Ujung-ujungya Cuci piring

"Ada apa ke sini?" tanyaku berusaha bersikap sok cool. Membuang rasa malu gara-gara nasi tadi.

"Ini." Aril menyodorkan kue tart bulat padaku.

"Apa ini?"

"Batu! Udah tau kue masih aja nanya!"

"Iya, aku tahu. Maksudku kue buat apa ini?"

"Hari ini kan ulang tahun Dika. Bunda buatin dia kue. Karena di rumah lagi banyak pesanan kue, jadinya aku yang disuruh nganterin."

Aku hanya membuang napas. Kok banyak banget yang perhatian sama si Dika sih.

"Eh, ada Aril toh. Kok nggak masuk?" Suara Ibu terdengar di belakangku.

"Nggak disuruh masuk Tante," sahut Aril yang membuat mataku melotot padanya.

"Dasar anak ini!"

Tok!

"Aduh Bu!" Lagi-lagi kepalaku digetok centong sayur.

Kenapa Ibu selalu membawa centong sayur sih? Sepertinya aku harus menyingkirkan centong itu.

"Ayo masuk Ril."

Aku segera menyingkir, memberikan jalan untuk Aril masuk.

"Ini Tante, Bunda buatin Dika kue. Kan dia ulang tahun."

"Aduh, kenapa repot-repot segala."

Aku hanya memutar bola mata. Ibu mengatakan kenapa repot-repot, tapi tangannya begitu cepat menerima kue itu.

Tak ingin berlama-lama di ruang tamu, aku segera balik badan hendak masuk.

"Tunggu Yas. Panggilin Dika, suruh ke sini kalau udah selesai makan ya."

Aku hanya berdehem dengan malas dan ngeloyor ke meja makan untuk menyuruh Dika keluar.

"Bawa pisau sama piring ya Yas!" teriak Ibu dari ruang tamu.

Kembali ke ruang tamu, sudah ada Bapak, Ibu, Dika dan Aril juga masih ngejogrok di sana.

Kenapa dia nggak pulang sih?

Setelah make a wish atau apalah itu yang tak pernah aku lakukan karena memang ulang tahunku tak pernah dirayakan, kue dipotong.

Aku yang cuma dikasih sepotong kecil langsung habis dalam sekali suap. Dika maruk banget pengen makan kue itu sendiri.

Awas aja nanti. Kalau dia berangkat sekolah, bakal aku habisin kue itu.

***

Senin yang cerah. Jam masih menunjukkan pukul sembilan. Aku menghabiskan waktu di kamar. Tak ada lagi tempat ternyaman untuk menulis.

"Yas." Ibu memanggil, bersamaan dengan pintu kamarku yang terbuka. Aku memang tak pernah mengunci kamar.

"Ada apa Bu?"

"Ada undangan nikah dari Ira." Ira adalah teman SMA-ku dulu.

Aku meraih undangan yang disodorkan ibu.

"Udah mau nikah aja dia. Padahal masih muda."

"Kamu aja yang nggak laku!"

"Ya ampun Bu, anak sendiri dibilang nggak laku."

"Noh lihat, si Yiyin udah gendong anak dua!"

"Dia kan DP duluan Bu."

"Lihat itu Mimin, udah punya anak lima!"

"Mimin siapa Bu?" Aku mengerutkan dahi karena tak merasa kenal dengan nama yang disebutkan ibu.

"Kucingnya Aril!"

"Lah, masa Ibu bandingin anak sendiri sama kucing sih?"

"Intinya, sekali-kali keluar rumah lah Yas. Masa bertapa di kamar terus. Gimana mau dapat jodoh kalau nggak pernah keluar rumah."

"Jodoh itu di tangan Allah Bu."

"Iya, Ibu tahu kalau jodoh ada di tangan Allah, tapi gimana caranya jodoh kamu bisa nemuin kamu, kalau kamunya aja bertapa di dalam kamar terus!"

Biasanya orang tua seneng kalau anaknya nggak keluyuran. Lah ini malah disuruh keluar rumah.

"Iya nanti aku bakal keluar rumah Bu. Sekarang aku lagi nulis."

"Masa nulis nggak ada liburnya sih Yas? Warung bakso kita aja kalau hari Jum'at libur."

Aku hanya membuang napas.

"Pokoknya kamu siap-siap. Sekarang juga kamu ikut Ibu ke warung!"

"Tapi Bu--"

"Nggak ada tapi-tapian!" Paduka Ratu sudah tak bisa dibantah lagi.

"Yaudah ayo." Aku pasrah dan keluar dari kamar.

"Lho, mau kemana kamu?" cegah ibu.

"Katanya tadi mau ke warung? Ya ayo."

"Siap-siap dululah!"

Aku mengernyit heran ke ibu.

"Ini aku udah siap Bu. Baju juga udah melekat di badan. Siap-siap apalagi?"

"Ya ampun! Kamu mau ke warung dengan celana training bekas seragam olahraga zaman SMA sama kaos bola ini?!" Ibu menunjuk kaos bola yang dibelikan bapak, agak sedikit kegedean memang, ditambah ada lubang di bahu sebelah kanan karena jahitannya lepas.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Ya Allah! Punya anak gadis gini amat! Dika aja kalau Ibu ajak ke pasar pakek baju rapi, wangi lagi. Lah ini, anak yang perempuan malah amburadul kayak gini! Kamu belum mandi kan dari pagi?"

Aku hanya nyengir. Biasanya aku mandi kalau udah mau sholat zuhur.

"Yaudah sih Bu. Palingan nanti di warung aku cuma disuruh bantu cuci piring. Ngapain pakek baju bagus-bagus?"

"Kalau kayak gini, siapa yang mau lihat kamu! Jangankan lihat, lirik aja ogah palingan!" Ibu malah ngeremehin anak sendiri.

"Siapa bilang nggak ada yang lihat. Ada kok Bu. Bahkan suka manggil!"

"Siapa emang? Siwer kayaknya yang mau manggil kamu!"

"Pak Ribut."

"Pak Ribut mah manggil kamu supaya beli ciloknya! Udah sana mandi cepat! Warung kita yang ada di perempatan depan kasirnya cuti sakit. Jadi nggak ada yang jaga kasir! Nanti kamu yang jaga. Makanya pakek baju yang bagus!"

***

Dengan kaos bola yang lain, aku berangkat ke warung bakso.

Awalnya Ibu protes, tapi karena aku memutuskan untuk nggak mau ikut jika masih disuruh ganti baju, akhirnya Ibu pasrah.

Rambut yang tidak terlalu panjang, aku kuncir kuda seadanya. Sementara poni yang kependekan karena minta tolong Dika buat potong lima hari yang lalu, aku jepit karena malu.

Ibu terus saja teriak-teriak di telinga, menyuruhku untuk menurunkan kecepatan ketika motor matic ini membawa kami ke warung dengan kecepatan normal menurutku, tapi tidak menurut Ibu.

Dan sekarang, di sinilah aku berada. Pegang pulpen dan ngadep buku. Duduk anteng di kasir menunggu pembeli.

Ada empat karyawan di sini. Lima termasuk kasir, tapi lagi nggak masuk karena sakit katanya.

Jam sebelas ke atas warung mulai rame. Banyak yang memesan bakso tulangan. Sudah ada dua puluh pembeli yang memesan bakso tulangan.

Definisi dari bakso tulangan adalah pentol bakso yang ditambah tulang sapi dengan sedikit daging yang menempel di sana.

Heran aku. Kenapa mereka suka beli tulang. Kan nggak bisa dimakan.

Apa yang mereka makan dari tulang yang cuma ada sedikit daging yang menempel?

Rata-rata yang datang ke warung hari ini adalah pendatang dari kota yang ingin mendaki gunung Bromo yang memang tak jauh dari sini. Yang pasti jauh kalau jalan kaki ya.

Dan lagi-lagi, ada pasangan yang memesan bakso tulangan. Pasangan yang sebelumnya sudah memesan bakso tulangan, kini nambah bakso tulangan lagi saat mau pulang.

"Mas, kenapa sih suka bakso tulangan?" Aku bertanya pada akhirnya. Alisnya tampak menyatu mendapati pertanyaan dariku.

"Kan cuma tulang, Mas. Nggak bisa dimakan. Rugi sampean beli bakso mahal-mahal 20.000, isinya cuma tulang. Pentolnya cuma sedikit."

Pasangan itu saling pandang.

"Mending beli bakso jumbo aja. Udah gede, daging semua lagi. Apalagi cuma 15.000. Nggak bakalan rugi sampean," tambahku ke mereka yang cuma diam.

"Diyas." Tiba-tiba pundakku di tepuk oleh Mbak Rini, salah satu karyawan di sini.

"Apa apa Mbak?"

"Dipanggil sama Ibu di belakang." Mbak Rini menunjuk Ibu yang berdiri tak jauh dariku. Ekspresi wajahnya tampak aneh.

"Tapi ini saya masih mau nulis pesanan Mbak."

"Biar Mbak aja."

Aku pun pasrah dan menyerahkan pulpen ke Mbak Rini.

"Ada apa Bu?" Aku bertanya setelah sampai di depan Ibu.

Bukannya menjawab, pinggangku malah dicubit sama ibu.

"Aduh!" Aku melengkungkan pinggangku ke samping agar menjauh dari cubitan Ibu. "Aku salah apa Bu?"

"Kamu disuruh jaga kasir malah bikin takut pembeli! Sana kamu cuci piring aja!"

Nah kan, apa aku bilang. Pasti ujung-ujungnya disuruh cuci piring. Untung tadi nggak pakek baju bagus.

Terpopuler

Comments

Dila Ayu

Dila Ayu

Emaknya serem bener y kak...

2023-05-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!