Musuh Sejak Zaman Balita

Jam setengah tiga pagi aku masih belum tidur.

Demi mengarang indah cerita yang kemarin heboh gara-gara pakek nama tetangga.

Pingin aku ganti nama tokohnya tapi udah terlanjur banyak episodenya.

Ngomong-ngomong soal nama, nama penaku masih belum ganti. Fokus namatin salah satu novel dulu aku. Karena aku lagi nulis tiga judul novel sekaligus.

Benar-benar berat rasanya. Aku sering begadang. Mungkin inilah penyebab munculnya lingkaran hitam di bawah mataku.

Impian hati ingin punya mata seperti Song Hye Kyo, tapi yang terwujud malah mata Maham Anga, tapi yaudahlah, syukurin aja. Yang penting sehat.

Setelah selesai, aku langsung posting di Facebook setengah bab.

Sudah jam tiga. Masih ada waktu buat tidur sebelum subuh.

Segera aku merebahkan diri di kasur yang spreinya gambar Barbie. Canda, sprei kasurku gambar Naruto.

Ting!

Notifikasi khusus Facebook berbunyi. Sepertinya ada pembaca yang komen di cerita yang aku posting barusan.

Udah jam segini ada juga pembaca yang belum tidur.

Segera aku menyambar ponsel dan membuka Facebook, mengabaikan mata yang sebenarnya tinggal lima watt.

Tak sabar aku membaca komen dari pembaca tercintaku.

[Next]

Aku begitu kesal membaca komen itu.

Jika pembaca lain yang komen seperti itu, dengan senang hati aku akan membalas, 'siap kak, makasih ya sudah mampir' beserta love love warna hitam.

Kenapa warna hitam? Ya karena aku suka.

Kalau kalian nggak suka, warnain sendiri aja lah.

Yang membuatku kesal adalah, orang yang komen adalah Aril. Iya, si musuh bebuyutan sejak zaman SD.

Eh, salah. Aku baru ingat, kalau kita sudah saingan sejak zaman balita.

Bahkan sejak balita aja kami udah saingan siapa yang duluan bisa jalan. Namun sayangnya aku kalah.

Kata ibu, Aril duluan yang bisa jalan ketimbang aku. Padahal kita lahirnya barengan. Di hari yang sama, jamnya pun juga sama.

Mulai dari merangkak, jalan, ngomong, semuanya Aril duluan. Kenapa aku selalu kalah?!

Ting!

Komen lagi dia.

[Kok belum tidur? Jaga lilin ya?]

Kantukku langsung hilang gara-gara baca komenan dia.

Aku nggak bisa langsung melabraknya di kolom komentar. Bisa hancur imageku di mata pembaca tercintaku.

Segera aku membuka messenger Facebook untuk melabraknya. Kenapa nggak di WhatsApp? Karena aku nggak punya nomornya. Bukan nggak punya, tapi nggak mau punya.

[Kenapa sih kamu komen terus di cerita yang aku posting?!]

Aku mengirim unek-unekku.

[Kamu nggak usah komen deh!] tambahku lagi.

Semenit, dua menit, tiga menit. Masih belum dibaca sama Aril. Aku masih tetap menunggu balasan darinya. Mata ini udah hilang ngantuknya.

Entah sudah berapa lama aku menunggu balasan darinya. Aku tetap mantengin ponsel.

Ting!

Akhirnya dia balas juga.

[Kalau nggak mau dikomen ya nggak usah posting cerita]

Balasan darinya sungguh membuat hati ini jengkel.

[Lagian wajar kan, pembaca komen di cerita yang dibacanya] tambahnya lagi.

Hiihgh! Gedebag-gedebug aku di atas kasur saking kesalnya.

Aku memutuskan menaruh ponsel dan tidur, tapi baru juga meluk guling, suara azan subuh berkumandang. Aku sudah tak bisa tidur.

Jika aku nekat tidur, maka air terjun akan pindah ke dalam kamarku. Alias, ibu akan menyiramku.

***

Ngantuk sebenarnya, tapi mau gimana lagi. Nggak mungkin aku tidur lagi. Aku harus bantu Paduka Ratu untuk memasak.

Hari ini menunya tumis kangkung. Tentu saja karena kemarin aku beli banyak, dan akan terus makan kangkung sampai kangkung itu habis, sesuai keputusan Ibu kemarin.

Aku memisahkan daun kangkung dari gagangnya, terus gagangnya aku buang. Sengaja biar cepet habis.

Aku nggak suka kangkung. Yang suka itu si Andika.

Andiyas, Andika. Pasti kalian ngiranya dia saudara kembar aku ya. Jawabannya bukan. Dia adikku yang baru masuk SMA.

"Loh Yas? Ini batang kangkungnya kok nggak ada?" tanya Ibu yang baru menyadari setelah kangkung matang dan tersaji di meja.

Yang memasak tadi aku, wajar Ibu nggak tau.

"Tak buang Bu."

"Blegedes! Dika itu paling suka sama batangnya! Kenapa kamu buang?!"

Tok!

"Aduh Bu!" Aku digetok pakek centong sayur. "Aku nggak suka kangkung Bu!"

"Hari ini itu ulang tahun Andika. Makanya Ibu masak sayur kesukaan dia."

"Padahal pas aku ulang tahu nggak pernah dirayain." Aku berkata lirih. "Pilih kasih."

Aku kembali menata lauk ke meja makan.

Hari ini hari Senin. Hari yang paling tidak disukai semua orang, tapi bagiku tidak. Aku kan kerja dari rumah. Aseeek.

Andika sudah siap dengan seragam abu-abu putih. Bapak juga sudah siap ke warung bakso yang sudah bercabang jadi lima.

"Makan dulu Pak, Dika," panggil Ibu.

Di tengah mengunyah daun kangkung yang menurutku rasanya aneh, Dika tiba-tiba merengek minta dibeliin motor ninja kura-kura untuk hadiah ulang tahunnya.

"Cuma jalan kaki lima belas menit aja lebay banget sih Dik! Aku aja dulu juga jalan kaki!" cibirku.

"Iya, makanya sekarang badan Kakak jadi lurus kayak bambu!"

Aku melotot tak terima.

"Weii! Ini tuh langsing tau! Lang-sing!"

"Kak, dikatakan langsing itu kalau--"

"Sudah, jangan ribut. Ini masih pagi." Bapak menjadi wasit. "Nanti Bapak beliin Dik."

"Apa?! Kok Bapak gitu sih? Dulu aja waktu aku minta beliin katanya lebih sehat jalan kaki!" Aku tak terima.

Bukan cuma sepeda, ketika duduk di bangku SMA, di saat temanku sudah punya ponsel yang layarnya bisa digeser, aku cuma minta beliin ponsel tulit-tulit aja nggak dibeliin.

"Dan saat aku selalu juara dua, aku minta ponsel, tapi kata Ibu suruh nabung sendiri!"

Aku menoleh ke Dika yang anteng makan karena diiyakan permintaannya oleh bapak tanpa syarat apapun.

"Aku selalu dapat juara, tapi nggak pernah diturutin apa yang aku mau. Minimal buat penghargaan karena udah rajin belajar, tapi Dika, nggak pernah dapat juara, minta apa aja langsung dapet!"

Baru seminggu yang lalu Dika minta dibeliin ponsel merek apel digigit. Entah siapa yang menggigit. Padahal Dika selalu juara dua dari belakang.

"Ya kan ini supaya Dika tambah semangat belajar," sahut Ibu. "Kalau kamu, nggak usah dibeliin apapun juga udah semangat. Selalu dapat juara."

"Apa? Tau gitu aku dulu nggak usah belajar aja. Biar nggak dapat ranking. Biar dibeliin ini itu!"

Tok!

"Aduh!" Aku memegang kepalaku yang lagi-lagi digetok pakek centong sayur. "Kenapa ngetok kepala terus Bu? Ibu mau ketok magic?"

"Sana buka pintu! Kayaknya barusan ada yang ngucap salam."

"Kenapa nggak Dika aja?"

"Dika belum selesai makan. Kamu kan udah." Ibu menunjuk piringku yang sudah kosong.

Aku melotot ke Dika yang cekikikan mengejek.

"Awas, nanti matanya nggelinding ke piring lho!"

Ingin aku menjitak kepala Dika jika tak mendapat tatapan maut dari Paduka Ratu.

Siapa sih yang bertamu pagi-pagi? Nggak tau apa orang lagi makan! Aku terus ngedumel sambil berjalan ke arah pintu.

Begitu pintu terbuka, ternyata ada manusia si pemilik akun Aril Ganteng.

Ngapain nih orang kesini pagi-pagi?

"Hahaha!" Tawa Aril menyembur begitu melihatku.

"Eh malah ketawa. Sutres?"

"Sutres itu tukang sapu di sekolah kita kali!" Aril masih tergelak. "Yang makan mulut apa pipi?"

"Hah?" Aku tak mengerti maksud ucapannya.

"Tuh, ada nasi di pipimu!"

"Apa?" Langsung kuraba pipiku. Dan benar, ada nasi dua butir.

Aduh, malunya!

Terpopuler

Comments

Dila Ayu

Dila Ayu

nasibmu mbak"... yg sabar y

2023-05-18

1

Eulis Ratna

Eulis Ratna

bagus ceritanya..mampir setelah membaca cerpen dari fb

2023-05-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!