Selama beberapa jam aku mencuci mangkuk dan gelas kotor yang dibawa masuk oleh karyawan yang lain.
Muka udah minyakan. Poni rambut yang dasarnya emang kependekan udah nggak berbentuk lagi. Dia kabur dari jepit rambut.
Paduka Ratu bertugas sebagai pengawas.
"Yas, jangan cuma cuci mangkuk. Sana beresin juga mangkuk yang masih ada di meja," titahnya.
Aku menurut dan mengambil baki warna merah yang sudah pudar menjadi pink.
Langsung saja aku membereskan salah satu meja yang ada mangkuk dan gelas kotornya.
Rata-rata yang makan bakso seumuran denganku. Dari gayanya, sepertinya mereka dari kota.
"Eh, gimana? Author Andiyas udah posting cerita lagi belum?"
Aku langsung menoleh begitu mendengar namaku disebut. Di meja pojok, ada empat cewek lagi makan bakso.
"Belum, dari pagi dia belum posting apapun nih!" sahut cewek yang memakai sweater hitam.
Aaaa. Terharu aku. Rupanya mereka salah satu pembaca tercintaku.
Aku ingin menampakkan diri kalau saja penampilanku tak seperti ini.
Nyesel aku nggak nurut sama Ibu waktu disuruh pakek baju bagus.
Mana mungkin aku muncul di depan mereka dengan baju bola yang gambarnya udah luntur, muka minyakan lagi. Aku tidak ingin mengecewakan mereka.
"Tumben dia belum up ya? Biasanya nggak gini," timpal yang lainnya.
"Jangan-jangan dia sakit lagi?"
Maafkan aku pembaca tercinta, aku sedang sibuk mencuci mangkuk. Jadi tak sempat posting cerita.
"Aku penasaran deh. Dia cowok atau cewek ya?"
Aku tersenyum mendengar ucapan itu. Pasalnya, aku memang tak pernah memposting wajahku di media sosial. Sementara foto profilku gambar Naruto.
"Aku juga penasaran deh. Mana dia nggak pernah posting wajahnya lagi. Tapi aku berharap dia cowok! Hihihi. Soalnya aku udah terlanjur jatuh cinta sama karyanya."
Diam-diam aku tersenyum sambil mengelap meja.
"Tapi kayaknya, dari gaya tulisannya sih dia itu cewek."
"Eh, lihat deh cowok itu!" Mereka semua kompak menoleh ke Aril yang baru masuk ke warung dan berjalan ke kasir memesan bakso.
"Wajah cowok itu mirip sama foto profil akun Aril Ganteng yang ngaku kenal sama Author Andiyas!" seru salah satu dari mereka.
"Iya mirip!"
"Coba panggil!"
"Mas!"
Aril menoleh dan menunjuk dirinya sendiri. "Saya?" Dia sedang duduk menunggu pesanan.
"Iya!" Empat cewek itu mengangguk. "Sini bentar deh Mas!"
Aril mengernyit. Sesaat dia menoleh menatapku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
Karena Aril tak memenuhi panggilan mereka, empat cewek itu yang pindah ke meja Aril.
"Iya, benar-benar mirip!" seru salah satu di antara mereka. Dia rupanya sedang membandingkan sebuah foto di ponselnya dengan Aril yang sedang duduk di depannya.
"Maaf, ini ada apa ya?" tanya Aril heran.
"Masnya pemilik akun Aril Ganteng kan?"
Aril tampak sedikit terkejut. "Kok tahu?"
Cewek yang ditanya menunjukkan layar ponselnya pada Aril.
"Mas beneran kenal sama Author Andiyas?" tanyanya ke Aril.
Aril melirikku sekilas.
"Iya. Kenapa?"
Empat cewek itu tersenyum girang.
"Dia cewek atau cowok Mas? Tau rumahnya nggak? Dia tinggal di mana? Atau kalian tetanggaan?" Mereka langsung memberondong Aril dengan pertanyaan.
Aku menggeleng ke Aril yang sedang melirikku lagi.
Jangan sampai dia memberitahu mereka tentang aku yang ada di sini juga.
Aku nggak mau mereka melihatku seperti ini. Huaaa. Jangan sampai.
Aku kembali menggeleng.
Please Ril, jangan kasih tahu!
"Mas, kok diam aja sih?"
Aril tersenyum kecil.
"Kok malah senyum sih Mas?" tegur cewek berambut pendek.
"Jangan-jangan Mas pacarnya ya!"
"Uhuk uhuk!" Malah aku yang tersedak saliva sendiri. Sementara Aril malah terkekeh.
"Kok malah ketawa Mas? Mas beneran pacarnya!?"
"Nggak mungkin lah! Andiyas itu kan cowok!" sahut yang lainnya.
"Emang dia pernah bilang kalau dia cowok? Kamu pernah liat fotonya?"
Empat cewek itu malah berdebat.
"Saya bukan pacarnya Mbak. Sebenarnya saya ingin memberikan informasi tentang dia. Tentang dia cowok atau cewek, tinggal di mana, tapi nanti dia marah sama saya," ucap Aril sambil bangkit meninggalkan mereka.
Aku sedikit bernapas lega.
Sungguh, sebenarnya aku ingin menyapa mereka, tapi penampilanku yang sekarang tidak memungkinkan untuk muncul di hadapan mereka.
Ketika masuk membawa mangkuk kotor, aku melewati Aril yang sedang mengambil bakso pesanannya yang dibungkus plastik.
Tiba-tiba dia mencegatku.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Kamu berhutang padaku tentang yang barusan," bisiknya sambil melihat ke arah empat cewek tadi.
"Emang aku minta tolong?"
"Oh, yaudah. Aku kasih tau aja mereka. Biar mereka tahu, kalau author yang mereka sayangi itu diluar ekspektasi."
"Ck. Iya-iya. Mbak Rin, bakso orang ini gratisin aja," ucapku pada Mbak Rini.
"Aku nggak mau bakso gratis."
"Terus kamu maunya apa? Sertifikat tanah? Kemahalan itu!"
"Temani aku datang ke nikahan Ira."
"Apa? Nggak!"
Orang aku aja mau nyuruh Dika yang datang ke sana sebagai perwakilan. Aku nggak terlalu suka keramaian. Datang ke warung ini aja terpaksa.
"Oh, gitu. Bener nih nggak mau?"
Aku mengangguk mantap.
"Yaudah. Yas--" Langsung aku bungkam mulut Aril. Khawatir dia menyebut namaku.
Empat cewek tadi menoleh pada kami.
"Iya-iya. Aku bakalan pergi ke sana sama kamu!"
Aril tersenyum.
"Yasmin, berapa semua baksonya?" tanya Aril padaku.
Empat cewek tadi kembali menatap mangkuk masih-masing.
"Jangan ingkar janji ya. Pokoknya kita ke nikahan Ira bareng!" ucap Aril.
"Eh, ada Aril. Nggak makan di sini?" Ibu tau-tau muncul.
"Nggak Tante." Aril mendadak ramah dan full senyum kalau ngomong ke Ibu.
"Kok banyak beli baksonya?" tanya Ibu.
"Iya Tante. Buat karyawan di kafe."
"Wah, udah pinter, ganteng, baik lagi ke karyawan."
Aku hanya memutar bola mata. Aku yang anaknya aja nggak pernah dipuji sama Ibu.
"Oh iya Ril. Tante mau minta tolong. Titip Diyas bawa pulang ya. Di warung dia cuma nakutin pembeli!"
"Apa?" Aku menatap Ibu tak percaya. Dikira anaknya ini barang. Main titip aja.
Inilah yang dinamakan habis manis sepah dibuang. Semua mangkuk sudah bersih, aku pun dikembalikan ke habitat.
Ingin menolak bareng Aril, tapi capek kalau jalan kaki. Mau ngojek, tapi nggak bawa uang. Terpaksa aku ikut Aril.
"Baksonya biar Diyas aja yang bawain!" Ibu mengambil kresek hitam berisi bakso dari tangan Aril dan menyodorkannya padaku.
Dengan malas aku mengikuti Aril yang berjalan ke motornya yang diparkir.
"Aku peringatkan jangan meluk ya," ucapnya sambil menyalakan mesin.
"Apa? Jangan GR ya. Mending aku meluk tiang listrik!" Aku menunjuk tiang listrik yang banyak tempelan nomor sedot WC.
"Dasar Jones!"
"Eh, aku bukan jomblo ya! Tapi single! Lagian situ emang punya pacar, ngatain orang jomblo!"
"Setidaknya aku punya gebetan. Buruan naik! Mau aku tinggal?"
Segera aku naik dengan mulut komat-kamit supaya dia gagal jadian.
"Jangan ditempelin ke pinggang baksonya! Panas!" seru Aril. Segera aku menjauhkan bakso darinya agar tak menempel.
"Latihan di neraka Ril!"
"Kamu aja kali yang masuk neraka. Aku mah masuk surga!" Motor Aril mulai berjalan.
"Semua orang bakalan masuk neraka kali! Kecuali Nabi Muhammad. Kita mah dicuci dulu di Neraka. Baru kalau udah bersih diangkat dan dimasukin ke surga!"
"Iya Mas Andi." Aril mengejekku dengan panggilan yang sedari SD dia lontarkan saat mengejekku.
Ingin aku menjitaknya, tapi sayangnya dia pakai helm.
"Jauh-jauh dari aku! Aku nggak mau ada drama gunung yang nempel di punggungku!"
"Apa?!" mataku membulat mendengarnya. "Heh! Siapa juga yang mau dekat-dekat sama kamu!"
Sengaja aku menempelkan bakso ke pinggangnya.
"Aduh panas! Kamu sengaja nempelin ya!"
"Kan aku cuma mau buat pembatas di antara kita. Katanya takut ada yang nempel?" Aku tersenyum jahat.
Ngomong sama Aril kayak dikasih koyo, bikin panas. Mending aku buka ponsel aja. Baca komik.
Mau baca novel istri yang tersakiti, tapi waktunya nggak tepat. Yang ada tambah bikin emosi.
Tau-tau motor Aril udah berhenti aja. Begitu mendongak, aku menatap heran.
"Lho, kok kita ke sini? Bukannya pulang?" omelku karena kita berhenti di salah satu kafe milik Aril.
Sepanjang perjalanan aku cuma fokus ke ponsel. Aku jadi tak terlalu memperhatikan jalan.
"Pikun dipelihara! Kan tadi aku udah bilang kalau beli bakso buat karyawan. Makanya aku ke sini dulu buat ngaterin baksonya." Aril mematikan mesin motor.
Nyesel tadi aku ikut. Segera aku turun dan menyodorkan baksonya.
"Loh, kamu mau ke mana?" tanya Aril saat aku berbalik arah hendak meninggalkan kafe.
"Mau pulang!"
Jarak kafe ini dengan rumah mungkin ada 500 meter. Nggak papalah jalan kaki.
"Naik apa?" Aril menatapku.
"Kuda lumping!" Aku berbalik, hendak melangkahkan kaki.
"Tunggu!"
Tiba-tiba aja Aril mencekal lenganku. Tangan yang sedari dulu nyaris tak pernah bersentuhan, kini begitu terasa hangatnya di lengan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Alimatu Sa'diah
kata2nya itu loh bikin ngakak
2023-07-14
0
zauza
syuka sama cerita2 begini bosen yg ceo2 bucin macem tu. 😅
2023-06-21
1
Dila Ayu
ada sengatan lebah deh eh sengatan jari...
2023-05-18
1