5. Kejujuran yang pahit

Begitu tiba di mobil, Sinta segera duduk bersandar di kursi penumpang. Dia sudah tak mendengar apa yang supir katakan padanya. Pikirannya kalut, penuh dengan kata-kata hinaan dan juga hujatan dari kakek suaminya. Bukan orang lain yang menghina dirinya, tapi keluarga suaminya sendiri yang mengatakan hal jahat seperti itu padanya.

Sinta memegangi dadanya, dia merasa jantungnya berdegup sangat kencang. Dia tahu dirinya sudah lancang tak menggubris ucapan kakek dari suaminya. Namun, dia tak ingin dipaksa berpisah seperti ini. Mungkin dia akan menerima kalau jodoh mereka telah habis dan itu memang suratan dari Tuhan. Tetapi dia tak bisa diam saja kalau pernikahan yang mereka lakukan ingin dianggap tak ada hanya karena dia bukan siapa-siapa.

"Seharusnya dari awal maa jujur saja, mas," gumam Sinta mengusap wajahnya kalut. Dia tak tahu bagaimana dirinya harus menatap suaminya nanti.

"Selamat tinggal, nona. Semoga hari anda menyenangkan," ucap si supir sebelum Sinta turun dari mobil yang dia tumpangi.

Sinta tersenyum dengan paksa, seraya menganggukkan kepala. "Terima kasih. Hati-hati di jalan, pak," balas Sinta. Wanita itu menyusuri halaman rumahnya dengan langkah yang berat. Dia tersenyum pahit, apa harinya masih bisa menyenangkan kalau dia mengetahui berita yang begitu mengejutkan. Suaminya adalah keturunan berada, calon kepala keluarga selanjutnya, dan jangan tanyakan lagi bisnis apa yang mereka miliki. Sinta yakin, kalau dia mencari di internet, akan ada banyak hal tentang keluarga suaminya.

"Aku lelah," desah Sinta menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Harinya terasa berat saat ini, dia tak ingin melakukan apa pun selain memejamkan mata dan beristirahat. Biarlah dia beristirahat sebentar, mungkin dia akan membaik setelah bangun tidur.

Detik jarum jam berdetak cepat, menit pun berputar mengejar jarum jam. Waktu berlalu tanpa terasa, Sinta tertidur cukup lama, bahkan hari sudah sangat sore saat dia membuka matanya. Dengan cepat wanita itu bangkit dari tidurnya, berlari ke kamar mandi dan mencuci muka. Setelahnya Sinta menyibukkan diri di dapur, dia belum membuat apa-apa untuk makan malam mereka. Masakan paling cepat yang dia buat pun segera diputuskan untuk dimasak. Sinta tak tahu apa dia bisa memasukkan makanan ke mulutnya dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk. Wanita itu masih mempertanyakan mengapa suaminya tak mengatakan hal yang sebenarnya. Apa suaminya tak percaya padanya atau pernikahan mereka hanya permainan semata.

Sinta menggeleng pelan, membuang segala pemikiran negatif yang bertebaran di kepalanya. Dia harus percaya pada suaminya, siapa yang bisa dia percaya di dunia ini selain suaminya, Jamal. Hanya pria itu yang dimilikinya, bahkan kalau semua orang di dunia ini mengecamnya, dia pasti akan mendengarkan penjelasan suaminya dan menyelesaikan masalah di antara mereka.

"Mungkin nanti Mas Jamal akan menceritakannya kalau waktunya sudah tepat," gumam Sinta berpikir positif. Tapi tak bisa disangkal, di sudut hati wanita itu mempertanyakan kapan waktu yang tepat itu tiba. Kapan suaminya akan mengatakan tentang siapa dirinya sebenarnya dan apa alasan pria itu tak jujur selama ini.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Di sisi lain, Jamal tak fokus bekerja. Dia menyiapkan hati sejak pagi untuk memberitahu siapa sebenarnya dirinya. Dia bukan karyawan biasa, dia merupakan cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dia juga menjabat sebagai CEO, tentu saja semua keputusan bisnis yang dia ambil harus atas persetujuan sang kakek, Arman Sanjaya.

Meski sudah menyiapkan hati, tetapi tetap saja Jamal sebenarnya tak ingin memberitahukan istrinya kalau memang dirinya bisa. Dia hanya ingin hidup damai, bahagia berdua bersama istrinya tanpa perlu memikirkan latar belakang keluarga dan segala pengaturan rumit lainnya.

"Kita sudah sampai, tuan muda," ucap supir membuyarkan lamunan Jamal.

"Ya, kamu boleh kembali."

Karena memutuskan untuk jujur, Jamal menggunakan supir untuk mengantarnya. Dia tak yakin bisa fokus menyetir di saat dirinya memikirkan hal lain.

Mau tak mau, siap tak siap. Jamal harus menghadapi semuanya, pria itu menarik napas panjang. Memanggil istrinya dengan wajah yang entah memasang ekspresi rumit seperti apa.

"Mau mandi dulu, mas?" tanya Sinta bersikap biasa. Dia memutuskan untuk menunggu suaminya mengatakan semuanya tanpa bertanya apa pun.

"Mandi, setelahnya ada yang mas ingin bicarakan dengan kamu, dek," Sinta mengangguk. Dadanya kembali bergemuruh, apa mungkin suaminya akan menceritakan yang sebenarnya tantang siapa dirinya. Semoga saja begitu, dia tak tahu apa dia bisa melewati harinya dengan tenang kalau suaminya masih juga menyembunyikan semuanya darinya.

"Mas, ayo kita makan dulu. Nanti baru bicara," tukas Sinta begitu suaminya selesai mandi dan berpakaian ala rumahan.

Jamal mengangguk, mungkin itu pilihan yang benar. Bisa saja mereka tak lagi memiliki selera makan saat sudah selesai bicara nanti. Keduanya makan dalam diam, setiap menitnya terasa begitu menyiksa. Degupan di jantung tak juga berhenti berdetak kencang. Andai saja waktu bisa terhenti di sini, alangkah baiknya. Mereka pasti akan bahagia tanpa harus memikirkan masalah seperti sekarang.

"Biarkan aku mencuci ini dulu, mas bisa nunggu di depan," ucap Sinta merapikan meja makan. Wanita itu berniat mengulur waktu agar dirinya siap mendengar apa yang akan suaminya katakan.

"Itu bisa nanti. Mari kita bicara sekarang," ucap Jamal cepat menghentikan istrinya yang berniat mencuci piring.

Sinta mengangguk, wanita itu kembali duduk di kursi yang tadi dia tempati. Jamal sendiri menggeser tubuhnya agar bisa menghadap istrinya yang sedang duduk di sampingnya. "Sayang, tolong dengarkan aku sampai selesai. Jangan marah, ya? Kumohon!" Jamal memegang erat tangan istrinya. Berharap wanita itu tahu kalau dia tak berniat berbohong sama sekali.

Sinta mengangguk mengiyakan, hatinya semakin yakin kalau masalah yang akan suaminya utarakan sama dengan apa yang didengarnya pagi tadi.

"Aku bukan karyawan biasa," ucap Jamal membuka mulutnya yang terasa pahit karena harus mengatakan hal yang menurutnya bisa membuat hubungannya dan sang istri merenggang.

"Aku ... cucu dari pemilik perusahaan tempat aku bekerja itu sendiri," aku pria itu memejamkan matanya.

"Nama keluargaku, Sanjaya. Kamu pasti pernah mendengarnya," Sinta mengangguk, tentu dia mendengar itu saat mereka menikah, tapi dia tak mengira kalau Sanjaya yang sama dengan salah satu keluarga ternama di kota ini.

"Maaf, sudah menutupinya. Aku hanya ingin kita hidup damai bersama. Tetapi kakek dan keluargaku yang lain selalu merecoki dengan berbagai perjodohan. Terpaksa aku mengatakan kalau kita sudah menikah. Dan sebagai akibatnya, kakek ingin bertemu dengan kamu,"

Jamal sungguh menyesal, hanya karena bosan disodorkan perjodohan, dia dengan bodohnya mengatakan dengan mulutnya sendiri kalau dia sudah berkeluarga. Ini malah membuat istrinya terekspos ke luar. Sang kakek bersikeras menemui Sinta, untuk menilai apa wanita yang menjadi pilihan hati cucunya memiliki nilai guna atau tidak. Hal itu lah yang menjengkelkan bagi Jamal. Dia menikah agar bahagia, bukannya untuk mencari keuntungan atau pun memperluas bisnis mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!