"Kamu mau ngomong apa, Sayang?" Leo mengusap pipi Carissa lembut.
"Apa kamu bersedia …."
"Hem, bersedia apa?" Kening Leo mengernyit.
"Ehm, nanti saja." Sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Leo kurang berkonsentrasi saat diajak bicara meski merespon. Tatapan mata lelaki itu sayu dan mendamba.
"Kamu cuma ingin mengalihkan pikiranku, ya? Oh, tidak bisa! Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan kamu. Jadi, jangan --"
Carissa menghentikan ocehan suaminya dengan sentuhan bibir. Lidah mereka kini menari seiring hasrat yang makin memuncak.
Leo terkulai lemas menutup mata di samping sang istri. Tenaganya terkuras setelah tadi mengerjai Carissa habis-habisan. Tangannya melilit di pinggang wanita itu. Deru napasnya teratur.
Tak tega untuk bergerak sedikit pun apalagi membangunkan Leo, Carissa hanya menatapnya lekat-lekat.
"Aku sangat mencintaimu, Mas," lirihnya.
Sesak memikirkan bahwa mereka akan berpisah suatu saat nanti. Carissa ingin terus mendampingi suaminya. Jika bisa, dia ingin selalu bersama Leo hingga tua. Namun, takdir berkata lain. Sekeras apapun dia berusaha, dia tahu bahwa mereka tetap akan berpisah. Tidak ada yang bisa selamat dari penyakit mematikan yang kini dideritanya.
**
Sebuah kalung putih dengan liontin berlian. Sudah lima belas menit Leo memindainya, memastikan barang itu tidak cacat sedikit pun. "Carissa pasti menyukainya."
Benda berkilauan itu disimpan kembali ke dalam kotak perhiasan lalu dimasukkan ke dalam laci. Carissa memang tidak meminta apa-apa untuk hadiah ulang tahun tapi mana mungkin Leo tidak menyiapkannya.
Pria itu kembali membuka berkas di atas meja. Belum lama berkutat dengan pekerjaan, ponselnya bergetar. Senyum sumringah terbit saat melihat nama sang istri di layar handphone. Leo memang menunggu bidadarinya menelpon. Kenapa tidak menghubungi Carissa duluan? Always, dia selalu melakukan itu tapi kali ini sekali-kali ingin posisinya dibalik biar merasa lebih disayang.
"Mas, maaf aku ganggu. Aku mau bicara sesuatu." Suara dari jauh.
"Jangan minta maaf, Sayang. Bicara saja! Aku selalu punya banyak waktu khusus untuk istriku tercinta."
"Untuk ulang tahunku besok, aku cuma ingin dinner berdua denganmu. Jangan adain pesta, aku bosan."
"Aku terserah kamu tapi bagaimana dengan keluarga kita? Mereka selalu antusias dengan ulang tahun kamu. Kita tidak bikin pesta pun pasti mereka ngadain sendiri."
"Aku tidak bisa melarang mereka tapi khusus besok malam aku maunya cuma sama kamu, Mas."
"Oke, sebenarnya itu ide yang sangat bagus."
Di sebuah restoran yang terletak di atas rooftop, hanya ada dua orang yang duduk berhadapan, tak ada pengunjung lain. Leo memang sengaja menyewa tempat itu untuknya dan Carissa.
Kursi mereka dikelilingi kelopak mawar merah yang membentuk gambar love. Di tengah-tengah meja terdapat kue berukuran sedang.
Musik lembut menemani mereka menambah suasana kian romantis.
"Kamu suka tempat ini?" Jika tidak maka Leo akan membawanya ke restoran lain.
"Suka." Di manapun itu asalkan bersama Leo, maka Carissa akan senang.
"Selamat ulang tahun yang ke-28. Aku harap kamu selalu bahagia." Leo menggenggam tangan sang istri.
"Bahagia dan sehat. Nomor satu yang paling penting itu sehat, Mas!" Ah, mata Carissa perih. Pembahasan ini mengingatkan pada penyakitnya.
"Iya, tentu. Aku harap semua yang baik-baik menghampirimu."
Memotong kue dan menyuapi Leo, Carissa merasa sesak. Apakah ini ulang tahun terakhirnya?
Tak ayal air mata sialan itu tumpah juga ke wajahnya meski Carissa berusaha membendung. Leo gegas mengambil tissue dan mengusapnya lembut.
"Kamu pasti terharu padahal aku belum kasih hadiah apa-apa."
"Ada kamu saja sudah cukup, tapi … sebenarnya ada satu hal yang ingin aku minta dari kamu, Mas."
"Apa itu, Sayang?"
"Bukan sekarang, nanti saja." Carissa ingin menikmati momen ini dengan maksimal. Lupakan dulu masalah karena belum tentu malam ini bisa terulang lagi.
Leo mengulurkan tangan. "Mau menari denganku?"
Carissa mengangguk. "Bodoh jika aku menolak."
Berdiri di dekat para pemain musik, kedua insan itu saling berhadapan. Leo memegang pinggang ramping istrinya dan Carissa merangkul lehernya. Mata saling terpaut seiring senyum yang tak luntur. Kaki bergerak perlahan mengikuti alunan musik.
"Mas Leo, aku beruntung bisa bertemu kamu dan jadi istrimu. Terima kasih karena sudah memperlakukan aku dengan baik selama ini. Aku sangat mencintaimu, Mas." Sebisa mungkin mengatur agar suaranya tidak bergetar meski dada makin pengap.
"Aku yang harusnya bilang begitu. Dalam hidupku aku hanya pernah mencintai satu wanita dan itu kamu. Tidak akan berubah sampai kapan pun."
"Jika aku mati, bagaimana?" Bibir boleh tersungging tapi hati perih.
Leo menghentikan gerak kaki dan menatap wanitanya tajam. "Jangan pernah mengatakan ini, Carissa! Jika kamu pergi maka aku pun akan pergi."
Wanita itu terkekeh. "Kamu bodoh, Mas! Harusnya kawin lagi!"
"Aku bukan lelaki seperti itu. Ah, sudah. Lebih baik kita segera makan agar pikiranmu kembali lurus. Lain kali jangan membahasnya lagi meski kamu cuma bercanda!" Leo menuntun wanitanya kembali ke meja. Menarik kursi dan membiarkan Carissa duduk lebih dulu.
"Mas, kalau aku serius?"
"Aku lapar!"
Pelayan segera membereskan meja setelah mereka selesai makan. Leo memberikan kotak perhiasan. Carissa tertegun takjub menatapnya. "Ini sangat cantik." Tuhan, dia sangat bahagia tapi juga sedih di saat bersamaan. Bagaimana bisa dia meninggalkan suami semanis Leo?
Sebuah buket bunga besar juga diulurkan oleh Leo. Tuhan, Carissa makin berat.
**
Benar saja. Esok malamnya keluarga membuat pesta kecil di kediaman Putri, ibunda Carissa. Keluarga Leo juga ada di sana. Semua berkumpul di area taman yang dihiasi dengan lampu lampion. Tempat duduk melingkar mengelilingi air mancur mini.
Semua orang menoleh saat Carissa membawa seorang gadis aneh. Bagaimana tidak unik, penampilannya seperti preman. Celana jeans panjang dengan sobekan di sebelah lutut, kaos oblong yang dilapis dengan jaket kulit. Wajahnya polos tanpa make up dan rambut sebahunya yang lepek dibiarkan tergerai menutupi telinga. Sebenarnya sosok itu tidak asing bagi keluarga Carissa, hanya saja penampilannya bikin sakit mata.
"Siapa yang kamu bawa itu, Sayang?" Mirna, ibunda Leo bersuara agak ketus.
Carissa tersenyum pada sang mertua kemudian beralih pada keluarga yang lain. "Untuk kalian yang belum kenal, ini adalah sahabatku. Namanya Zoya. Dia adalah tamu spesial yang paling aku tunggu."
Zoya tersenyum canggung menatap semua orang. Jika saja Carissa tidak memohon-mohon, Zoya enggan datang ke rumah Tante Putri. Lihatlah, dia selalu mendapat tatapan aneh dan sinis!
Hampir semua menganga mendengar perkataan Carissa tapi mereka tidak mau protes karena takut mengganggu kebahagiaannya. Tante Putri yang biasanya ramah pun enggan menyapa Zoya karena malu pada keluarga besan.
Carissa menarik Zoya agar duduk di sebelah kirinya. Leo yang ada di samping kanan berbisik, "Kenapa kamu bawa dia ke mari?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments