"Mas, please …! Ini acara yang spesial jadi Zoya harus hadir." Carissa memasang wajah memelas.
Zoya terpaksa harus menerapkan table manner yang baik saat menyantap makanan. Bukan untuk menjaga image tapi ingin menghargai Carissa. Jangan sampai sahabatnya itu malu karena sudah membawa preman kelaparan ke pesta tersebut.
Selesai makan dan memberikan hadiah, sebagian orang menyebar. Ada yang kembali ke rumah masing-masing, ada yang memilih untuk bersantai di gazebo. Sebagian yang lain masih duduk di kursi.
"Kamu ke sini bawa kado untuk istriku, kan? Bukan cuma numpang makan!"
"Mas …!" Carissa menggeleng pelan, meminta suaminya menjaga ucapan.
Zoya tersenyum tipis. "Kamu benar, aku hanya mau makan gratis. Riss, aku pulang sekarang. Orderan belum kelar jadi aku harus begadang menyelesaikan lukisan pesanan Pak RW."
"Padahal aku masih ingin ngobrol. Kapan-kapan main ke rumahku, dong!"
"Ehm, aku tidak janji."
"Zo, hati-hati bawa motornya jangan ngebut!"
Leo makin kesal karena istrinya bersikap sangat manis pada gadis jadi-jadian itu. "Sayang, kamu lebih baik langsung istirahat. Biar Zoya aku yang antar ke depan."
Carissa mengangguk dan tersenyum. Semoga ini jadi awal yang baik bagi hubungan suami dan sahabatnya.
"Heh, sudah kubilang jangan dekat-dekat dengan istriku!" Beberapa langkah lagi menuju pos satpam Leo angkat bicara.
"Kamu percaya begitu saja dengan omonganku waktu itu? Dasar tidak waras! Dengar, aku ini cewek normal! Aku menyayangi Carissa layaknya kakak mencintai adiknya. Jadi, berhenti cemburu buta!" Zoya berkacak pinggang.
"Entah benar atau tidak yang kamu katakan ini. Tapi yang jelas, aku tetap tidak setuju istriku masih bergaul denganmu. Titik!"
"Terserah!" Zoya kemudian melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
Leo segera menemui Carissa yang sibuk membuka kado di kamar lantai atas. Semua merupakan barang mahal yang diberikan oleh keluarganya dan keluarga suaminya. Carissa sudah seperti anak emas bagi mereka. Terlahir dari keluarga yang sama kaya, punya fisik yang nyaris sempurna, serta sifat yang baik. Carissa adalah putri kesayangan dan juga tipe menantu idaman.
Ada yang lebih menarik perhatiannya dibanding hadiah mahal. Sebuah lukisan berukuran sedang yang memperlihatkan potret Carissa, diambil dari salah satu foto masa remaja.
"Ini mirip foto asli. Bagus, ya." Leo ikut memperhatikan.
"Iya, sangat bagus. Aku yang meminta Zoya membuatnya untukku. Dia memang sangat berbakat." Carissa tersenyum simpul.
"Gadis jadi-jadian itu yang membuat lukisan ini? Aku tidak percaya."
"Selama ini Mas kan tahu kerjaannya Zoya. Kenapa kaget dan tidak percaya?"
"Biasanya kan dia bikin pemandangan atau ikan koi."
"Dia itu serba bisa."
"Paling berapa sih harga lukisan ini? Pasti tidak ada apa-apanya dibanding hadiah dari keluarga kita."
Carissa menancapkan tatapan runcing. "Mas, ini bukan masalah harga tapi ketulusan. Kenapa kamu makin membenci Zoya? Dia tidak pernah berbuat macam-macam. Dia tidak pernah menyakitiku atau pun kamu."
"Iya, aku minta maaf." Leo tidak mau hubungan mereka rusak. Jadi, lebih baik mengalah tapi bukan berarti dia mau menerima keberadaan Zoya di sekitar istrinya.
Carissa memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri.
"Kamu kenapa, Sayang?"
"Sedikit pusing, mungkin karena kemarin kurang tidur."
Leo menuntun Carissa ke tempat tidur. "Kamu istirahat, aku ke bawah dulu sebentar mau ambil minuman hangat untukmu."
"Tidak perlu! Aku ingin dipeluk dan dielus-elus."
Leo tersenyum sambil memicing. "Jadi, ini cuma akal-akalan biar bisa manja sama aku?"
"Memang tidak boleh?"
"Boleh, dong. Ke marilah!"
Berbaring menyamping saling berhadapan dan berpelukan. Leo mengusap belakang kepala istrinya. "Mau langsung tidur? Tidak cuci muka dulu? Tidak ganti baju dulu?"
Carissa menggeleng. "Aku lagi males, Mas. Sekali-kali cewek cantik boleh jorok, kan?"
Leo terkekeh. "Asal jangan keseringan dan jadi kebiasaan."
**
Carissa membantu menyiapkan sarapan bersama ibunya. Suatu kebiasaan sedari kecil.
"Kamu kapan mau kasih Mama cucu yang imut, Riss?" Tiap kali berbincang, obrolan tentang anak pasti selalu muncul. Carissa sampai bosan dan sedikit jengkel sebenarnya.
"Mama itu harusnya tahu bagaimana perasaanku. Malah dibahas terus. Lagipula, aku dan Mas Leo baru enam bulan menikah." Menata makanan di atas meja.
"Maaf, Sayang. Mama cuma greget saja. Sebenarnya kamu dan Leo itu tidak ada masalah, kan? Kalian masih suka melakukan … itu, kan?"
"Mama, kalau sudah waktunya Tuhan ngasih, aku juga pasti hamil. Bukan berarti kami tidak melakukan hubungan intim. Ish, Mama memangnya tidak malu membicarakan itu?"
"Iya, maaf."
Tak lama kemudian, Leo dan ayah mertua bergabung di meja makan. Mereka melakukan ritual sarapan dengan hangat. Sesekali melempar candaan, tidak canggung seperti ketika bergabung dengan keluarga Leo. Inilah salah satu yang membuat pria itu nyaman berada di tengah keluarga sang istri.
Carissa mengantar Leo yang harus berangkat ke luar kota dengan berat hati. Selama suaminya pergi beberapa hari, dia memang akan menginap di rumah orangtuanya.
"Ingat, jangan pernah menemui Zoya selama aku belum pulang!" pesan Leo yang diangguki pelan.
"Maaf, Mas. Tapi aku tidak bisa menjauhi sahabatku sendiri. Apalagi ada misi yang masih harus kuselesaikan," batin Carissa di sela melambai pada mobil yang makin menjauh.
**
"Sudah berapa kali aku bilang, aku tidak mau jadi madumu, Carissa! Kenapa kamu tidak mau mengerti juga?" Zoya memijat pelipisnya. Melempar tubuh ke sofa ruang tamu.
Belum lama Carissa datang tapi sudah membuat batok kepalanya ingin meledak. Selalu saja yang dibahas tentang permintaan konyol itu.
Carissa duduk di samping Zoya. "Please, aku akan lakukan apa saja asalkan kamu mau menikah dengan Mas Leo!"
"Aku tahu kamu hanya menggertak." Mengambil sebatang rokok dari atas meja dan membakarnya. "Sana jauh-jauh! Asap rokok tidak baik untuk kesehatan."
"Tidak mau! Zo, kalau kamu menolak maka aku akan nekad pergi dari rumah. Aku akan menghilang dari hidup Mas Leo, dari hidupmu juga!"
Zoya menatap tajam. "Jangan bertindak macam-macam, Riss jika masih mau berteman denganku!" Kembali menyesap nikotin, membuang asapnya jauh-jauh ke sisi lain agar tak kena temannya.
"Kalau benar kamu temanku, sahabatku yang baik, kamu harusnya memahami posisiku. Kamu harusnya setuju menikah dengan Mas Leo."
Zoya mendengus kesal. "Oke, kalau itu maumu!"
Carissa terbelalak. "Sungguh? Kamu serius, kan?"
"Ya." Membuang abu rokok ke asbak di atas meja.
"Terima kasih, Zo. Aku tidak akan melupakan jasamu ini." Menggenggam tangan temannya. Mirisnya, hatinya tak bisa bohong. Masih saja sakit saat ada wanita yang bersedia menjadi istri kedua suaminya meski atas dasar paksaan.
"Tapi aku punya syarat yang harus kamu penuhi."
"Apa itu, katakan!"
Zoya sebenarnya tak sungguh-sungguh menyanggupi. Dia berkata begitu karena sudah pusing mendengar rengekan dan permohonan Carissa. "Syaratnya …."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments