School Myth: When Lies Become Reality

School Myth: When Lies Become Reality

Surat Cinta

"Cinta pertama itu cinta yang sulit dilupakan, karena itu pertama kalinya kita mengenal cinta."

***

Kaki April meraba lantai mencari letak sandal rumahnya yang berbulu. Matanya setengah terpejam tatkala ia keluar dari kamarnya. April meneguk setengah botol aqua yang ada di atas meja. 

"Seger," ujarnya lega setelah memuaskan dahaga. 

April mengucek kedua matanya dan melihat jarum jam yang sudah menunjuk pukul sembilan pagi. Atau siang? Terserah, April tidak peduli. Ia hendak kembali membaringkan tubuhnya di kasur saat ponselnya berdering. Ia menekan tombol hijau, kemudian suara sahabatnya sejak SMA terdengar. 

"Udah bangun lo?" 

"Udah." 

"Weekend nih, main ke pantai, yuk." 

"Bentar," April mengecek kalender yang tergantung di dinding samping kaca riasnya. Tanggal 1 April 20XX dilingkari dengan pena merah. Ini harinya. 

"Gak bisa, gue mau pergi, Cit. Biasa, tanggal 1 April." 

"Pasti lo mau ke sekolah kita lagi, deh. Lo ke sana tiap 1 April kenapa sih? Tahun lalu kan udah," protes Citra heran akan tingkah sahabatnya itu. 

"Gue kan gak tahu kebohongan mana yang kira-kira bakal jadi nyata, Cit."   

"Percaya aja lo takhayul begituan." 

April terkekeh pelan. 

"Malah ketawa lo, ya," ujar Citra dengan nada meninggi. 

Tak mau mendapat semprotan dari sahabatnya, April buru-buru memutus sambungan telepon. 

"Fyuh, selamat," ucapnya lega sembari mengelus dada. 

Tak ingin membuang-buang waktu, April terpaksa menyudahi rebahannya hari ini. Mengambil handuk yang digantung di balkon apartemennya dan segera membersihkan diri. Bersiap pergi ke tempat tujuan. 

Kadang, saat melakukan hal-hal simpel yang biasa kita temui sehari-hari, membuat April teringat cinta pertamanya. Seseorang pernah mengatakan, "Cinta pertama itu cinta yang sulit dilupakan, karena itu pertama kalinya kita mengenal cinta." Sepertinya itu berlaku untuk April. Karena sampai saat ini, ia masih belum bisa melupakan-nya.

Misalnya, saat ia mengenakan dasi, ia teringat bagaimana rapi dasi cinta pertamanya itu. Atau saat ia memakai bedak di dahinya, ia akan teringat bagaimana dia sering menyentil tempat itu. Mungkin love abuse? Tidak sakit sebenarnya, tetapi April suka mendramatisasi keadaan bersamanya. Ketika ia mengoleskan lipstick pada bibirnya, ia juga teringat dia—sebelum salah paham, tidak, mereka tidak pernah berciuman. Ia hanya teringat bahwa mereka tidak pernah sampai ke tahap itu.

April menatap sosoknya di pantulan cermin. Kaus putih polos dipadukan dengan jaket denim, serta kulot berwarna hitam sebagai bawahan. Tampilan yang akan membuat cinta pertamanya, jika melihatnya sekarang, akan bingung apakah ia adalah orang yang sama dengan orang yang pernah ia sukai. Gaya berpakaian April dulu cukup mencolok.

Mobil Brio merahnya menunggu di pojok parkiran apartemen. Jempolnya menekan tombol bergambar kunci terbuka pada kunci mobilnya, bunyi "klik" pun terdengar. April memasuki mobil itu dan membawanya melaju di jalanan ibukota. 

Jalan yang kini ia tempuh sudah dihapalnya di luar kepala. Tak terhitung sudah berapa kali ia pergi ke sana. Tiga tahun masa sekolah, sisanya masa-masa ia berkunjung. Ia memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah. Menggeser pagarnya yang ditutup. Dikarenakan libur weekend, sekolah kosong total. April tak perlu khawatir ditegur atau disapa warga sekolah. Walau satpam sekolah ini sudah hapal, ia pasti berkunjung ke sekolah di tanggal ini. 

Alasan mengapa April tak henti mendatangi sekolah ini meski ijazah telah ia terima bertahun-tahun lalu, adalah pohon beringin yang terletak di pojok belakang sekolah. 

Di sekitar pohon, daun-daun tua berserakan. Bahkan, ketika ia datang, beberapa helai daun jatuh dengan lambat dari rantingnya.

April menyentuh batang pohon itu dan mengelusnya pelan. "Hai, lama gak ketemu, ya?" 

***

April menatap amplop berisi surat berharga di dalamnya dengan teramat serius. Sahabatnya sampai geleng-geleng melihat raut serius April yang bahkan saat ulangan, kuis, dan persentasi tak pernah sekalipun ia tunjukkan. 

"Mau ngapain lo?" tanya Citra seraya memutar kursinya menghadap ke belakang, tempat April duduk saat ini. 

"Cit, pernah denger gak soal mitos SMA kita?" 

"Mitos yang mana? Yang dulunya sekolah ini bekas rumah sakit jiwa? Pernah kalau yang itu," ujar gadis dengan rambut sebahu itu.

"Bukan yang itu. Tahu pohon beringin di belakang sekolah yang katanya udah berusia ratusan tahun, gak?" 

"Buset, ratusan tahun? Yang bener aja lo?" 

"Ih, Citra jangan salfok. Tahu gak?" 

"Tahu, kok. Yang katanya berhantu, kan?" 

April mengerjap cepat. "Citra jangan nakutin gitu, dong." Tangannya memukul tangan Citra gemas. 

"Katanya doang, April. Belum tentu bener, kok." 

"Oke-oke. Ada mitos, katanya kalau bohong di bawah pohon itu pada tanggal 1 April, nantinya kebohongannya jadi beneran!" ujar April menggebu-gebu. 

"1 April berarti hari ini, dong." 

"Iya!" 

"Oke. Jadi?" Citra nggak paham kenapa sahabatnya tiba-tiba mengungkit-ungkit mitos sekolah. Mau ikut komunitas aliran mistis, gitu? 

"Jadi, April bakal gunain kesempatan ini untuk ngungkapin perasaan ke Kak Husain!" Kelewat bersemangat, April memukul mejanya keras sampai anak-anak di kelasnya menoleh dengan tatapan penasaran. Bagi April, tatapan-tatapan itu tidak ada, merasa diperhatikan pun tidak. 

"Doa'in, ya!" bisiknya sebelum berlari ke luar kelas dengan senyuman lebar. 

"Woi!" pekik Citra mengejar April hingga ke depan pintu. Temen gue kenapa, ya tuhan. 

April sendiri berjalan dengan lompatan-lompatan kecil di setiap langkahnya. Kelas sang gebetan berada satu gedung dengan kelasnya, hanya beda lantai. April di lantai satu untuk anak kelas X IPA, sementara doi di lantai dua untuk anak kelas XI IPA. 

Kepalanya mendongak mencari papan nama kelas XI IPA 2, kelas Kak Husain, kakak kelas yang sejak lama ia sukai. Begitu menemukannya, April berjalan semakin pelan dan tubuhnya gemetar karena gugup. Sosoknya berhenti di depan pintu dan menemukan puluhan siswa-siswi yang satu tingkat lebih tinggi darinya menatapnya sekarang. 

"Oke, tenang. Gak usah gugup, April," bisiknya pada diri sendiri. 

"Nyari siapa, Dek?" Seorang kakak kelas bertubuh tinggi dengan alis tebal bagai Angry Bird merah berdiri di depan pintu. 

"Kak Husain ada, Kak?" tanyaku lalu mengulum bibir. Sekilas, aku melirik ke dalam ruang kelas. 

Kakak kelas di depanku manggut-manggut, kepalanya menoleh ke belakang lalu berkata dengan suara keras, "Husain, ada yang nyariin, nih!" 

Sosok yang menduduki tahta di hatiku saat ini berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat. Tolong, jantung April mau lepas. Cepat-cepat ia mengatur napasnya yang hampir megap-megap cuma karena melihat ketampanan sang gebetan.  

"Kenapa, Dek?" 

Mata April bergerak tidak fokus. Tangannya yang gemetar terangkat dan menyerahkan surat berharga itu ke depan dada Husain. Padahal ia sudah mengulang-ulanh dialog antara ia dan Husain—dalam kepalanya—tetapi dihadapannya, ia tetap gugup dan sulit bicara. Sia-sia waktu tidur yang ia potong akibat overthinking berat karena pengakuan cinta ini.

"Buat Kak Husain." Menurut dialog yang harusnya ia gunakan, harusnya terdapat kurang lebih 80 kata yang dipersingkat menjadi 3 kata karena April telah kehilangan kemampuan berpikir dan berbicaranya sesaat.

Setelah suratnya berada di tangan yang tepat, April buru-buru membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Kakinya berlari cepat kembali ke kelas. Pintu kelasnya semakin dekat, tapi April tak dapat menghentikan langkahnya sehingga hampir terpeleset karena lantai yang basah setelah dipel. 

"April! Baru dipel tahu!" Temannya yang memegang gagang pel-an berteriak kesal sembari mengangkat gagangnya, seolah siap memukul kepala April kapan saja. 

"Aduh, maaf, Indah." Tangannya ditangkupkan, menunjukkan ketulusan permintaan maafnya. Tungkainya membawanya ke depan kursi sang sahabat, dengan semangat 45 ia berseru, "Horas, Citra!" Tetap semangat walau jantung berdetak seperti abis dikejar anjing. Untuk mengobati kegugupannya, gadis itu mulai bergoyang ke sana kemari sembari bersenandung.

Citra yang sibuk berkutat dengan peer kimia minggu lalu di kursinya menatap sahabatnya itu cengo. "Fiks, temen gue harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Eh iya, cocok. Sekolah ini kan dulunya RSJ."

***

Kaki April tak berhenti bergerak seperti cacing kesemutan karena kegugupannya. Kini, ia berdiri di bawah pohon beringin yang ada di mitos itu. Dengan bibir yang diulum, ia menahan air liurnya untuk tidak menetes ketika Kak Husain dengan tas disampirkan di bahunya berjalan mendekat. 

"Maaf, lama ya?" Suaranya dengan lembut masuk ke pendengaran April. 

"Nggak kok, Kak," jawab April dengan senyum lebar, kelewat lebar malah, deretan giginya terlihat. Kalau selamanya disuruh menunggu, mungkin April juga tetap masih di sini.

Husain mengeluarkan surat pemberian April dari saku celananya. "Gue udah baca suratnya." 

So?

"Maaf, tapi gue gak suka sama lo. Jadi, gue harus nolak. Maaf, Dek," ujarnya seraya mengembalikan surat itu ke tangan pengirimnya. 

April sudah menduga seperti apa jawaban Husain setelah surat ini diterima olehnya, dengan lapang dada ia menerima jawaban Husain. Namun, ada yang ia ingin Husain lakukan. "Gapapa, Kak. Tapi, April boleh minta tolong?" Husain mengernyitkan dahi sebelum mengiakan permintaan April. 

"Tolong, sekali aja Kak Husain bilang kalau kakak suka April. Itu bisa menghibur April walau kakak cuman bohong," pinta April dengan wajah memelas. 

Tangan Husain mengusap tengkuknya, ia sedikit bingung harus menjawab apa. Pada akhirnya, karena tidak enak menolak, Husain mengiakannya. 

"Gue suka sama lo," ujarnya datar, sedatar perasaannya ke April. Tapi, jantung April udah jedag-jedug padahal tahu Husain bohong doang. 

Keduanya diam saling menatap. April bahkan sampai melotot. Gak ada yang terjadi gitu? Misal tiba-tiba Kak Husain nyesal nolak April? batinnya. 

"Kak Husain nggak ngerasain apa-apa gitu?" 

"Nggak." 

"Coba, liat April lebih dalam deh. Mungkin ada kupu-kupu yang bertebaran di perut, jantung diskoan, atau April jadi kelihatan lebih memesona gitu?" 

"Oh iya, perut gue agak gak enak." 

Jangan-jangan .... 

"Kayaknya gue kebelet. Udah dulu ya, Dek." Husain berlari seraya memegangi celananya. Di tempatnya, April melongo tak percaya seraya menatap sosok Husain yang semakin menjauh. 

"Kok nggak kejadian apa-apa, sih?" April cemberut, kakinya menghentak-hentak di atas tanah. 

"Padahal April udah buang harga diri demi nembak duluan. Tapi gak kejadian apa-apa. Gini amat nasib," keluh April kecewa. 

Dengan sisa harapan yang seupil, April berteriak, "APRIL JADIAN SAMA KAK HUSAIN HARI INI." 

Kalau kebohongan yang tadi nggak menjadi nyata, yang ini aja nggak apa-apa. April ikhlas. Moga-moga ada mukjizat entah darimana, Kak Husain mau terima April jadi pacarnya. 

 

Terpopuler

Comments

❂Tsukuyomi✧[Hiatus]

❂Tsukuyomi✧[Hiatus]

cinta pertama itu sulit di lupakan .
dan watashi gak pernah jatuh cinta yeee

2023-06-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!