PSG 3: Pantangan Raja Muda

*Perang Selat Gigit (PSG)*

 

Raja Muda Arda Handara terus melesat terbang menuju ke sebuah area berkabut di atas laut, yang jika dilihat dari jauh, kabut itu tidak terlihat wujudnya. Namun, ketika kian didekati, kabut tebal akan terlihat luas, seperti menutupi sebuah alam.

Ketika Arda Handara terus terbang dengan Tongkat Kerbau Merah menerobos tebalnya kabut, maka kemudian terlihat ada dunia yang cukup terang di baliknya, yaitu sebuah pulau besar yang juga berkabut, tapi masih bisa melihat keindahan pulau. Di atas tengah pulau bahkan ada kabut tebal berwarna kuning.

Arda Handara terus terbang mendekati pulau, tepatnya pergi terbang mendekati sebuah pelabuhan yang sedang dalam proses pembangunan benteng. Itu adalah Pelabuhan Pintu Kabut. Ada sejumlah kapal perang yang bersandar di pelabuhan itu.

Setelah Permaisuri Dewi Ara dan pasukannya berhasil mengalahkan orang-orang Kerajaan Puncak Samudera beberapa pekan lalu, pelabuhan di sisi utara pulau itu hanya dikhususkan sebagai pelabuhan militer. Sementara Pelabuhan Kepeng yang ada di pesisir selatan menjadi pelabuhan komersial, tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang dan kapal-kapal tamu. Jika ada tamu yang datang dengan kapal perang, tetap harus berlabuh di Pelabuhan Kepeng. Jadi, Pelabuhan Pintu Kabut khusus untuk kapal-kapal militer Kerajaan Kabut Kuning.

Ketika Arda Handara kian mendekati pelabuhan yang sibuk dengan pekerjaan membangun benteng, dia melihat sang ibu yang cantik jelita sedang berdiri di dermaga seolah-olah memang menunggunya pulang dari latihan perang.

Permaisuri Dewi Ara tidak seorang diri, tetapi di temani oleh seorang kakek dan dua anak perempuan.

Si kakek berjubah putih dan bertongkat kayu berwarna merah memiliki wajah yang aneh dan menyeramkan, yakni tidak berhidung. Hidungnya dalam bentuk tengkorak. Rambutnya digelung rapi dengan ikatan pita putih. Dialah Eyang Hagara, guru sekaligus paman Arda Handara, tapi dipanggil “Eyang”.

Adapun dua anak perempuan yang berdiri di sisi kiri Permaisuri Dewi Ara, mereka berpenampilan berbeda dengan tingkat kecantikan yang berbeda.

Anak perempuan yang mengenakan pakaian bagus berwarna kuning dan mengenakan banyak perhiasan emas, perak dan permata, berparas cantik dengan make-up yang sempurna. Ujung belakang pakaiannya cukup panjang dan akan terseret di tanah jika dia berjalan. Dia mengenakan mahkota emas. Yang khas dari wajahnya adalah model bibirnya yang agak mengerucut, bukan karena giginya tonggos, tapi terpengaruh dari model dagunya yang pendek. Dialah Permaisuri Keken, istri Arda Handara, tapi belum boleh tidur bersama hingga usia Raja Muda mencapai dewasa.

Anak perempuan satunya berwajah cantik nan indah. Dia juga berpakaian warna kuning cerah. Kulit wajahnya yang putih bersih seolah menandakan bahwa dia adalah anak seorang kaya atau bangsawan. Rambutnya yang tidak terlalu panjang dikuncir tiga dengan pita kecil warna merah muda. Dua kunciran di kanan dan kiri kepala, satu di puncak kepala. Model rambut itu membuatnya selain terlihat cantik, juga terlihat lucu. Hidungnya yang mungil mancung tanpa lendir. Namun, dia tidak terlihat mewah oleh perhiasan seperti sang permaisuri kecil. Usianya tiga belas tahun, lebih muda satu tahun dari Permaisuri Keken. Dia bernama Mimi Mama, mantan Pembunuh Kedua dari Sepuluh Pembunuh Kepeng Emas. Sebenarnya dia adalah putri dari Ratu Bunga Petir yang berkuasa di Pulau Tujuh Selir. Dia bergelar Putri Cahaya Bulan. Meski fisiknya kecil, tetapi kesaktiannya jangan ditanya.

Mimi Mama sebenarnya tidak memiliki hubungan kerabat dengan Permaisuri Dewi Ara atau dengan Permaisuri Keken. Pembunuh berdarah dingin itu hanya suka ikut dengan Permaisuri Dewi Ara yang sakti mandraguna. Dan Permaisuri Dewi Ara pun membiarkannya ikut yang kemudian dia juga menanam jasa saat perang pembebasan Negeri Pulau Kabut. Saat ini dia tidak memiliki status khusus dalam pemerintahan baru Kerajaan Kabut Kuning.

Sementara di belakang mereka berempat ada para pengawal dan dayang-dayang yang berdiri berbaris.

Suara ombak dan suara kerja para pekerja menjadi musik latar belakang pada senja itu.

Raja Muda Arda Handara datang dan mendarat seperti seekor burung yang mendarat halus di dermaga, tepatnya di depan ibunya, pamannya, istrinya dan temannya.

“Hahaha! Aku menang, Ibunda!” teriak Arda Handara girang, membuat Eyang Hagara dan Permaisuri Keken tersenyum lebar.

Sementara Permaisuri Dewi Ara, seperti biasa dia mahal senyum, meski kepada putra satu-satunya. Adapun Mimi Mama hanya memandang dengan cibiran bibir.

“Ibunda sudah tahu,” kata Dewi Ara.

“Bagaimana Ibunda bisa tahu?” tanya Arda Handara.

“Ilmu perisaimu tidak tersentuh oleh serangan,” jawan sang ibunda.

Dalam latihan perang barusan, tubuh Arda Handara memang dilindungi oleh perisai gaib yang tidak terlihat. Itu bertujuan agar sang raja muda tidak menderita cedera jika ada serangan yang mengenai. Ilmu perisai itu milik Permaisuri Dewi Ara. Jadi, dia akan tahu jika perisainya tidak tersentuh oleh serangan.

Melihat istrinya tersenyum gembira mendengar kabar kemenangannya, Arda Handara lalu berjalan tergesa sambil merentangkan kedua tangannya bermaksud memeluk Permaisuri Keken.

“Permaisuriku!” sebut Arda Handara dengan senyum lebarnya.

“Jangan coba-coba memeluk Permaisuri, Arda,” kata Dewi Ara sambil mencengkeram belakang leher baju putranya dan menariknya ke belakang, sehingga gagallah tercipta pelukan suami istri bocil itu.

“Hihihi!” tawa Mimi Mama melihat itu, di saat Permaisuri Keken jadi terbeliak diam.

Ketika cekalan ibunya dilepas, Arda Handara tiba-tiba berlari kecil kepada Mimi Mama.

Mimi Mama yang sedang menertawai raja dan permaisuri jadi terkejut saat Arda Handara tahu-tahu memeluknya.

“Gusti Raja Arda, lepaskan! Atau aku akan melemparkanmu ke laut, tidak peduli kau adalah raja!” teriak Mimi Mama gusar di dalam pelukan Arda Handara.

Sebenarnya dia bisa langsung menghajar Arda Handara. Namun, jika dia melakukannya, itu sama saja menghajar semua penghuni Negeri Pulau Kabut, karena Arda adalah rajanya.

“Hahaha!” tawa Arda Handara sambil melepaskan pelukannya kepada Mimi Mama yang memang memiliki kecantikan jauh di atas Permaisuri Keken.

Istri muda itu hanya merengut melihat tindakan suaminya yang memeluk wanita lain di depan matanya.

“Kalau aku memelukmu, aku tidak punya larangan. Kalau aku memeluk Ibunda, sudah keseringan selama sebelas tahun. Hahaha!” kilah Arda Handara enteng.

“Tapi itu tindakan tidak patut, Arda. Apalagi kau seorang raja yang disaksikan oleh rakyatmu. Yang lebih buruk lagi, kau memeluk wanita lain di depan istrimu. Itu akan membuatnya sakit hati dan cemburu,” kata Dewi Ara menasihati.

“Tapi, Ibunda. Aku memeluk Mimi Mama bukan untuk mengajaknya menikah. Aku memeluknya hanya karena senang dan tidak ada aturan yang melarangku,” kilah Arda Handara.

“Jadi kau mau dibuatkan banyak larangan?” tanya sang ibu.

“Tidak, Ibunda,” jawab Arda Handara patuh.

“Takdirmu menjadi raja di usia muda. Jadi, teruslah berlatih dan belajar. Ingat, nyawa rakyat negeri ini ada di tanganmu,” kata Dewi Ara.

“Iya, Ibunda,” ucap Arda Handara.

Dia lalu bergeser ke depan permaisurinya.

“Maafkan aku, Permaisuriku,” ucap Arda Handara sembari menunduk merasa bersalah.

“Tidak apa-apa, Rajaku. Seharusnya aku tidak boleh cemburu di masa-masa kecil seperti ini,” ucap Permaisuri Keken lalu tersenyum lembut.

Arda Handara kemudian tersenyum lebar.

“Nanti malam, setelah latihan dengan Eyang, aku janji, kita main uyut-uyut,” janji Arda Handara.

Sembari tersenyum lebar, Permaisuri Keken mengangguk, menunjukkan bahwa dia senang.

“Gusti Raja!” panggil Eyang Hagara.

Arda Handara pun beralih memandang kepada gurunya.

“Dengan mengalahkan Armada Mata Dewa dan Armada Ombak Perjaka, menunjukkan bahwa perkembangan kesaktian Gusti Raja Muda sangat baik. Malam ini kita akan mematangkan ilmu Bola Mata Pemarah,” kata Eyang Hagara.

“Baik, Eyang,” ucap Arda Handara patuh.

Dari arah belakang muncul seorang prajurit. Kedatangannya segera dihentikan oleh Tikam Ginting, pendekar wanita cantik yang merupakan pengawal pribadi Permaisuri Dewi Ara.

“Ada apa, Prajurit?” tanya Tikam Ginting.

“Ada pesan burung dari teliksandi di Negeri Karang Hijau, Gusti,” jawab prajurit itu sambil mengulurkan telapak tangan kanannya yang membawa segulung kain hitam kecil. (RH)

Terpopuler

Comments

ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌

ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌

arda di bilangin ngeyel

2024-06-10

0

momoy

momoy

makin keren om,,,,semangat om

2023-06-29

2

Mawan Iwan

Mawan Iwan

😆😆🤣

2023-06-21

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!