April mengendus harum lotion yang baru dibeli ibunya. Dia enggak punya duit untuk beli sendiri, makanya minta ke ibu. Tangannya mengambil lotion dengan serakah dan mengoleskannya ke tangan, mengeluarkan aroma semerbak. Kalau habis body care rasanya jadi lebih cantik beberapa kali lipat.
Dari kaca kamar, tampak pantulan ibunya yang berkacak pinggang di depan pintu. April menoleh ke belakang. Dengan cengiran kecil, ia berkata, "Bu, lotionnya harum banget. Hehe."
"Ibu belum make kok kamu malah udah make aja. Enggak izin pula," ujar ibu April, Dwiana, lalu menyambar lotion itu dari tangan anak perempuan satu-satunya di rumah itu.
"Ibu beli di mana? Harum banget, lho."
"Kenapa nanya? Mau beli? Emang kamu mampu?"
"Ibu belajar darimana sih kok savage banget, ke anak sendiri pula."
Baru saja ibunya meninggalkan kamar tidurnya, sosok lain kini singgah di kamarnya seenak jidat. Rebahan di kasurnya yang tersayang, memeluk guling favoritnya, sambil mengangkangkan kaki sehingga tak ada tempat untuk April tiduran juga. Siapa lagi? Tentu saja, kakak laki-lakinya yang laknat.
"Kak Hugo, turun ih! Ada kamar sendiri, tahu," protes April sembari menarik kaki kakaknya untuk pindah.
"Berisik, Pril. Di kamar gue tuh panas."
"Kak Hugo tinggal di jaman apa sih? Ada teknologi bernama kipas angin, kali."
April tahu kakaknya memang punya nilai rapor yang meresahkan karena selalu rebutan peringkat terakhir sama tetangga, tapi enggak sebodoh itu sampai enggak tahu kipas angin, 'kan?
"Kipas angin kalau dipake terus ngabisin listrik, geb. Lo bantu ibuk masak kue aja lah." Dengan kurang ajarnya, sang kakak mendorong tubuhnya menjauh dari kasur menggunakan kaki yang baunya ngalahin tahi sapi. April tebak, kakaknya pasti enggak mencuci kaus kakinya lebih dari sebulan, dan menggunakan kaus kaki yang sama untuk sekolah, main futsal, maupun kegiatan ekskul. Tak sudi berdiam lama di ruangan yang sama dengan kakaknya, April turun ke lantai satu dan menjajah ruang televisi yang kosong. Dari sini, suara mixer dan alat-alat dapur ibu dapat didengarnya.
April jadi ingat sesuatu. Ia membuka ponselnya dan mencari kontak doi yang namanya telah ia ubah menjadi, Pacar April satu-satunya (emot hati, dan kiss). Membaca nama kontaknya saja sudah membangkitkan euforia di hati April. Seolah roh Citra ada di dekatnya, ia bisa mendengar suara Citra mengatakan, "Alay abis. Kak Husain enggak ilfeel sama lo?" Namun, April menepis roh Citra yang menghinggapi kepalanya.
April menatap kontak itu. Ia jadi tergoda mengganti kontaknya dengan nama yang normal, tetapi keteguhannya tidak goyah, nama itu akan menjadi legenda abadi. "Semoga saja Kak Husain tidak ilfeel," ujar April dalam hati berkali-kali seolah hendak menjampi-jampi orang.
Ikon bergambar telepon ia tekan, tak lama terdengar suara operator mengatakan bahwa pulsanya tidak cukup. Rasanya, April ingin mengumpat, tetapi April adalah anak baik (anggapannya sendiri. Opini tidak valid) jadi ia hanya mengerucutkan bibir dengan ekspresi bete. Euforianya jadi berkurang.
Namun, bukan April namanya kalau kehabisan akal. Ia berdiri dan berteriak dari lantai satu, "Kak, hotspot!" Kakaknya yang baru saja membuka aplikasi game P*BG mendesah kesal. Ia beralih membuka pengaturan lalu menghidupkan hotspot untuk adiknya.
"Udah!" balasnya dengan teriakan yang tak kalah besar. Saat-saat seperti ini lah, satu-satunya alasan Kak Hugo tetap ia sebut kakaknya. Kalau enggak, April sudah dari lama menghapus namanya dari Kartu Keluarga April (KKA).
April melompat girang. Kini, ia membuka aplikasi chatting, lalu mencari kontak Husain untuk melanjutkan niatnya menelepon sang pacar. "Ea, keren banget. Manggil Kak Husain pacar." Kira-kira itu isi pikiran April sekarang.
Begitu nada tersambung terdengar, April jadi gugup sendiri. Bahkan, ia merapikan rambut meski tahu ini hanyalah telepon suara.
"Halo?"
"Suara Kak Husain masyaallah merdu banget padahal enggak lagi nyanyi," puji April dalam hati.
"Iya, Kak. Ini April, hehe." "Astaga, buat apa dijelasin Pril, jelas dia tahu ini kamu," gerutunya gemas dalam hati.
April menepuk jidatnya sendiri.
"Iya, kenapa?"
"Enggak ada apa-apa sih. Gak boleh telepon, ya?" tanya April was-was. Dia tahu Husain punya banyak kegiatan, enggak enak juga kalau teleponnya menganggu.
"Boleh, kok. Mau ngomong apa?"
"April mau nanya, Kak Husain sukanya makanan apa?" Itu improvisasi. April enggak tahu kenapa dia tiba-tiba bahas makanan. Ah, tapi ada pepatah yang mengatakan, "Dari hati turun ke perut." Ide bagus.
Di kamarnya, Husain mengernyit mendengar pertanyaan April. Sedikit nada bercanda ia selipkan saat mengatakan, "Kenapa? Mau dimasakin?"
April mengulum bibirnya, pipinya bersemu malu. "Hehe, iya."
"Emang bisa masak?"
"Ih, Kak Husain ngeremehin April ya? Enggak pinter masak sih, tapi kalau buat kue bisa. Ibu buka bisnis pesan-antar kue soalnya," jawab April sembari memilin sarung bantal sofa.
"Ooh, suka apa aja, sih. Kecuali, sayur terutama seledri."
"Nanti, April bawain kue aja ya."
Husain menganggukkan kepala. Keduanya diam cukup lama, lalu April dengan nada kebingungan dan ragu memanggil nama Husain. "Kak, enggak mau dibawain ya?"
"Mau kok, tadi kan gue udah ngangguk."
"Tapi ... ini kan telepon suara."
"Oh, iya." Husain di seberang telepon menutup sebagian wajahnya malu dengan sebelah tangan. Seperti orang ling-lung.
Pecah suara tawa April di sambungan telepon. Husain terkejut dan menggosok telinga yang berdengung. Namun, mendengar tawa itu belum berakhir, perut Husain ikut merasa tergelitik, kekehan pelan keluar dari bibirnya.
Keduanya mengobrol cukup lama. Husain berbaring menatap langit-langit kamarnya. April hampir terpejam sembari merebahkan diri di atas sofa.
Dari seberang telepon, April mendengar suara Husain yang menguap. Tak berselang lama, lelaki yang disukainya itu mengucapkan selamat malam dan menutup telepon. Ponsel Husain berdering, bunyi notifikasi aplikasi bertukar pesan, Whatsapp. Dibukanya aplikasi chatting yang ramai digunakan penduduk tanah air itu. Dua pesan dari April.
Aprilia X IPA 3
Gudnite, Kak.
Nanti, April mau mimpiin orang biar nyenyak.
^^^Mimpiin siapa? ^^^
Ketik Husain di ponselnya. Tak lama, dua centang abu-abu telah berganti warna menjadi biru.
Ada deh. Orang ganteng.
"Dia mau sok misterius?" batin Husain.
^^^Ya siapa^^^
"Buset, ini kenapa kesannya gue kepo banget," rutuk Husain pada dirinya sendiri.
Bentar, April kirim fotonya.
Gadis itu mengirim sebuah foto berukuran sebesar layar full hitam. Ini emang fotonya atau handphone Husain yang nge-lag?
^^^Kok item semua? ^^^
Ihh ada, perhatiin deh, di layar ada muka siapa.
Mengikuti instruksi April dengan tepat, Husain menatap layar ponselnya sendiri keheranan. Semakin lama menatap layar, Husain menyadari bahwa ada pantulan wajahnya di sana. Aneh, pipi Husain terasa panas dan senyum kecilnya merekah. Ini menggelikan.
^^^Gue ya?^^^
Iya. Dah.
"Apa sih, gaje banget." Isi hatinya begitu, tetapi ekspresinya enggak bisa berbohong.
Di bawah nama kontak April, tulisan online telah menghilang. Di tempatnya, Husain meremas bantal dan menatap langit-langit gemas.
"Cih, masa lebih pinteran dia gombal daripada gue. Gengsi dong jadi cowok."
Meski menggerutu seperti itu, Husain tak dapat menyangkal bahwa kepribadian April yang sangat ngegas banget mendekatinya terkesan imut. Ini gawat, dia mulai baper.
April turun dari sofa dan ngacir ke dapur, tempat ibunya memanggang kue. Lengannya memeluk siku sang ibu, dengan nada manja ia berujar, "Bu, April bantuin, deh, buat kuenya."
Ibunya memandangi putri tunggalnya dengan sinis. "Pasti ada maunya, nih."
"Hehe. April minta dikit buat dibawa ke sekolah, ya."
***
Dengan kotak bekal di tangannya, April memasuki kelasnya dengan ceria. Sang sahabat telah duduk anteng di depan mejanya. April mengetuk meja, sinyal yang mereka pakai yang artinya ada yang ingin dibicarakan. Citra menoleh dan menaikkan sebelah alis. April bercerita tentang telponan malamnya dengan Husain, ia bercerita dengan sangat menggebu-gebu. Senyum tak luntur dari wajahnya.
Citra hanya merespon dengan anggukan seadanya. Begitu temannya mengakhiri kisahnya dengan menunjukkan bekal yang ingin ia berikan pada Husain.
"Pril," panggil Citra.
"Kenapa?"
"Lo belom cerita apa-apa pasti ke Isla, kan?"
April sontak bergeming. Astaga, dia lupa. Isla adalah sahabatnya yang berada di jurusan IPS. Mereka jarang bertemu karena gedung IPS untuk kelas sepuluh memang agak jauh dari gedungnya. Dia harus segera ke kelas sahabatnya itu. Enggak enak 'kan, kalau dia belum cerita dan Isla dapat kabar kalau dia punya pacar dari orang lain.
"April ke kelas Isla sekarang aja, deh!" putus April lalu berlari ke gedung tempat kelas Isla berada. Isla duduk di kelas X IPS 4. Mereka berteman sejak SD, lalu berpisah karena memilih SMP yang berbeda hingga kembali satu sekolah di SMANDUGA.
Kini, kakinya telah berdiri di depan kelas X IPS 4. Tiga kali ketukan di pintu membuat atensi semua murid kelas itu mengarah padanya. Ia tersenyum kecil, "Ada Isla?" tanyanya.
Isla, gadis berambut panjang dengan poni belah tengah dan mata bulat, bangkit dari posisi terlentang di lantai kelas yang dibentangkan karpet biru bergambar minion.
Ia menghampiri April dengan langkah cepat.
"Tumben ke sini, kenapa?" tanyanya to the point.
"Jadi, sebelumnya, April mau minta maaf ke Isla. Aduh, April lupa belum cerita apa-apa ke Isla. Tapi, sebelum cerita, cari tempat duduk, yok. Gedung April sama gedung Isla jauh bener, kaki ini capek." Pergelangan tangan April ditarik, ia dibawa duduk di atas karpet minion.
"Di sini aja, gimana?"
"Nanti banyak yang denger, La."
"Ya udah, mojok," ujarnya sambil menunjuk pojokan kelas.
April memundurkan pantatnya dan bersender di dinding. Tubuhnya dan Isla berdempetan, kaki mereka saling menyentuh. April mulai bercerita dengan suara berbisik.
"Sebenarnya sih, Pril, gue udah tahu kalau lu pacaran sama Kak Husain dari kapan hari," ujar Isla setelah April menyelesaikan ceritanya.
"Kok bisa?"
"Dari gosip, lah. Btw, selamet ya yang udah punya pacar." April tersenyum malu-malu.
"Kapan-kapan, April kenalin deh ke Kak Husain."
Isla mengiakan. April ingin bercerita lebih banyak, tapi bel tanda masuk kelas terpaksa mengakhiri obrolan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments