“Bos, apa kau sudah dengar tentang Unique baru bernama Gravito? Kemunculannya menjadi perbincangan di mana-mana. Bukankah kita harus mencari tahu tentangnya?”
Orang yang dipanggil bos ini, sedang duduk di kursi besar yang terbuat dari batu. Sikunya diletakkan di armrest, seraya kepalan tangannya menopang kepala yang lagi bersantai posisi agak miring.
“Gravito ya … biar kutebak, pasti kekuatannya-”
“Kau benar bos. Kekuatannya adalah gravitasi, seperti sebagian Unique Korea.”
Gravitasi? Padahal tadi aku mau bilang api.
Begitulah perbincangan antara informan bernama Afton dengan Meta si pemilik ruang dimensi Keene.
“Afton, tenanglah. Kau tidak seperti biasanya. Kenapa terlalu terburu-buru?”
Mendengar bosnya berkata demikian, membuatnya menghadap bawah sayup-sayup cemas. “Aku cuma takut, kalau dia akan menjadi penghalang bagi rencana kita bos.”
Meta melirik Afton sekilas yang sedang berdiri di samping kursi besarnya.
“Tenang saja … cepat atau lambat, WUA akan kuhancurkan. Dimulai dari si peringkat 1, James sang Tsunami Benua Amerika.”
Meta adalah seorang Unique yang diberi anugerah kekuatan besar yang tidak mampu dicerna oleh akal manusia biasa.
Semua Unique peringkat 100 teratas, berusaha mati-matian menangkap orang ini.
Tapi setiap kali WUA mengirimkan Unique kuat untuk menangkap Meta …
WUA selalu kehilangan kontak dengan mereka. Hilang tanpa kabar. Hilang tanpa jejak.
Salah satu Unique kuat yang ikut hilang adalah …
senior James, Unique peringkat 1 dunia yang lalu. Tidak ada yang tahu apakah dia sudah mati atau belum.
Di lain tempat, ternyata tidak hanya Meta dan Afton yang sedang membicarakan Gravito.
“Ampong, gimana pendapatmu?”
“Pendapat? Maksudmu tentang si orang baru itu?”
“Ya iyalah. Kau kan Unique terkuat di Indonesia saat ini, apa kau tidak khawatir kalau si anak baru itu yang entah dari mana mengambil posisi kita?”
“Hei Raphael, urusi saja Sulawesi. Aku dengar kau kecolongan kemarin kan? Ada 11 orang tewas tengah malam 1 bulan lalu di Makassar, kau kira aku tidak dengar beritanya? Kau malah sibuk mengurusi kedudukan kita.”
Raphael menjauhkan ponsel dari telinganya dengan ekspresi kesal, kenapa dia malah mengungkit masalah itu? Bikin badmood aja ni orang.
“Itu benar. Tapi aku sudah membunuh dan mencincang goblin-goblin itu. Terlebih lagi, itu bukan kesalahanku sepenuhnya.”
“Remaja-remaja itu lah yang melanggar aturan jam malam. Mereka juga tidak melapor di pos-pos cyborg WUA, kenapa kau malah menyalahkanku?” ungkap Raphael.
Raphael dan Ampong pada akhirnya bertengkar di telepon.
Gravito memanglah kuat, dan sudah resmi masuk WUA pusat yang berada di Washington berkat rekomendasi James. Sekarang Gravito Noir masuk ke peringkat 20 dunia.
Namun di Indonesia sendiri, sebelum dia masuk rangking dunia, sudah ada 5 pilar yang menjaga kota-kota besar yang masih tersisa di 5 pulau inti negara Indonesia.
Ampong di Kalimantan. Raphael di Sulawesi. Hazen dan para cyborg di Jawa (terutama Jakarta). Arifin di Sumatera. Lalu Imelda di Papua.
Kelima nama ini, adalah Unique terkuat yang dimiliki pemerintah Indonesia.
Tapi mereka berlima tidak ada yang masuk 200 besar, sama seperti Unique Asia Tenggara lainnya.
Inilah sebab, kenapa Gravito langsung menjadi perbincangan. Karena dari dulu Unique Asia Tenggara di cap lemah oleh Unique peringkat dunia (terutama 200 besar).
Setelah pulangnya Daruma dari kediaman Gravito, tengah malam pun tiba menerpa pulau tersebut. Gravito seperti biasa, pergi ke tengah laut untuk memancing dengan cara membuat penghalang sebagai pijakan di udara.
“Slamet, aku mancing sebentar ya! Tolong jaga rumah!”
Slamet yang sedang minum, buru-buru berlari ke teras rumah berdiri di dekat pintu.
“Kak Grav, sebentar! Kakak nggak ajak aku? Biasanya kan, kakak ajak aku mancing malam-malam begini? Bukannya kakak butuh cahaya ya?”
“Kamu nggak usah ikut. Aku lagi ingin mancing berdua dengan Blaze. Ada yang ingin kubicarakan dengannya. Dan Blaze juga sudah bawa senter kog, tenang aja.”
Blaze memperlihatkan senternya dari jauh, dan Slamet menyadarinya.
“Oh, oke Kak Grav. Hati-hati!” teriak Slamet dari jarak cukup jauh.
“Ayo Blaze! Kali ini aku saja yang membuat penghalangnya.”
Beberapa menit kemudian, keduanya sudah sampai ke tengah laut.
“Grav, ada yang ingin kau bicarakan?” Blaze bertanya ke Gravito yang sedang asik duduk memegang pancingan.
“Tentu saja ada. Hei Blaze, kita sudah hidup di sini lebih dari setahun kan? Bagaimana pendapatmu tentang Bumi?”
Mata Blaze menatap dingin. “Biasa saja. Tidak ada yang spesial. Satu-satunya alasanku di sini adalah karena Lord Lagna memerintahkanku untuk mengawalmu.”
“Haha, begitu ya?” Ctats! "Aduh! Senarku putus! Ikan anj!"
Blaze berdiri di belakangnya diam memperhatikan dengan tatapan yang masih dingin lagi datar. “Grav, kenapa kau lakukan semua ini?”
Nnn? Gravito menoleh ke arah Blaze sesaat, dan kembali lagi memperbaiki pancingannya. “Bukannya sudah jelas? Aku kan hobi mancing," balasnya.
“Bukan itu maksudku. Kenapa kau kembali lagi ke Bumi padahal kau bisa tinggal bersama kami di Raiga? Apakah Raiga kurang nyaman buatmu?”
Gravito diam sejenak.
“Tentu saja Raiga sangat nyaman. Kenapa kau berpikir aku tidak nyaman tinggal di sana?”
“Alasanku kembali ke Bumi, karena aku tahu manusia dengan Raigyants itu berbeda jauh. Kami tercipta sebagai makhluk yang sangat lemah. Satu tebasan dari monster, sudah cukup untuk membunuh kami.”
“Aku hanya ingin, yang terjadi kepada ayah ibuku tidak terulang di keluarga lain. Yah … walaupun naif juga kalau aku bilang ingin menyelamatkan semua manusia, karena tanganku kan cuma dua.”
Lebih dari 10 tahun lalu, sebuah insiden menimpa Gravito.
“LARI! LARI SANA! CEPAT!”
“Ibu gimana?”
“CEPAT NAK! UDAH SANA! Nanti Ibu nyusul dari belakang! CEPAT GA ADA WAKTU LAGI!”
Gravito yang masih 10 tahun, pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang disergap oleh 3 troll.
Satu hari di tengah malam, sebuah desa kecil yang terletak berdekatan dengan hutan, habis dimangsa oleh troll.
Kemiskinan lah yang membuat mereka tinggal di dekat hutan. Keberadaan desa ini, di luar jangkauan para cyborg dan para Unique yang jumlahnya sangat sedikit di negara berteritorial luas seperti Indonesia.
Malangnya Gravito waktu itu, bukannya lari ke arah kota malah lari masuk ke dalam hutan.
“Roto! Di mana kamu? Roto!”
Di tengah larinya masuk ke dalam hutan, mendadak kedua pundak Gravito terasa berat. Ada seekor monyet besar sedang duduk sambil memegangi kepalanya.
“Roto, tolong pandu aku mencari tempat sembunyi!”
Roto langsung melompat ke depan, berlari menunjukan jalan masuk ke dalam hutan. Lari dan terus berlari bermenit-menit.
Setelah dirasa cukup aman, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk bersembunyi di balik batu dengan beberapa pohon bambu menutupinya.
Tetapi, hutan adalah kawasan yang sangat dikuasai troll. Mereka bisa mencium aroma manusia, dan melihat dalam kegelapan malam.
Kurang lebih 15 menit telah berlalu semenjak mereka bersembunyi.
Dari kegelapan koridor hutan, terdengar suara daun-daun kering yang patah seakan tergesek tanah. Karena penasaran, bocah itu mengintip dari balik batu.
Tak lama, ada 2 troll yang sedang mendekat seraya wajah seramnya tertimpa cahaya bulan.
Mereka terlihat sedang mengendus dengan cara menolehkan kepala kesana-kemari. Tubuh dua troll tersebut sedikit membungkuk masih mengendus-endus.
Seusai beberapa saat, mereka menoleh ke batu besar yang ada di sebelah kanan.
Alarm insting hewan liarnya berbunyi. Roto merasa persembunyian mereka sudah ketahuan. Monyet besar itu segera melompat menyerang salah satu troll.
Khek! Khek! Meraung-raung membabi buta.
Melihat temannya maju secara bringas, Gravito langsung mengambil ranting besar tajam di sebelahnya, lalu ikut melompat maju dengan cepat.
“MATI KAU MONSTER JELEK! MATI! MATI!”
Dia berhasil menancapkan ranting tajam yang dipegangnya, ke mata kiri troll yang sedang lengah menyaksikan rekannya di serang monyet besar.
Mata kirinya bolong terhunjam ranting tajam. Dia mengerang kesakitan berteriak-teriak.
Kroco tersebut, berusaha melepaskan bocah itu dari kepalanya yang sedari tadi sibuk menancapkan benda tajam lalu memutarnya ke kiri dan ke kanan.
KRAUK!
Suara retakan tulang, terdengar begitu keras dan kasar, bersamaan dengan raungan Roto yang menghilang.
“Binatang tolol. Harusnya kau sembunyi saja monyet sialan!” ucap salah satu troll dalam bahasa troll.
Bola matanya seperti ingin copot melihat sahabatnya terbaring melemas. Terpana memandangi mayat Roto yang jari-jemarinya masih bergetar.
Ranting tajam yang digenggamnya kuat, seketika jadi kendor perlahan. Teman yang selalu membuatnya tertawa ketika sendirian, kini sudah tergeletak di tanah tanpa kepala.
Chock!
Saat lengah, Gravito dicekik oleh troll yang diserangnya. “Orrgh … arrgh ….”
“Bocah keparat tidak tahu diri! Aku akan menyantapmu pelan-pelan biar kau merasakan sakit yang luar biasa!”
Bocah tersebut menggeram kesakitan dan kesusahan bernafas sambil kakinya mengayuh-ayuh kencang bergalantungan.
“Hei kawan, tolong serahkan bocah itu kepadaku. Aku masih belum kenyang. Kau kan sudah makan lima manusia sebelum kesini. Sedangkan aku baru dua manusia.”
Dia menunjukan amarah besar ke rekannya sembari tangannya masih mencekik Gravito. “Aku tidak peduli kau masih lapar atau tidak. Lihatlah mata kiriku akibat ulah bocah ini!”
Taring-taring tajam telah siap. Detik ini mulutnya melebar hendak memangsa bocah yang sedang dia cengkram.
Sedetik sebelum Gravito dimangsa …
Zrash!
Tebasan pedang hitam, memotong tangan troll yang sedang digunakan untuk mencekik Gravito.
Troll yang menewaskan Roto terkejut tangan rekannya terpotong di hadapannya.
Dengan spontan, monster tersebut bergegas menyerang pria paruh baya di depannya.
Jrag! … Brak!
Kedua troll itu terbenam ke tanah posisi tiarap. Mereka tidak mampu bergerak maupun berdiri.
Tanpa basa-basi, pria ini mengeksekusi mereka berdua dengan menancapkan pedang hitam ke belakang kepala.
Begitulah pertemuan Gravito dengan gurunya Aslan, pemimpin Klan Noir.
“Kau tidak papa nak?”
“Uhuk-uhuk … i-iya.”
Dengan pandangan buram agak gelap, Gravito mengarahkan matanya ke arah suara datang.
Pelan tapi pasti, sorot matanya kembali jernih.
Terlihat seorang pria cukup tua, sedang berlutut hendak menolongnya yang sedang tersungkur di tanah.
Orang ini memakai helm perang berbahan besi hitam. Terlihat dari celah helm itu, ada mata tajam seperti singa.
Jantan lagi berjanggut rapi. Dia juga mengenakan armor metal hitam tersusun berlapis-lapis, armor itu terlingkupi oleh jubah hitam yang kerudungnya sedang terbuka.
“A-anda ini siapa paman?” Detik ini dia duduk sambil ditopang pria paruh baya tersebut.
“Aku Aslan, kebetulan aku sedang berkeliling dan tidak sengaja melihatmu diserang monster.”
Gravito memandangi pedang yang masih menancap di kepala troll. Dia langsung sadar bahwa orang ini kuat, dan mungkin saja, ini adalah pertolongan yang dikirim oleh Tuhan.
“Paman! Tolong selamatkan warga desa juga! Aku mohon!”
Aslan sontak terkejut dengan paniknya bocah ini. “Warga desa? Apakah jauh? Sudah berapa lama kau di sini?”
Gravito menjelaskan bahwa dia sudah berada di kedalaman hutan sekitar 30 menit lebih untuk bersembunyi.
Mendengar itu, tatapan Aslan langsung berubah seperti putus asa.
“Baiklah, aku akan membantumu. Tapi pakailah ini dulu.”
Aslan meletakkan tangan kanannya di kepala Gravito, lalu aura hitam pekat seketika menyelimuti semua tubuhnya dari atas sampai bawah.
“Tunjukan mana desanya!”
“Baik. Sebelah sini paman!”
Beberapa langkah saat hendak berlari, Gravito berhenti. Kepalanya menoleh ke arah Roto, dan terdiam sejenak.
Aslan hanya melihat sikap anak ini tanpa berkomentar. Hening beberapa saat menerpa. Kurang dari satu detik, kepalanya sudah kembali ke posisi semula, dan bocah tersebut lari sekencang-kencangnya.
“Cepat paman! Sebelah sini!”
Di tuntunlah Aslan ke desa. Sesampainya di sana, dugaan Aslan tepat.
Tidak ada yang tersisa di desa itu, kecuali segerombolan troll yang sedang menyantap mayat segar hasil buruannya.
Aslan sebenarnya sedang menahan marah, karena semua makhluk tidak bersalah telah terbunuh.
Para troll menyadari kehadiran seseorang yang tidak mereka kenal. Mendadak mereka jadi agresif lalu berlari ganas menuju Aslan.
Karena tidak ada yang tersisa kecuali troll, maka satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membantai mereka.
“One Million.”
Semua troll terjatuh ke tanah dengan tekanan gravitasi yang besar lagi menyiksa.
Tidak ada satupun yang mampu bergerak ataupun mengangkat kepala. Ratusan kroco troll dipaksa menghadap tanah secara terhina.
“Switch.”
Setelah Aslan mengucapkan ‘switch’, para troll itu hilang entah kemana.
Sadar semua troll sudah lenyap, Gravito bergegas menuju rumah. Aslan mengikutinya dari belakang.
Berjalan sekitar satu menit, dan sampailah ke sebuah rumah papan yang begitu sederhana.
Belum sampai masuk rumah, dia dikejutkan dengan bangkai kedua orang tuanya yang tergeletak di teras bersama 1 mayat troll.
Didapati sebuah belati tertancap di leher troll tersebut. Dari ukiran gagangnya, tak salah lagi, benda tersebut adalah yang biasa digunakan ayah Gravito mencari kayu bakar.
Gravito diam mematung tidak bergerak sama sekali. Di dalam balutan aura hitam, tangannya mengepal keras.
Aslan menarik kembali armor hitam itu. Dari jauh, tampak beberapa tetes air, jatuh dari kelopak mata anak yang diselamatkannya tadi.
Aslan terkesan dengan ketegaran bocah ini. Dia tidak meraung-raung atau marah berlebihan dengan keadaan yang menimpanya.
Dia bocah yang memiliki mental petarung. Aku cukup tertarik padanya.
“Hei nak, apakah kau ingin jadi kuat? Aku bisa ajari kau beberapa trik kalau kau mau.”
Mendengar perkataan pria paruh baya di belakangnya, bocah tadi langsung mengusap kedua matanya.
Kepalanya melengos, kemudian meninggalkan jasad kedua orang tuanya.
Tidak satupun huruf keluar dari lisannya. Dia hanya berjalan menghampiri Aslan dengan tatapan tajam lagi serius, saling bertukar sorot mata.
“Tentu paman. Tunjukan cara menggapainya.”
Mata bocah ini penuh dengan tekad. Manusia ya? Sepertinya aku menemukan calon murid yang menarik. Aku sudah menantinya.
Di saat sedang mancing, Gravito termenung tidak sengaja mengingat insiden kelam yang menewaskan kedua orang tuanya dan Roto.
“Hei Grav, mau ku ambilkan teh hangat?” tanya Blaze karena melihat temannya tampak murung.
“Boleh Blaze, tolong yang green tea ya,” ucap Gravito sambil menampakkan senyum lebar palsu.
Setelah Blaze membuatkan teh hangat, mereka kembali mengobrol.
Di obrolan mereka berdua, Gravito juga sempat meminta pendapat Blaze tentang tawaran Daruma, agar mengikuti URA dan segera mendaftar sebagai Unique resmi negara tempat Gravito berada.
Blaze berkata, dia tidak ada masalah dengan itu.
Keesokan harinya, Gravito berencana ke Jakarta lalu menghubungi agen WUA sesuai arahan Daruma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Amegatari
seru banget
2023-08-20
1