"Jodohmu ada di pesawat kertas kedua." Sebuah postingan random dari media sosial. April tidak percaya, tentu saja. Karena pesawat kertas keduanya bukan Mr. Crush.
"April punya orang yang April sungguh sukai, dia itu ...," pikiran April terputus saat seorang kakak kelas memasuki ruang II, ruangan tempatnya dan anggota kelompok MPLS-nya saat ini duduk. Rambutnya sangat pendek, taat aturan sekolah sepertinya. Matanya yang teduh berbanding terbalik dengan alis tebalnya yang memberi kesan tegas.
April meneliti setiap detil penampilannya dengan sangat dalam. Hingga ia tak menyadari kakak kelas tersebut menaruh telapak tangannya di atas meja selagi menatapnya lurus.
"Kamu," ceplosnya tiba-tiba.
Kelas sedang sunyi saat mulutnya tiba-tiba melontarkan kata-kata tanpa konteks tersebut. Ia menjadi tokoh utama pada dialog MPLS hari ini.
"Dek, lo enggak perhatiin kami, kakak-kakak ngomong apa? Hm?"
"Hm? Hm-nya ... bikin April melayang." Khayalan April terbang lagi.
Kakak kelas itu menyadarkan April dan menanyakan hal yang sama dengan suara lebih keras. Gadis itu kaget dan menjawab dengan suara bercicit seperti bayi burung, "I-iya, siap, Kak."
"Jangan kayak gitu lagi, selain enggak sopan, kami 'kan sedang membicarakan hal yang penting untuk kelanjutan hidup kalian di SMANDUGA. Alangkah baiknya, mendengarkan dengan seksama. Toh, tidak mungkin lebih dari satu jam." Usai menyelesaikan kata-katanya, kakak kelas tersebut dan teman-temannya ke luar kelas untuk menuju kelas berikutnya.
April membeku dan menoleh ke Citra, yang duduk di belakangnya. Belum keluar sepatah kata dari mulut gadis tersebut, Citra memutar bola matanya sembari berkata, "Padahal ocehannya bertahan selama 70 menitan. Mananya yang kurang dari 1 jam? Mereka emang enggak belajar berhitung, ya?"
"Eh?" April bahkan tidak sadar bahwa selama itu. Ia menikmati pemandangan hari ini.
Namun, kisah tadi terjadi berbulan-bulan lalu. Saat April pertama kali menemukan pesona Kak Husain, her first ever Mr. Crush.
***
Husain melepas helm yang terpasang di kepalanya setelah memarkirkan motornya di depan Kafe Senja. Sekitar enam lelaki seumurannya berkumpul mengelilingi satu meja panjang sembari menyesap rokok atau kopi. Ia memilih kursi di ujung meja, menemani mereka lalu memesan segelas kopi pada waitress.
"Baru dateng lo, Sen?"
Husain berdeham mengiakan, ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Membuka aplikasi media sosial, dan menggulir layar melihat postingan-postingan orang lain yang sebenarnya nggak penting-penting amat.
"Eh, lo habis ditembak ya sama adek kelas pas pulang sekolah kemaren? Ngaku!"
Ucapan lelaki—beralis tebal yang di atas bibirnya terdapat garis cokelat bekas kopi—itu disambut sorakan dari seluruh orang di meja itu kecuali Husain.
"Cie, jadian nih ya? Pajak jadiannya mana?"
"Wah, lepas predikat jomlo juga akhirnya lo, Sen. Gue pikir lo mau lajang seumur hidup," ujar temannya yang bertopi merah disahut gelakan tawa dari teman-temannya.
"Gue gak jadian sama siapa-siapa," jelas Husain masih menatap layar ponselnya.
"Lah, lo tolak gitu?" tanya Arais seraya mendelik.
"Hm," dehaman singkat Husain membuat teman-temannya mendesah kecewa. Padahal baru aja ada yang bisa diceng-ceng-in, pikir sebagian besar dari mereka.
Arais mengusap dagunya yang tak berjanggut sembari menatap selidik Husain. "Gue curiga, jangan-jangan lo homo ya? Masa umur udah mau 17 tahun enggak pernah pacaran." Ia memainkan alisnya.
"Hmm, mencurigakan."
Husain berdecih dan bicara dengan nada sinis, "Enggak pacaran bukan berarti homo, kali. Daripada si Arais, semua cewek dipacarin. Belum dua bulan putus."
Mereka bersorak mengompori Husain. Salah satu diantaranya malah memijat pundak Arais seperti ia adalah petinju saat istirahat sebelum babak selanjutnya dimulai.
"Bales, Ar!" kompor mereka sambil bertepuk tangan.
Arais berdeham sok ganteng, menyibak rambutnya ke belakang dan tersenyum smirk menatap temannya di seberang meja. "Itu artinya gue laku keras, bro."
"Berarti lo murahan dong? Kan yang laku keras cuman barang murah doang. Barang mahal biasanya limited edition kan? Kayak gue misalnya," balas Husain tak mau kalah.
Ucapan Husain sontak membuat mereka tertawa. Husain savage banget.
"Hajar, bro!" Semua menyoraki kedua orang itu, mereka bahkan tampak lebih semangat dibandingkan supporter bola di depan TV.
"Tapi gue jelas terbukti bukan homo dong. Sejarah gue sama cewek kan banyak, lo kan nggak?"
"Asek asek, jos!"
Husain menggeram dan meletakkan ponselnya di atas meja. "Oke, jadi lo mau gimana biar percaya gue bukan homo?" tantang Husain dengan berani.
"Wah, asek nih. Diapain nih, enaknya?"
"Gini-gini, lo nembak cewek deh depan kita. Baru percaya lo bukan homo," ujar Kipli, cowok bertopi merah.
"Boljug, Pli!" Semua menyoraki Husain. Kebelet banget mau lihat teman mereka sendiri nembak cewek.
Sorakan mereka dibalas kernyitan oleh Husain. Mau nembak cewek sih ngomongnya enak, praktekinnya susah. Enggak ada kandidatnya masalahnya, kalaupun ada, resiko ditolak cuy. Gengsi dong, Husain, kalau ditolak depan teman-temannya. Memutar otak untuk menjawab tantangan mereka, Husain ingat April, cewek yang menyatakan perasaan padanya siang tadi. Husain sontak merogoh saku jaketnya, mencari surat pemberian April. Oh iya, sudah ia kembalikan. Ia mendecih kesal, sekarang ia harus mencari cara nembak cewek itu sekarang. Kenapa harus cewek itu? Karena dia kemungkinan besar akan menerima, jadi Husain enggak gengsi. Tunggu dia baru ingat, Arais, iya temannya yang satu itu tadi siang kan sempat membaca suratnya dan memasukkan nomor yang dengan sengaja ditulis April di bagian perkenalan.
"Ar, minjem hape lo. Kontak cewe di hape gua dikit doang, anak organisasi sama ekskul." Alasan. Kejujurannya adalah Husain tak ingat gadis yang menembaknya memberi ia nomor atau tidak.
"Nih," dengan enteng Arais memberikan ponselnya ke atas meja dan digeser mendekati Husain.
"Makasih," ucapnya lalu mencari kontak yang ia inginkan di sana. Tunggu, siapa nama cewek tadi siang? Di suratnya, kalau enggak salah, dia menuliskan bahwa namanya Aprilia Dona anak kelas X IPA 3 kan? Jari-jari Husain dengan cepat mengetik nama cewek itu di keyboard ponsel Arais.
Oke, ketemu, Aprilia X IPA 3. Normal juga ternyata si Arais itu memberi nama kontaknya. Husain pikir, akan ada embel-embel, cewek yang pernah nembak Husain, misalnya.
Tak menunggu lama, Husain menyalin nomor itu ke ponselnya. Ia menekan tombol panggil tanpa ragu. Dia sudah gatal ingin melepaskan diri dari tatapan teman-temannya yang membuatnya risih.
Melodi panggilan terdengar, pertanda bahwa telponnya tersambung, ia haya perlu menunggu cewek itu menerima telponnya. Namun, butuh dua kali panggilan sampai cewek itu tidak menolak panggilannya. Hampir saja Husain mati kutu.
"Halo," dengan lembut suara cewek itu menyapa telinga Husain. Senyuman menjijikan terbentuk di setiap bibir teman-temannya. Dia harus cepat menyudahi ini, jadi bisa bermain ponsel dengan tenang tanpa gangguan teman-temannya yang sering 2K, kompor dan kepo.
"Hai, April. Ini Husain, " jawab Husain tak kalah lembut. April yang ada di seberang sana megap-megap sambil memegangi dada.
"Kenapa telepon, Kak?" tanya April tak berharap banyak. Oke, bohong kalau dia enggak berharap. Kebohongannya tadi siang kan belum ada tanda-tanda bakal terwujud, tanda pertamanya sudah ada sih. Nih, ditelepon doi.
"Gue mau nanya, lo masih lowong posisi pacar kan?"
Teman-temannya berlomba menahan tawa dengan menutup mulut mereka rapat-rapat. Tak ingin mengganggu dua insan yang sedang berinteraksi melalui telepon genggam ini.
"Masih, Kak," lirih April amat pelan. Gugup tahu.
"Kalau gitu, mau jadi pacar gue?" tanya Husain to the point. Penonton mendesah kecewa, tak ada adegan gombalan maut yang melelehkan hati lawan jenisnya ternyata.
"Ha?" Di kamarnya, April mendelik dan refleks berdiri mendengar pertanyaan Kak Husain. Lah, dia mana menyangka kalau kebohongannya bakal kejadian.
"Kak Husain ga nge-prank April kan? Secara ini kan udah masuk April Mop." Sebelum jawab, ia harus memastikan keaslian Kak Husain, cowok yang ditaksirnya.
"Enggak, April. Gue serius."
"Berapa rius?"
"Dua rius, deh."
"Kurang. Seribu rius, ya?" .
Husain hampir tertawa mendengar suara April yang terdengar seperti ibu-ibu yang menawar belanjaan di pasar.
"Iya, April. Lo mau, gak?"
"Mau lah, jelas!" sahut April dengam semangat 45. Kesempatan enggak datang dua kali, kawan. Siapa tahu Kak Husain khilaf dan cancel ajakan berpacarannya.
"Oke, kita pacaran. Udah dulu ya," ujar Husain sebelum menekan tombol merah. Ia menunjukkan senyuman sombong ke teman-temannya yang dengan sabar menunggu panggilannya selesai.
"Diterima lo?" ujar lelaki berambut cepak, Ujang.
"Wah, ga maen-maen temen gue."
"Ada yang baru jadian nih, PJ-nya mana?" goda Arais sembari memainkan alis tebaknya, bikin Husain makin geram aja sama sahabatnga ini.
"PJ terus lo mintain! Lo jadian ga ada yang minta PJ," protes Husain tak terima.
"Bangkrut gue kalau traktir kalian pada tiap punya cewek baru."
"Bilang aja misqueen."
"Anj, savage banget mulut temen gue, ya Allah!" Kipli tercengang akan jawaban Husain yang menusuk hingga ke tulang. Bibirnya membentuk smirk kecil, memancing teman-temannya makin heboh menyoraki perubahan status temannya yang tadinya jomlo abadi menjadi taken.
***
Kalau lagi jatuh cinta, atap kamar yang digelantungi sawang pun tetap kelihatan estetik. Setiap oksigen yang dihirup membuat dada penuh dan berdebar. Pokoknya, dunia kelihatan indah banget.
April jadi ingat, waktu dia pertama kali menumbuhkan rasa tertarik ke Kak Husain. Kak Husain itu, orangnya aktif di berbagai organisasi dan ekskul termasuk OSIS. Di hari MPLS kedua, April dan teman-teman sekelompoknya, kelompok 3, disuruh berjoget dan diposting ke media sosial sampai MPLS selesai baru boleh dihapus.
Kebetulan, Kak Husain melewati kelas yang kelompok April tempati. Ia masuk dan dengan lantang bertanya, "Ada apa ya?" Sepertinya dia melihat ketegangan tinggi di kelas ini. Dia bisa bicara santai karena pembimbing kelompok 3 saat itu seangkatan dengannya.
Anak-anak di kelas itu saling lirik. Salah satu di antara mereka yang duduk paling depan, bersuara amat pelan seperti tikus yang menyelinap di malam hari, hanya terdengar 'cit ... cit ... ' saja.
"Ngomong lebih keras, Dek." Biasanya, kakak kelas lain akan mengatakan kalimat itu dengan suara tinggi seperti bentakan. Tapi, Kak Husain berbicara dengan nada santai seakan mereka teman seangkatannya.
April sedikit berdiri dan melirik ke arah teman-temannya lalu dua kakak kelas yang membimbing mereka, barulah ia berkata, "Kami disuruh joget dan diposting ke media sosial, Kak."
Tepat setelah kalimat April habis, kakak kelas yang membimbing kami menyahut, "Wajar kan, buat bercandaan dan kenang-kenangan doang, Sen." Mereka berujar dengan sedikit tawa terselip diantaranya.
Kak Husain tampak ikut tertawa bersama mereka. Awalnya, April pikir dia akan membantu mereka. Bahunya yang berdiri tegak seketika merosot. Namun, Kak Husain menghentikan tawanya dengan cepat dan menatap mata April tepat. Rasanya, April seperti baru saja ditusuk hanya dengan tatapan saja.
"Tugas kita memperkenalkan sekolah, Jang. Bukan mempermalukan mereka, kan?"
Hening. April hanya mendengar ia meneguk ludahnya sendiri sesaat.
"Dah, dah, yang di sana duduk. Gak ada joget-joget ya? Anak SMA kok joget-joget, sih. Yang elit dikit lah kalau mau kasih tantangan, buat kenang-kenangan kan ga perlu joget, ya gak, Jang?" tanyanya pada temannya yang tercengang. Bersamaan dengan itu, April menarik kursinya dan duduk dengan nyaman.
"Oh iya, bener dong, Sen." Ia tertawa canggung, lalu menepuk tangannya sekali. "Oke, kita main tebak-tebakan aja ya."
Setelah itu, Kak Husain melambaikan tangannya dan pergi ke luar kelas. Mata April sulit melepaskan tubuh dengan bahu lebar dan rambut yang mengilap karena G*tsby itu.
April tak sabar bercerita pada sahabatnya, ia menghidupkan ponsel dan mencari kontak Citra. Begitu tulisan tersambung berganti 00:01 ia langsung menyerocos seberapa bahagianya dia saat ini.
"Citra!" panggilnya ceria. "Doi nelpon!" sambungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments