Bab. 2

Jadi belum ada kesepakatan. Jika semua masih dalam kendaliku tidak akan ada masalah dalam hatinya. "Aku akan mempersiapkan nya untukmu," kata Maria Lili mengalah.

"Beri dia harga seharunya jangan dikurangi," kata Jacob. "Aku tidak mau ada penolakan dengan alasan uang!" Tegasnya.

"Hum," angguk Maria Lili mengerling jijik pada gadis berbaju seragam Office Girl yang berdiri di depan meja kerja Jacob. "Kamu ikut aku," titahnya.

Walaupun bingung terhadap drama yang baru disaksikan nya. "Baik Bu," jawab Rose Diana sembari menunduk hormat, apa salahku dalam hatinya. Dipanggil ke ruangan Direktur hanya untuk dicuekin, sekarang diseret keruangan Wakil Direktur. Namun ia manut berjalan mengikuti ke mana langkah kaki Bos Perempuan itu membawanya. Karena penasaran, ada apa Direktur serta Wakilnya sampai memperebutkan dirinya.

*

Rose Diana diperbolehkan pulang setelah tanda tangan kontrak dengan alasan mau permisi pada pamannya. Meski Maria Lili sempat menolak memberi izin karena ini rahasia yang harus disimpan rapat, Rose Diana bersikeras tidak akan pergi sebelum bertemu keluarganya barang sebentar.

Disinilah ia sekarang di ruang tamu keluarga pamannya. Duduk lesehan di lantai mengelilingi satu meja persegi panjang. Sejak diterima bekerja di JSP Investment, Rose memberanikan diri ngekos dengan alasan biar hemat waktu perjalanan pulang pergi ke kantor. Dan ongkos transportasi dipakai buat bayar kos, memang bali tak bali sama banyak. Untungnya ya Rose pulang kerja bisa santai, tidak habis waktu diperjalanan jika ia pulang pergi dari rumah Paman.

Dalam satu bulan kerja, ia baru sempat pulang hari ini. Rose membawa oleh-oleh martabak manis dua loyang gede, kedua anak Paman dan Bibinya senang atas kepulangannya. "Kak Rose sering-sering pulang, dong. Seminggu sekali gitu bawa martabak, Ina suka kalau gini." Erina si bungsu yang kini duduk di kelas 2 SD berkata dengan manja di sampingnya.

"Gajian pun sebulan sekali, kamu mau Martabak seminggu sekali. Mikir dong?" Rahmat yang sekarang kelas 6 SD menyela adiknya.

"Ya gak juga, ntar Ina bosan kalau martabak mulu. Gantian maksudnya, minggu depan Korean fried chicken gitu, hehe."

"Kamu gak ngerti bahasa atau pura-pura gak ngerti! Memangnya buat beli semua itu gak pakai uang," marah si Kakak sembari geleng kepala. "Dasar lemot."

"Siapa yang lemot!" Erina melotot pada Rahmat, benar-benar gak suka setiap kali kakaknya itu mengatai dirinya lemah otak.

"Sudahlah Mad, jangan digodain adiknya." Rose melerai kedua sepupunya. "Nanti kakak usahakan ya, pulang seminggu sekali seperti yang kamu mau," katanya sembari mengusap rambut Erina agar anak itu menahan emosi.

Erina senang dibelain Rose. "Uwek," cibirnya menjulurkan lidah pada Rahmat.

Marlia, istri Pamannya menghampiri mereka dengan ceret dan gelas di nampan. "Jangan di paksa seminggu sekali ntar kamu capek, Rose. Kerja yang tekun pulang kalau sempat. Tapi jangan lupa kirim kabar," katanya sembari meletak barang bawaannya di atas meja. "Rencanamu mau kuliah, nabung dong!"

"Sudah disisihkan untuk itu mah," jawab Rose pada Marlia. "Nanti kakak usahakan sering-sering pulang ya Ina," senyumnya pada si bungsu.

"Ehm," angguk Erina. "Ntar Wassup dulu ya kak, biar Ina yang tentuin oleh-olehnya...Hehe."

"Astaga...Erina Banowati!" Rahmat memelototi adiknya. Si Erina kembali menjulurkan lidah, "uwek."

"Gak apa Mad," sela Rose Diana. "Kamu mau apa jangan segan bilang ke Kak Rose. Pas gajian kalau cukup uang kakak usahakan, oke!"

"Kak Rose simpan saja uangnya buat biaya kuliah jangan boros beli makanan junk food yang tidak bermanfaat," tolak anak laki-laki itu. "Dasar gak pernah makan enak," lanjutnya mengejek Erina.

"Kamu juga, kan!" Balas si adik.

"Sudah, sudah. Ada makanan ribut, gak ada juga ribut." Marah Marlia melerai kedua anaknya yang gak pernah akur itu. "Kamu makin cantik Rose, enak ya kerjanya?" Tanya si Bibi menatap bangga pada ponakan suaminya. Derajat mereka ikut terangkat sejak Rose bekerja di Perusahaan sebesar JSP Investment, semua tetangga membicarakan nya sebagai contoh teladan. Berbagai pujian dilontarkan membuat telinganya mekar seperti kue kembang loyang.

"Haha, masa sih Bi. Alhamdulillah...kerja masih betah," senyum Rose, dipaksa.

Hum.

Marlia mengerut kening merasa ada sesuatu yang janggal dengan sikap Rose. Sejak datang gelagatnya mencurigakan. Sebagai orang dewasa ia masak betul dengan perangai anak-anak. Jangankan itu, gelagat suaminya pun dia hapal jika ada sesuatu yang tidak biasa. Maka Marlia tidak menunggu lama akan to the point. Suara hati perempuan, judulnya. "Kamu sengaja pulang tidak hanya untuk berkunjung, kan?" tanyanya.

Gleg.

Mati gue dalam hati Rose tak sadar mengangguk kaku. Jika bukan karena perkara hidup dan mati yang disetujuinya dengan Nyonya besar tadi siang di kantor, ia bahkan lupa kalau punya keluarga di pinggiran kota ini. "Bibi tau aja, hehe." Jawab Rose salah tingkah.

"Ya taulah!" Jawab Marlia bangga dengan instingnya, begitu juga dengan ketiga anggota keluarga lainnya menjadi tidak fokus pada martabak.

"Apa tuh! Ayo bicara cepat," tegas Bibi. "Kamu dipecat? Dirundung teman sejawat jadi ingin pindah kerja? Ingat Rose! Kamu sudah ku anggap anak sendiri, pulanglah kalau gak betah di Jakarta. Ini rumah kamu juga, satu lagi. Jangan segan curhat sama Bibi kalau ada masalah!"

"Mama ih! Kok Do'ain yang gak benar!" Suara Erina melengking memekak telinga yang mendengar.

Ahh, semua terkejut memandang anak kecil itu setelah tadi terpelongo mendengar ocehan Marlia yang over drama.

"Ini martabak super mahal, kalau bukan gaji besar gak mungkin sanggup beli. Buktinya Papa gak pernah bawa martabak segede dan setebal ini! Tadi kan Kak Rose bilang masih betah, Alhamdulillah. Dasar Mama yang pikun," sambung si bungsu masih suara kencang. "Aku memang kangen Rose, tapi terbalas dengan adanya oleh-oleh. Jadi jangan berhenti kerja ya, kak. Please," mohonnya.

"Erina, ini pembicaraan orang dewasa. Anak kecil bisa tolong diam," kata Marlia mendelikkan matanya.

"Aaah..takut," pelik Erina mendekat ke Papanya, karena memang ia duduk ditengah antara Rose dan Muliyardi.

Ck, decak Marlia. Penasaran selalu membuatnya insomnia tidak baik untuk kesehatan jantung. "Ada apa? Cepat katakan," desaknya pada Rose Diana.

Rose maju mundur mau jujur atau nggak. Bibinya sudah terlanjur penasaran...hais kenapa juga tadi aku mengangguk batinnya jadi ragu.

"Ayo, cepat katakan!" Desak Marlia lagi.

Ketiga orang lainnya ikut memandang Rose dengan ekspresi sama seperti Marlia, penasaran! Paman si pendiam, Rahmat dan Erina berhenti makan seketika, momen penting tidak boleh terlewatkan.

"Hehe," tawa Rose hambar melihat keseriusan empat orang yang menatapnya...tajam.

"Apa! Cepat katakan," desak Marlia semakin gak sabar.

"Kak Rose, ih! Cepetan ngomong." Erina ikutan keki.

Rahmat dan Muliyardi mengangguk bareng. "Ada apa?" Tanya mereka serempak.

"Aku ditugaskan ke luar kota selama dua minggu," kata Rose akhirnya.

"Yeah! Kirain apa," keluh Erina diikuti helaan nafas lega semua orang. "Itu berita bagus, kan. Dapat uang tambahan," sambung si kecil itu kembali menikmati martabaknya dengan lahap.

Marlia memandang suaminya, ada keresahan diwajahnya. Paman kandung Rose itu memang agak pendiam, bersyukur ia dapat istri yang ramah jadi Rose betah menumpang dirumahnya.

***to be continued.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!