"Kamu bukannya cuma Office girl, Rose. Ehm, maksudnya bukan merendahkan tapi setahu bibi, yang biasa dikirim tugas ke luar kota itu bukankah setingkat sekretaris ke atas?" Tanya Marlia sembari menoleh pada suaminya. Karena menurutnya ini bukan perkara sederhana. "Kamu masih di JSP, kan? Bukan kerja aneh-aneh."
"Masih, Bi." Jawab Rose cepat. "Sumpah," katanya mengangkat dua jari tengah dan telunjuk.
Sebagai orang yang dititipin anak, ia berkewajiban menjaga Rose. Anak kakaknya ya anaknya juga. "Pergi dengan siapa? Tanya Muliyardi.
"Dengan Bapak direktur," jawab Rose pelan. Namun cukup membuat terkejut seisi ruang tengah itu.
"What?" Marlia tidak bisa tidak terperangah.
"Wow, eonni hebat!" Seru Erina tersenyum lebar sembari mengangkat jempolnya.
"Hebat pala lu," ketus Rahmat. "Direktur mana yang bawa klining servis ke luar kota? Tidak bisa dipercaya," sambung anak laki-laki itu merasa khawatir serupa dengan perasaan Muliyardi sekarang.
"Benar kata Rahmat Rose," ujar Marlia setuju.
"Direktur usia berapa, kak?" Tanya Erina santai tidak khawatir seperti atasannya. Berhubung ia korban drakor dan dracin. Sampai-sampai ia memimpikan suatu hari dicintai oleh Ceo tampan setingkat Wang Ziqi.
"Tiga puluh tujuh," jawab Rose.
"Yeah, jangan mau Kak Rose. Ketuaan itu!" Bantah Erina.
"Hum," angguk Marlia setuju dengan putrinya.
"Ini urusan kerja, Bibi. Bukan seperti yang Erina pikirkan," jawab Rose. "Membersihkan villa selama dua minggu karena satu karyawan disana ada yang cuti jadi Rose disuruh mengcover," sambungnya. Baru kali ini ia berbohong lancar pula itu tapi jantungnya berdegup kencang seperti mau keluar dari rongganya.
"Yakin hanya itu?" Tatapan Marlia tembus ke dalam retina Rose. Gleg, gadis itu meneguk ludah susah payah. Matilah saya batinnya, kenapa ia bisa lupa julukan Bibi Marlia si ratu gosip komplek. Apa ia bisa lepas dari investigasi intel nomor satu di kelurahan Mangga?
"Sure, Bi." Rose mengangkat jari tengah dan telunjuknya lagi, ✌️ "Peace."
"Dikasih bonus berapa?" Tanya Erina.
"Eh, kamu diam anak kecil!" Marah Rahmat menegur adiknya. "Sejak kapan kamu jadi perempuan mata duitan."
Erina balas membelalak pada kakak laki-lakinya. "Kita satu keluarga harus kompak dan jujur. Tidak boleh ada yang disembunyikan. Orang besar atau anak kecil kalau penasaran ya nanya jangan diam saja! Siapa tau bisa membantu memberi solusi, heh!" Marahnya pada Rahmat. Dia keturunan Intel Marlia jadi ya bisa apa kalau ketularan kepo.
"Iya, sudah sudah!" Marlia melerai kedua anaknya yang tiap hari ribut seperti Tommy and doggy itu. "Berapa?" tanyanya mengerling mata genit pada Rose. Hehe...
Muliyardi menggeleng melihat istri matrenya. "Jangan hanya pikirkan uang. Keamanan dan keselamatan yang utama. Kamu baru kerja sebulan apa tidak ada orang lain," kata kepala rumah tangga di keluarga kecilnya itu.
Rose menggeleng. "Ini spesial. Istri Direktur sendiri yang memerintah," jawabnya. "Dari pada dipecat."
"Jadi, istri Direktur juga ikut?" Tanya Marlia lega.
"Ehm," angguk Rose ragu benar gak sih dalam hatinya.
*
Sebelum kembali ke Jakarta Rose mampir dulu ke rumah teman karibnya untuk curhat. Kepada Paman dan Bibi ia tidak sanggup berkata jujur, maka harus ada orang yang tau kemana ia pergi sebenarnya dan dengan siapa. Dan doi paling bisa diandalkan menyimpan rahasia.
"Lusa aku ke Maldives diajak Pak Direktur," kata Rose. Dan teman yang bernama lengkap Elisa Beauty itu lebih perduli pada oleh-oleh yang dibawa nya.
"Hei! Dengar tidak?" tanya Rose melihat Elisa tidak ada ekspresi. Duduk pun menyamping kayak gak senang dengan kehadirannya, telinga pun disumbat headset.
"Hei!" Rose mentoel pundak Elisa.
"Apaan!" Kata Elisa pura-pura terkejut.
Kedua gadis itu duduk di lantai beralas karpet menikmati pentol tahu yang dibawa Rose. Pentol tahu viral di daerah perkampungan mereka, kelurahan Mangga.
"Buka neh headset makanya biar gak budek!" Rose menarik alat pendengaran dari telinga temannya itu. "Besok aku ke Maldives bareng Direktur," ujarnya di telinga Elisa.
"Hum," sinis Elisa buang muka. "Kamu ke Maldives sama direktur, no way! Aku cemburu, tidak bisa aku cemburu!" Gadis itu memang sedang merajuk pada Rose tapi tidak dengan pentol tahu yang dibawanya, terbukti dengan betapa lahapnya ia mengunyah. "Bahkan saat kamu diterima kerja di Juan Sandy Purnomo Investment, aku jadi benci padamu," ujarnya marah tidak dibuat-buat.
Rose tau, Elisa berkata jujur dari hati. Jika ia di tempat Elisa mungkin akan sama, iri dengan keberhasilan teman. Meskipun itu teman karib. Tapi Rose nyaman berteman dengan Elisa yang apa adanya. Dari SD mereka bersama. Perasaan iri bukan dari segi negatif, kok. Saat ia ditinggal oleh kedua orang tuanya, perhatian Elisa salah satu sumber kekuatan bagi Rose selain keluarga Paman dan Bibi.
"Lisa, please. Nanti deh kalau ada lowongan, aku cepat beritahu kamu." Rose membujuk temannya dengan mengeluarkan sebatang Toblerone ukuran besar dari tas kecilnya.
Elisa membelalak. "Thanks, tapi aku masih cemburu," katanya kemudian merampas coklat yang belum pernah kesampaian dibelinya itu. "Aku gak percaya kamu kesana hanya jadi tukang sapu nge-pel. Kamu ada main dengan Bos kan," sindirnya.
"Ehm." Rose mengernyit. "Kenapa kamu berpikir begitu? Dengan tampang ku yang buluk ini mungkinkah Direktur sekeren Jacob Pattinson selera," ujarnya menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuk tepat ke hidungnya.
"Siapa tau Pak Direktur sedang bosan dengan gadis cantik dan seksi," jawab Elisa sambil mencium coklat yang sering diliriknya di Market 24jam itu.
Tidak tanggung-tanggung gedenya, ini ukuran terbesar batin gadis itu. Toblerone milk chocolate with honey and Almond nougat 360gram. Elisa mengeja dalam hati, berharap ia di endorse setiap hari. "Kamu sekarang mampu beli jajanan mahal, gaji office girl berapa sih?" tanyanya gak percaya kalau ini hasil kerja keras Rose.
Hidup di kota itu terkenal dengan apa-apa mahal, mana harus bayar kosan. Ia sendiri yang mengantar Rose ke Jakarta, jadi Elisa tau betul uang bulanan Rose pas pasan untuk kontrakan dan makan.
"Bukan karena banyaknya gaji," jawab Rose. "Tapi keikhlasanku membelikan coklat ini untukmu," lanjutnya. "Banyak gaji pun kalau temanmu ini pelit, permen sebiji pun gak akan kebeli."
Elisa manyun, setuju dengan ucapan Rose. "Iya, kamu benar. Thanks anyway," ucapnya. Kemudian mengopek seruas coklat. Mulut yang kepedasan paling mantap dinetralisir dengan yang manis-manis. "Jadi hanya itu curhatan kamu. Sengaja mampir ke rumahku bukan karena kangen, kan?"
Hehe, senyum Rose. "Kamu benar, Lisa. Kalau ngandelin gaji mana berani aku beli jajanan mahal ini," desisnya.
Elisa membelalak. "Jadi benar kamu ada main deng..."
His, dengan cepat Rose menutup mulut Elisa dengan tangannya. "Suara kamu gak bisa pelan, apa ya!" Kesalnya.
*** to be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments