Katakanlah April alay, tapi dia tidak tahan untuk tidak memasang status di whatsapp bergambar dua tangan yang bertaut dengan caption, "Day 1 Jadian". Alhasil, postingannya itu diserbu oleh sebagian besar teman sekelasnya, dengan pertanyaan yang intinya sama, "Pril, jadian sama siapa?"
Sepanjang perjalanan berangkat sekolah, April senyum terus sampai giginya kering saking lebarnya. Teman-teman sekelas menyorakinya, April senyum malu-malu. Kalau kata Citra, senyum April sekarang itu sebutannya, malu-malu tahi kucing.
"Iya tahu yang baru jadian, tapi itu bibirnya ditutup dulu. Gigi lo kuning banget, bikin malu, Pril."
Sontak, April menutup bibirnya rapat dan memandang Citra kesal. "Temennya lagi bahagia juga!"
"Lo pikir gue peduli? Enggak dong, haha." Tawa sarkas Citra memantul dari dinding kelas.
***
Lupakan kantin, begitu bel berbunyi, April langsung ke luar kelas dan pergi ke tempat yang ia tahu pasti ada Kak Husain di sana. Ruang OSIS, letaknya di dekat lab. Komputer.
Kepala April menyembul dari pintu, menampilkan setengah wajahnya sementara sebagian yang lain tertutup dinding. Matanya meneliti orang-orang di sana dengam gesit. Seorang siswa berambut berdiri seperti landak yang ia ketahui bernama Ujang, teman Kak Husain sekaligus pembimbing kelompoknya saat MPLS, tiba-tiba muncul di depan wajahnya.
"Nyari siapa, Dek?"
"Anu, Kak. Itu ... saya nyari ... " Jadi salah tingkah April, dia sejak lama tidak menyukai kakak kelas yang satu ini semenjak peristiwa waktu itu. Jadi gagu-gagu ngomongnya.
Beruntung, Kak Husain yang sepertinya tadi duduk di balik meja kini berdiri dan menghadapnya.
"Nyari dia, Kak," ujarnya sembari menunjuk Kak Husain.
Dengan tingkat kepekaan tinggi, mereka-anggota OSIS dan teman-teman Husain—langsung menyadari apa hubungan April dan Husain.
"Ooh, ini pacarnya Husain!" sorak mereka diiringi tepukan tangan. Heboh sekali. Apa fenomena Husain pacaran semenakjubkan itu?
Mendengar sorakan mereka, pipi April memerah karena tersipu. Ia bahkan mengulum bibirnya dalam-dalam agar tidak menunjukkan senyum lebar. Kedua tangannya bertautan di belakang punggung, kakinya bergerak-gerak aneh kayak cacing. Maklum, salting.
Sementara sang pacar, ia muak banget disoraki teman-temannya. Risih. Tak ingin berlama-lama mendengar sorakan ciee dari teman-temannya, Husain mendekati April dan berujar, "Pergi yok, di sini gerah." Ia ke luar ruangan lebih dulu April mengikuti di belakangnya.
Tindakannya sontak membuat Ujang dan Kipli yang sedang berada di ruang OSIS berteriak, "Gandeng dong, pacarnya!"
Husain menggeram, lalu menarik tangan April membuatnya berjalan di sebelahnya. April terperanjat akan tindakan tiba-tiba dari Husain. Pipinya bersemu dan ujung bibirnya tertarik ke atas tanpa bisa ia cegah.
Husain membawanya ke taman, letaknya di sebelah kanan kantin dan sebelah kiri WC kantor. Kursi di bawah pohon menjadi tempat duduk mereka sekarang. Saat pantat keduanya telah menempel dengan kursi, genggaman Husain terlepas. April mendesah kecewa.
"Kita belum kenal dekat, tapi sudah pacaran. Aneh ya?" ujar Husain tiba-tiba.
"Jaman sekarang banyak kok, yang pacaran walau baru kenal."
"Lo juga tipe yang begitu?"
"Mana ada! April tahu banyak kok, tentang Kak Husain!" ujar April menggebu-gebu. Hampir satu tahun ia dedikasikan untuk mengagumi Husain dari jauh. Tentu saja, ia tahu beberapa hal tentang lelaki itu.
"Contohnya?" Ini saatnya membuktikan kemampuanmu, Pril!
"Contohnya, April tahu ig Kak Husain itu @huszmmir, Kak Husain ikut banyak organisasi dan ekskul, masuk peringkat tiga besar paralel, trus tinggi Kak Husain 170 cm. Trus, apa lagi ya?"
April terdiam sejenak, berpikir keras. Saat genting seperti ini, otaknya enggak bisa diajak kerja sama. Ia melirik Kak Husain yang kebetulan juga sedang menatapnya.
Bibirnya bergerak tanpa ia sadari. "Trus, Kak Husain ganteng." Bahkan, April sendiri juga kaget akan ucapannya.
Pujian dari April tidak disangka sama sekali oleh Husain. Ia terkekeh pelan. Tawa pelan dari lelaki yang disukainya membuat hati April tersentuh. Husain berhasil membuat April meleleh.
"Makasih."
April mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa, otaknya sulit berpikir jernih kalau berada dekat dengan Husain.
"Sebenarnya, gue ajak lo ke sini, mau ngomongin sesuatu."
April menunggu Husain melanjutkan ucapannya.
"Jujur, gue ajak lo pacaran semalam karena ditantang temen-temen gue," sambungnya.
Tubuh April bergeming. Ia terharu, Kak Husain memang baik banget. Dia mungkin tidak ingin April sakit hati jika mendengar fakta itu dari orang lain, makanya ia mengatakannya dengan jujur sekarang.
Padahal isi kepala Husain yang sebenarnya, "Siapa tahu setelah kubilang begini, nanti dia ajak putus. Kan ga enak kalau gue mutusin duluan. Aneh juga kalau tetap pacaran, gue kan ga ada perasaan apa-apa ke dia."
"Gapapa kok, Kak. Tapi, pacarannya beneran kan? Kak Husain 'kan semalam bilang kalau serius. Seribu rius pula."
Ha? Husain dibuat menganga akan jawaban April. Dia nggak marah, kesal, atau protes sama sekali gitu?
Lagipula, April juga curang, karena menggunakan mitos itu untuk berpacaran dengan Kak Husain. Siapa sangka kalau mitosnya beneran?
"Iya, pacarannya beneran kok, Pril," jawab Husain pada akhirnya. Rencana diputusin-nya gagal, deh.
"Alhamdulillah," ucap syukur April. Agak was-was juga tadi, takut ditolak.
April sepertinya tidak ingin memberi Husain jeda untuk bernapas, ia bertanya, "Kan udah jadian, Kak. Kencannya kapan?"
"Buset, gercep banget ni anak. Ngebet banget ya?" batin Husain disertai delikan singkat.
Tak enak hati menolak, Husain hanya bisa tersenyum sembari menjawab, "Secepatnya. Nanti kukabari ya."
"OH YES!" Hati kecil April bersorak gembira.
Husain menatap April sejenak, ada hal yang daritadi menganggunya.
"Pril, lo kalau ngomong emang nyebut nama sendiri dan nadanya agak sedikit ...."
Belum usai ucapan Husain, April memotong, "Kekanak-kanakan?"
Bukan sekali dua kali ada yang bertanya seperti ini. April jadi sudah menebak di luar kepala. Sementara Husain, merasa tidak enak, harusnya dia tidak bertanya seperti itu, ya. Bukan urusannya kan, mau seseorang menggunakan gaya bicara seperti apa.
Respon April yang terbilang santai justru semakin membuatnya merasa bersalah. "Gue jadi gak enak," gumamnya yang masih terdengar oleh telinga April.
"Gapapa kali, Kak. Udah sering, kok."
Husain melirik perempuan yang kini berstatus sebagai pacarnya itu. April melanjutkan, "Jadi, dari April masih SD sampe kelas 3 SMP, April sering bolak-balik rumah Mama sama rumah nenek. Di rumah nenek, anak kecilnya rame. Rata-rata kalau ngomong, manggil nama sendiri. April ketularan, deh. Kak Husain gak nyaman, ya?"
Penjelasan April bisa dipahami. Ia menggeleng tidak setuju, yah, sebenarnya bukan enggak nyaman, tapi aneh aja. Dia baru pertama kali dengar orang ngomong manggil nama sendiri.
"Ini juga April usahain buat berubah."
Sesaat, sangat sebentar, nada ceria yang selalu April lantunkan saat bicara terkesan sedih. Husain tak tahu harua bicara apa lagi. Obrolan mereka diselamatkan oleh bel tanda masuk kelas.
***
April bersenandung kecil sembari menenteng ranselnya ke luar kelas. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Kakinya meloncat-loncat aktif.
Sama seperti kata Citra, "Kalau lagi kasmaran, orang sering lupa daratan."
Sebelum meninggalkan koridor kelas X IPA, April teringat hal yang ingin ia lakukan. Kepalanya berbalik, tangannya ia lambaikan ke arah Citra. "Duluan aja, Cit. April mau perginke suatu tempat, dulu, hehe."
Kemudian, ia melewati gang super-sempit antara dinding pembatas sekolah dan perpus. Letak pohon beringin itu ada di belakang perpus, kebetulan jarak perpus dan kelasnya tidak jauh.
Begitu sampai di sana, April melompat ceria dan jatuh ke pelukan pohon. "Makasih, lho. Kebohongannya beneran jadi nyata, ternyata," ujar April dengan mata terpejam.
Terasa ada yang aneh, kaki dan tangannya terasa gatal. Begitu membuka mata, sekelompok semut memanjat kulit lembutnya. April bergerak heboh dan berlari menjauhi pohon dengan rengekan kesal karena semut-semut itu bergerak-gerak di tubuhnya.
Seseorang dengan buku di tangannya, memerhatikan semuanya dari balik kaca perpus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments