Setelah insiden kopi rasa air laut itu, Zio sudah tidak lagi menyuruh Mentari untuk melakukan ini dan itu. Ia lebih memilih mendiamkan sekretarisnya itu dan membiarkannya bekerja dengan baik. Zio sangat tahu jika apa yang ia lakukan itu sudah membuat Mentari kesal sehingga mengerjai seperti tadi. Tetapi apa boleh buat, ia sangat suka melihat wajah kesal Mentari dan sangat suka melihat sikap Tari yang selalu meledak-ledak itu. Sangat menggemaskan baginya, sehingga ia selalu suka mengerjainya.
Hingga jam makan siang tiba, Zio keluar dari ruangannya dan melihat Mentari masih serius dengan pekerjaannya sampai tidak melihat dirinya yang melintas di sampingnya. Zio tersenyum tipis, ia tahu betul jika Mentari memang selalu serius jika sudah mengerjakan sesuatu.
Ia ingat sekali dulu ketika mereka masih Ayang-ayangan di kampus, Mentari sangat serius belajar dan mengerjakan tugas. Bahkan kadang ia tidak menyadari atau bahkan sering mengabaikan Zio saat sedang mengerjakan tugas.
Zio langsung bergegas pergi ketika melihat Mentari menjauhkan wajahnya dari layar komputer. Tidak ingin kedapatan sedang memerhatikan, Zio segera pergi.
"Hah … untung udah selesai. Sudah waktunya makan siang juga, gue mendingan ke kantin kantor deh daripada keluar buat nyari makanan. Mikir soal gaji yang dipotong lima belas persen bikin dompet gue menjerit. Huhh … dasar mantan nggak ada akhlak!"
Mentari memutuskan untuk turun ke lantai bawah dan mencoba menu di kantin. Ia merasa horor begitu pertama kali masuk karena banyaknya pasang mata yang tengah meliriknya. Namun karena Mentari sudah lapar dan ia adalah gadis yang cuek dengan omongan orang maka ia melenggang masuk dengan santai lalu memesan makanan.
Wiih … makanan di perusahaan gede kayak gini emang berasa seperti makanan restoran. Lumayan juga selera CEO Casanova itu.
Setelah mendapatkan makanannya, Mentari mengambil tempat duduk di pojokan yang masih kosong. Ia kemudian menyantap makan siangannya dengan lahap.
Mentari menggigit sendok saat melihat seseorang duduk di hadapannya. Pria itu tampan namun terkesan dingin. Benar-benar seperti kriteria cowok idaman Mentari. Tak ingin terlihat seperti Elang yang sedang menatap mangsanya, Mentari kembali melanjutkan makannya.
"Lu anak baru di kantor ini?" tanya pria yang duduk di depan Mentari.
Mentari yang sudah selesai makan pun menoleh ke arah pria tersebut dengan sebelah alisnya terangkat.
Ingat Tari, lu harus jaga image. Jangan sampai cowok tampan ini ilfeel sama lu di hari pertama berkenalan.
Mentari mengangguk, "Iya, baru hari ini," jawab Mentari ramah namun ia juga menunjukkan sikap cuek.
"Oh. Selamat bergabung," ucapnya.
Mentari mengangguk, ia bahkan berlama-lama di kursinya hanya karena menunggu pria ini menanyakan namanya namun hingga beberapa menit dan hingga pria itu selesai makan Mentari tak kunjung diajak berkenalan.
What? Dia bahkan nggak nanya nama gue siapa! Dia itu sok cool atau emang masa bodoh sih? Atau apa gue yang nggak menarik lagi jadi dia nggak mau kenalan sama gue? Wah … dia benar-benar badas, gue suka cowok kayak gini. Daripada gue menggalaukan si Zio yang bahkan nggak peduli sama perasaan gue, mending sama cowok itu kemana-mana. Kayaknya dia nggak suka jadi tour ranjang panas kayak si mantan.
Mentari kemudian menyusul pria itu untuk membayar makanan. Ia masih berharap pria tampan ini mau mengajaknya berkenalan. Namun sampai mereka keluar dari kantin ia sama sekali belum mendapatkan info tentang pria itu.
"Eh Juan, lu dari kantin? Kenapa nggak ikut sama kita aja tadi ke kafe depan. Vera dan Ello jadian lho, mereka ngasih pajak jadian di sana," ucap salah satu karyawan pria yang berpapasan dengan pria cool itu.
Oh my God! Jadi namanya Juan. Akhirnya gue tahu juga.
Juan hanya menatap sekilas rekannya itu lalu mereka masuk ke dalam lift. Mentari ingin menyusul tetapi ia terlambat karena pintu lift sudah tertutup.
Mentari mendesah, dengan terpaksa ia harus masuk ke lift lainnya, padahal ia ingin tahu pria bernama Juan itu bekerja di lantai berapa.
"Nggak masalah, besok juga pasti bakalan ketemu lagi. Oh akhirnya, setelah dari pagi gua kehilangan banyak energi karena Zio, sekarang gue udah ngumpulin lagi setelah melihat Juan. Jadi semangat gue kerja disini. Pokoknya gue bakalan hadapi deh semua perintah Zio yang penting gue bisa kerja terus di sini dan bisa bertemu Juan. Mungkin aja dia masih jomblo, biar gue bisa PDKT. Gue nggak mau Zio nganggap gue nggak bisa move on walaupun benar kayak gitu sih."
Di dalam lift itu Mentari hanya seorang diri sehingga ia bisa bebas berceloteh karena tidak akan ada yang mendengarnya berbicara.
Lift terbuka, Mentari kembali ke meja kerjanya dan ia tidak menemukan Ramon di ruangannya. Mentari tidak mengambil pusing, karena masih ada banyak waktu istirahat ia pun memainkan ponselnya.
Mentari membuka pesan dari temannya di kantor pak Santoso. Heni mengiriminya pesan dan Mentari dengan bersemangat membalasnya, ia menceritakan tentang pertemuannya dengan calon belahan jiwanya dengan semangat hingga ia tidak sadar kalau waktu istirahat telah berlalu dan Zio bahkan baru saja melintas di sampingnya.
Dia sedang chatting-an sama siapa? Kenapa senyam-senyum gitu sih?
"Ekhhmm … jam istirahat sudah selesai dan fokuslah bekerja. Gue nggak mau lu bikin laporan yang salah," tegur Zio yang merasa panas melihat Mentari tersenyum sambil berbalas pesan.
"Iyaaa … gue tahu kok, santai aja kali nggak usah nge-gas," ucap Mentari yang tidak peduli dengan teguran Zio.
Mata Zio melotot tetapi Mentari hanya menatap datar pada atasannya ini.
"Mau kamu saya potong gaji kamu lagi?" ancam Zio.
Mentari tersenyum manis, "Nggak masalah Pak, tinggal setengah pun nggak masalah yang penting saya masih bekerja di sini," jawab Mentari tentu dengan sungguh-sungguh karena ia harus tetap bertahan di perusahaan ini sampai mendapatkan Juan yang katanya calon belahan jiwa.
Zio tersentak halus, tidak biasanya Mentari akan menerima segala sesuatu yang menurutnya tidak adil. Justru Mentari terlihat santai, tidak merasa memiliki beban apapun.
Aneh! Apa seseorang yang tadi beralasan pesan dengannya yang sudah menjinakkan Mentari? Nggak bisa, selama ini cuma gue pawangnya. Nggak boleh ada orang lain!
"Masih ada yang ingin anda katakan Pak? Anda butuh sesuatu atau ada yang ingin dibicarakan dengan saya? Atau anda ingin melihat bagaimana saya bekerja?" cecar Mentari karena sedari tadi Zio hanya diam saja sambil melamun namun mata elangnya itu tetap menatap ke arahnya.
Zio terkejut, ia kemudian melenggang masuk ke dalam ruangannya tanpa berkata apapun.
Mentari tidak mengambil pusing, ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Ia sudah mendapatkan semangat baru sehingga walau Zio membuatnya kesal maka ia akan berusaha untuk bisa menahan emosinya.
.
.
Mentari yang baru saja menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Ramon padanya. Ia merasa senang karena hasil kerjanya tidak ada yang keliru dan Ramon memujinya walau sedikit. Ia kembali ke kursinya dan berpapasan dengan seorang wanita cantik dengan rambut berwarna kecokelatan yang tergerai indah hingga pinggangnya. Wanita itu berpakaian kurang bahan dan berhenti di depan Mentari.
"Bos lu ada di dalam?" tanya wanita itu.
Mentari mengangguk, "Kalau boleh tahu anda siapa dan ada keperluan apa?" tanya Mentari dengan sopan.
"Gue Bella, calon istrinya Zio. Tolong lu bilang ke dia kalau gue datang. Dia soalnya nggak suka kalau gue langsung nyelonong masuk tanpa laporan dulu," jawab wanita yang akhirnya Mentari tahu bernama Bella
Jlebbb …
Mentari seolah merasa jantungnya baru saja ditusuk belati mendengar ucapan wanita ini. Ia membandingkan dirinya dan Bella yang jelas jauh berbeda. Pantas saja Zio bisa cepat move on darinya, rupanya pengganti jauh lebih cantik dan menarik dibanding dirinya.
Kok gue galau ya?
"Lu kenapa diam aja sih? Cepetan dong!"
Mentari tersentak, ia kemudian segera masuk ke ruangan Zio. Ia bisa melihat mantan terindahnya–yang ia tangisi hampir setiap malam pasca putus–dan kini berubah menjadi mantan bangsat itu sedang sibuk memeriksa berkas.
Tidak bisa dipungkiri, Zio sangat tampan ketika sedang serius.
"Ada apa? Lu kangen gue lagi?" tanya Zio tanpa mengalihkan pandangannya.
Mentari terkejut namun itu tidak lama karena ia kembali kesal pada Zio. "Lu tahu nggak kalau lu itu udah jadi mantan gue. Mantan itu bukan pahlawan yang harus gue kenang dan gue kangenin. Jangan percaya diri tinggi lu. Lagian di luar ada calon istri lu lagi nungguin. Mau disuruh masuk atau didiamin aja di luar," ucap Mentari dengan bibir gemetar, ada rasa sesak saat ia mengatakan calon istri Zio.
Zio yang masih fokus pada berkasnya langsung menatap Mentari dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Suruh masuk aja. Tapi lain kali kalau gue lagi sibuk lu tolong kasih tahu kalau gue nggak bisa ditemui. Lu konfirmasi dulu ke gue," ucap Zio dan entah kenapa Mentari seolah mendengar suara Zio itu melembut.
Perasaan gue aja atau emang dia lagi mode manis ya? Jangan bikin gue gagal move on dong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments