3. Diundang atau diculik?

Jamal merasa terombang-ambing, dirinya tak tahu bagaimana harus berkata jujur pada istrinya. Dari mana dia harus bercerita dan seperti apa tanggapan Sinta nantinya. Semua itu membuat pikirannya kusut. Jamal sama sekali tak dapat memejamkan mata, dia hanya memeluk erat wanitanya yang terlelap di pelukannya. Dia tak ingin momen seperti ini menghilang, dia ingin ini bisa abadi selamanya. Tapi dirinya tahu bahwa jalan yang menanti di depan mereka akan semakin sulit.

Kakeknya tentu tak akan menerima Sinta menjadi cucu menantu di Keluarga Sanjaya. Bagaimana pun caranya, mereka akan melakukan hal keji dan menghina istrinya. Ingin kabur, tapi dia tak mungkin lari dari tanggung jawab yang selama ini diembannya. Apa tak bisa dia memilih keduanya, antara cinta dan keluarga. Dia hanya ingin bahagia bersama semuanya.

Lamunan Jamal buyar saat sadar kalau istirnya menguap entah yang ke berapa kalinya. Pria itu pun mengusak pelan rambut istrinya yang tergerai panjang. "Tidur duluan sana, mas masih mau nonton sebentar lagi," tukasnya dengan lembut.

Sinta mengangguk, dia memang selalu cepat tidur biar bisa bangun lebih awal. Membuatkan sarapan sembari sedikit beberes rumah. Begitu suaminya berangkat bekerja, barulah dia mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya yang seakan tak ada habisnya meski sudah dikerjakan setiap waktu.

Jamal mengusap wajahnya kasar, dia tak fokus menonton. Itu hanya alasan saja agar dirinya bisa tetap di sini untuk sementara waktu dan menata pikirannya. Suka atau tidak, dirinya harus jujur suatu saat nanti.

Tak lama kemudian, pria itu mengangguk yakin. Dia harus bicara setelah pulang bekerja. Ya, itu yang harus dia lakukan agar istrinya tak terlalu kaget saat mengetahui kalau dia merupakan salah satu golongan konglomerat. Setelah menata hatinya, Jamal pun menyusul untuk mengarungi dunia mimpi. Tak lupa sebelumya dia memeriksa keamanan rumah, memastikan semua pintu dan jendela dalam keadaan terkunci.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Keesokan harinya, seperti biasa. Jamal berangkat kerja pada waktu yang sama. Pria itu paling anti yang namanya telat, dia menyukai kalau semuanya tertata dengan rapi dan sesuai jadwal atau tempatnya.

Baru saja Sinta akan kembali ke dalam rumahnya, sebuah mobil mengkilap yang terlihat sangat mahal berhenti tepat di depan pagarnya. Sinta mengernyitkan dahinya, tapi segera saja dia mengangkat bahu. Mungkin itu cuma orang yang berhenti untuk mencari alamat. Dan hanya kebetulan saja berhentinya tepat di depan rumahnya.

Sayangnya perkiraan wanita itu salah. Dua pria berpakaian serba hitam turun dari sana dan berjalan menuju arahnya. Takut kalau mereka mungkin orang jahat, Sinta segera menutup pintu dan hanya membuka sedikit saja.

"Permisi, kami di sini untuk menjemput Nona Sinta,"

Jantung Sinta berdegup kencang, dia tak kenal orang yang barusan. Tetapi mengapa mereka bisa tahu siapa namanya. Apa dia harus menelepon suaminya untuk kembali, tapi apa akan keburu.

"Kami tahu anda ada di dalam!"

Sinta mengintip melalui celah, mencoba menjawab meski dengan suara tergagap. "Si, si, siapa kalian?!"

"Kami di sini atas perintah tuan tuan. Beliau ingin kami membawa anda menemui beliau!"

"Saya tak kenal tuan kalian!" pekik Sinta cukup nyaring.

"Kami tak ingin menggunakan kekerasan, nona!"

Sinta tahu kalau ini sudah termasuk ancaman, tapi kalau dia menelepon polisi atau menghubungi suaminya, apa waktunya masih cukup. Apa orang-orang yang ada di depan pintunya ini mau menunggu hingga salah satu dari yang dihubungi Sinta datang menolong dia.

"Biarkan saya meminta izin pada suami saya dulu kalau begitu!" tukas Sinta mengulur waktu.

"Itu juga tak boleh, nona! Tuan berpesan anda harus datang diam-diam tanpa memberi tahu siapa pun!"

"Saya sungguh tak kenal dengan tuan kalian! Saya tak tahu apa masalahnya hingga tuan kalian ingin bertemu dengan saya," ucap Sinta dengan wajah bingung. Dia tak diizinkan menghubungi suaminya. Berarti orang itu tahu siapa suaminya dan mungkin saja kalau dia menghubungi Jamal, pria itu akan terlibat masalah karenanya.

"Kami tak akan menyakiti anda! Anda bisa meninggalkan catatan kalau masih tak percaya. Tapi tolong jangan telepon siapa pun perihal kedatangan kami berdua!"

Memang benar kalau pernyataan itu diucapkan dengan lancar, bahkan terlalu lancar untuk dikatakan sebagai sebuah kebohongan yang disengaja. Tetapi apa bisa hanya sekedar ucapan dipercaya begitu saja.

"Nona, tuan sudah menunggu anda,"

Sinta memejamkan matanya, dia harus mengambil keputusan dengan cepat. Dirinya tak boleh membuat masalah ini berlarut-larut dan berimbas pada pekerjaan suaminya.

"Baiklah, tolong tunggu sebentar. Saya akan berganti pakaian dan menulis pesan,"

Mau tak mau, suka tak suka, Sinta

harus menghadapi semuanya. Walau dia tak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Dia harus siap untuk bertemu dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya.

"Mari kita pergi," ucap Sinta setelah mengunci pintu rumahnya.

"Silakan masuk, nona,"

Perlakukan sopan sedikit mengurangi kekhawatiran wanita itu. Dia terus berdo'a di dalam hatinya semoga tak ada masalah yang terjadi karena keputusan yang sudah dia buat.

"Kita sudah sampai, nona. Ikuti wanita itu, dia yang akan mengantar anda untuk menemui tuan,"

Saking sibuknya berdo'a, Sinta sampai tak sadar kalau mobil yang dia tumpangi sudah berhenti dan sampai di tujuan. Rumah yang sangat megah dengan gerbang tinggi yang berukiran cantik menyapanya begitu dirinya turun dari mobil. Seperti yang dikatakan pria tadi, sudah ada seorang wanita yang menunggu kedatangannya.

"Selamat datang, nona. Mari ikuti saya," ucapnya sopan.

Sinta hanya mengangguk, mengikuti wanita itu dengan baik. Sinta tak ingin tersesat di tempat yang dia tak ketahui sama sekali di mana ini.

"Tuan, tamu yang anda tunggu sudah di sini!"

"Suruh dia masuk!"

"Silakan masuk, nona. Saya hanya bisa mengantar anda sampai di sini,"

Ingin rasanya Sinta mencegah wanita itu pergi, dia takut ditinggal sendirian. Suara pemilik ruangan ini terdengar begitu dingin dan menakutkan. Dia tak mau bertemu hanya berdua saja dengan pria itu.

Sinta menarik napas panjang beberapa kali. Berharap hal itu bisa mengurangi ketegangan yang dia rasakan.

"Permisi, tuan," tukas Sinta tersenyum kaku. Dia tak berani menatap langsung orang yang berada di dalam ruangan ini. Hanya sekilas dia melihat dan segera saja Sinta mengalihkan pandangannya, takut kalau orang yang dipandangnya justru balas menatap tajam ke arahnya.

Hening, tak ada balasan. Namun, Sinta yakin kalau pria di depannya ini sednqb menatap lekat ke arahnya. Entah untuk tujuan apa hal itu dilakukan.

Helaan napas terdengar, disertai dengan decakan kesal yang membuat jantung Sinta semakin bertalu. Apa dia sudah melakukan kesalahan hanya dengan hadir di sini.

"Duduk! Kita perlu bicara!"

Bak terhipnotis, Sinta langsung duduk di sembarang kursi. Kakinya tak kuat untuk berdiri lama di depan manusia superior seperti orang ini. Semoga saja ini berakhir dengan baik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!