. Telah ikut bersama kami dalam petualangan ini," kataku sambil tersenyum.
"Tidak ada masalah, Imas. Aku benar-benar menikmati pengalaman ini. Terima kasih sudah mengajakku," jawab Vey dengan senyuman tulus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments